Sejumlah murid SD mengikuti apel pagi hari pertama masuk sekolah di SD Negeri Inpres Vim 3 Kotaraja, Abepura, Kota Jayapura, Papua, Senin (18/7/2022). | ANTARA FOTO/Sakti Karuru

Kronik

Sejarah Dana Otsus Papua

Otsus Papua jadi kompromi atas seruan Papua Merdeka

OLEH FEBRIANTO ADI SAPUTRO, RONGGO ASTUNGKORO

Ditangkapnya Gubernur Papua Lukas Enembe oleh KPK pada Selasa (10/1) membuka kotak pandora soal pengelolaan dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Dana itu semula diharapkan jadi senjata pamungkas percepatan penyejahteraan Papua. Bagaimana sejarahnya?

Dana Otsus Papua sedari mula punya kaitan erat dengan gelora Papua untuk merdeka dari Indonesia. Pada 1998, menjelang reformasi, gerakan tersebut menemukan momentumnya.

Mula-mula lewat aksi damai yang dipimpin Filep Karma, seorang bekas PNS di Biak Numfor. Ratusan warga mengibarkan bendera Bintang Kejora pada Juli 1998 untuk kemudian ditumpas oleh TNI-Polri. Filep Karma dipenjarakan karena aksi tersebut.

Pada 1 Juni 2000, peserta Kongres Nasional Papua Barat II tahun 2000 di Jayapura secara bulat menyatakan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk kemudian membentuk negara sendiri. Pernyataan keluar itu langsung didukung Organisasi Papua Merdeka (OPM), pemuda, mahasiswa, perempuan, tahanan politik, dan pejuang. 

photo
Aktivis prokemerdekaan Papua mengikuti unjuk rasa memperingati deklarasi kemerdekaan Papua di Jakarta, Kamis (1/12/2022). - (AP/Tatan Syuflana)

Desakan keluar dari NKRI tersebut disampaikan juru bicara 14 kabupaten/kotamadya dalam pandangan umum Kongres Nasional Papua yang dibantu dana Rp 1 miliar oleh pemerintah pusat itu. Juru bicara itu mewakili seluruh kabupaten/kotamadya di Papua, yakni dari Kabupaten Jayapura, Merauke, Jayawijaya, Sorong, Manokwari, Fakfak, Paniai, Puncak Jaya, Nabire, Biak, Mimika, Yapen Waropen, Kotamadya Jayapura, dan Kotamadya Sorong.

Dalam sidang pleno III kongres itu, mereka umumnya mengatakan bahwa Papua Barat (Irja) sudah merdeka sejak 1 Desember 1961, tapi Presiden Sukarno ketika itu membubarkannya melalui Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 1 Mei 1963.

Selain itu, menurut mereka, proses perjanjian New York 1965 tentang penentuan status politik Papua Barat melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dilaksanakan pada 1969 cacat hukum karena Parlemen Papua tidak diikutsertakan. 

Mereka menyebutkan, penyerahan Papua Barat ke dalam RI merupakan tindakan konspirasi politik secara sepihak oleh Pemerintah Belanda, Amerika Serikat, RI, dan PBB. Karena itu, para delegasi menyatakan keluar dari NKRI dan menolak Pepera serta menolak otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah.

Menanggapi gejolak itu, dirancanglah UU Otonomi Khusus Papua untuk meredam semangat kemerdekaan. Namun, tawaran otsus itu bukan barang yang langsung diterima. Pada 28 Maret 2001, seminar yang mengkaji pelaksanaan otonomi khusus di Papua di Gelanggang Olahraga Cendrawasih, Jayapura, berlangsung ricuh hingga polisi melepas tembakan peringatan. 

photo
Para anggota kelompok separatis bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Kabupaten Puncak, Papua, Rabu (9/3/2022). - (Dok TPNPB)

Seminar yang dibuka Gubernur Irja Jaap Solossa dan dihadiri sekitar 439 peserta itu sebelumnya diwarnai aksi demo yang dilakukan masyarakat dengan menggelar spanduk dan poster yang menolak pemberlakuan otonomi khusus.

Puluhan spanduk dan poster yang dibentangkan itu memilih merdeka dan lepas dari RI daripada menerima otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah pusat.

Walaupun dalam suasana rusuh, pelaksanaan seminar yang berlangsung di dalam gedung itu tetap berjalan. Aparat keamanan dari Polres Jayapura tampak berjaga-jaga di depan pintu masuk gedung GOR tersebut, sedangkan anggota lainnya masih terdengar mengeluarkan tembakan peringatan.

Kerusuhan yang terjadi di luar gedung itu menyebabkan tenda dan kursi yang disediakan panitia rubuh dan dirusak masyarakat. Anggota polisi juga tampak menangkap sekitar 10 orang yang diduga provokator dan melakukan pelemparan.

Bagaimanapun, pembahasan rancangan Otsus Papua terus berlanjut. Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen) Ir FA Wasparik menuturkan, saat itu, yang diinginkan masyarakat Papua dalam otonomi khusus (otsus) adalah program charity atau dalam bentuk sumbangan. Menurut dia, yang harus diberikan bukan hanya dana yang khusus, tapi juga kebijakan dan pemahaman pemerintah pusat kepada Papua yang khusus pula.

Wasparik mencontohkan kebijakan yang khusus itu, misalnya, pemerintah pusat memberikan kemudahan kepada rakyat Papua untuk membangun akses pendidikan. Saat itu pun ia sudah mewanti-wanti bahwa dana yang besar untuk Papua memang belum tentu dapat memberikan solusi terbaik dengan segera. Sebab, bila salah urus, nantinya dana tersebut hanya membuat malapetaka baru.

"Kami minta agar 20 persen dari dana yang nanti akan diterima oleh Papua dialokasikan untuk membiayai bidang pendidikan. Idealnya dana itu nanti sebagian untuk memberikan subsidi bagi pendidikan rakyat di tingkat dasar dan menengah," tutur dia. 

Wasparik menekankan, UU-Otsus bukan solusi. Artinya, UU itu nantinya harus mampu memberi jalan kepada rakyat untuk secara bertahap dapat mengejar ketertinggalannya dari wilayah lain.

Setelah melalui perdebatan alot, akhirnya DPR mengesahkan RUU Otonomi Khusus Papua pada 22 Oktober 2001. Dalam pleno Panitia Khusus (Pansus) RUU itu, pembagian hasil sumber daya alam untuk Papua tidak lagi mengikuti pembagian 80:20 seperti yang diinginkan DPR.

Pola yang berhasil disepakati adalah perimbangan untuk Papua, yaitu 2 persen setara dana alokasi umum (DAU) nasional. Dengan demikian, Papua diperkirakan akan mengelola dana sebesar Rp 6 triliun-Rp 7 triliun per tahun di luar dana tambahan dalam rangka otonomi khusus.

photo
ALIRAN DANA OTSUS - (Republika)

Puluhan warga masyarakat Papua ikut menyemut di ruang lobi tersebut, tak terkecuali Gubernur Papua JP Salosa, para pimpinan DPRD Papua, dan mereka yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Generasi Muda Papua (FKGMP). Mereka datang pagi-pagi untuk mengikuti jalannya rapat paripurna DPR.

Secara substansial, melalui UU Otsus Papua itu kekuasaan untuk otonomi Papua memiliki empat hal mendasar. Pertama, pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai salah satu unsur lembaga legislatif atau tepatnya lembaga representatif kultural yang beranggotakan orang-orang Papua asli yang mewakili masyarakat adat, agama, dan kaum perempuan.

Kemudian, perimbangan keuangan antara Papua dan Jakarta, yaitu 70 persen daerah dan 30 persen pusat. Selanjutnya ialah penegakan hak asasi manusia dan penghargaan terhadap hak-hak dasar orang Papua. 

Pada 15 Juli 2021, DPR dan pemerintah kemudian mengesahkan revisi UU Otsus Papua tersebut. Dalam revisi itu, dana Otsus Papua dinaikkan menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum nasional per tahun dan dibayarkan hingga 2041.

Aturan itu diperkirakan menguras kas negara senilai Rp 234,6 triliun seiring asumsi kenaikan DAU sebesar 3,02 persen setiap tahunnya. Namun, kenaikan dana tersebut diikuti revisi satu pasal krusial, yakni pemerintah pusat bisa memekarkan Papua tanpa persetujuan MRP. 

Pembahasan revisi UU Otsus Papua ini tergolong lekas. Wacananya dimulai oleh pemerintah pusat pada akhir 2020, menjelang akhir tenggat Otsus Papua jilid I pada Desember 2021. 

Dr Adriana Elisabeth tentang Otonomi Khusus Papua.
(Istimewa)
 

Di Papua, wacana perpanjangan otsus ditanggapi beragam. Sejumlah pihak di Papua yang diwawancarai Republika menginginkan ada evaluasi menyeluruh sebelum kelanjutan otonomi khusus dibicarakan.

Mereka juga menilai banyak target UU terdahulu di berbagai bidang belum tercapai. Di antaranya soal kesejahteraan rakyat Papua, aspirasi politik, serta penyelesaian pelanggaran HAM.

Terlepas dari polemik di Papua, pemerintah pusat berkeras melanjutkan otsus beserta pendanaannya. Pada 10 Februari 2021, Panitia Khusus (Pansus) RUU Otsus Papua dibentuk di DPR, dipimpin Komarudin Watubun dari Fraksi PDIP.

Dalam pembahasannya, 18 kementerian dan sejumlah lembaga dilibatkan. Pada 1 Juli 2021, Pansus RUU Otsus menyepakati daftar inventarisasi masalah rancangan regulasi itu.

Tak sampai dua pekan, pada 12 Juli, DPR dan pemerintah sepakat membawa RUU Otsus Papua ke sidang paripurna untuk disahkan. Pengesahan kemudian dilakukan pada Kamis (15/7) kemarin. Artinya, hanya enam bulan regulasi itu dibahas di DPR.

Pada hari pengesahan UU Otsus, sejumlah unjuk rasa penolakan terhadap Otsus Papua jilid II kembali digelar. Di Manokwari, ratusan mahasiswa dan warga menggelar aksi unjuk rasa di jalan depan kampus Universitas Papua.

photo
Sejumlah massa yang tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Papua melaksanakan aksi di depan gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (24/2). Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut penolakan rencana perpanjangan otonomi khusus dan daerah otonomi baru di seluruh tanah Papua. - (Republika/Putra M. Akbar)

Aksi tersebut diadang puluhan aparat kepolisian dengan perangkat antihuru-hara. Akibat adangan tersebut, para pengunjuk rasa melakukan aksi duduk di tengah jalan di Jalan Tugu Amban, kampus Universitas Papua.

Adapun di Jakarta, sejumlah mahasiswa Papua melakukan aksi di depan Kompleks Parlemen Senayan. Aksi itu tak berlangsung lama karena dibubarkan aparat kepolisian. Unjuk rasa menolak pengesahan RUU Otsus juga digelar di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sehari sebelumnya, 23 mahasiswa Universitas Cendrawasih di tangkap kepolisian saat menggelar aksi unjuk rasa di Jayapura. Ketua BEM Uncen Yops Itlay juga menyebut sejumlah mahasiswa terluka.

Ia berdalih, penolakan mereka lakukan karena pembahasan RUU Otsus dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan seluruh elemen masyarakat di Papua. Selain penolakan, warga Papua juga berharap UU Otsus dan dana yang menyertainya tak lagi diselewengkan.

Peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Purnomo, mengatakan, selama ini terdapat rumor dana Otsus Papua mengalir kepada kelompok separatis. Tapi, kata dia, belum pernah ada bukti yang menunjukkan kebenaran rumor tersebut.

"Memang ada kecurigaan dari pusat bahwa dana otsus itu diberikan untuk kelompok separatis. Itu tidak ada buktinya. Selama ini kan ada isu, ada rumor, tapi belum pernah ada bukti di pengadilan yang menunjukkan itu. Harusnya pemerintah yang melakukan (pembuktian) itu," ujar Cahyo kepada Republika, Kamis (12/1/2023).

Cahyo yang lama meneliti persoalan-persoalan di Papua ini mengetahui penggunaan dana Otsus Papua di tingkat kabupaten pemekaran. Di daerah-daerah tersebut, alokasi dana Otsus Papua paling besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur fisik. Jumlahnya berbanding jauh dengan alokasi untuk pendidikan dan kesehatan.

photo
Pelajar menaiki perahu usai sekolah di SMPN 2 Depapre, di pelabuhan Depapre, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (13/10/2022). Pelabuhan Depapre menjadi akses utama bagi pelajar dan warga dari Kampung Tablanusu, Kampung Kendate, Kampung Endokisi, dan Kampung Demoy yang berada di seberang pelabuhan untuk berangkat sekolah dan berjualan dengan ongkos satu kali berangkat seharga Rp 5.000. - (Republika/Thoudy Badai)

"Di kabupaten-kabupaten di daerah pemekaran itu mereka memprioritaskan kepada infrastruktur karena memang jalan belum ada. Tidak semua jalan itu bagus. Meskipun ada Jalan Transpapua, tapi kualitasnya kan belum sama dengan jalan standar nasional," kata dia.

Menurut Cahyo, selain untuk pembangunan jalan, dana Otsus Papua di daerah kabupaten pemekaran juga digunakan untuk pembangunan gedung fasilitas umum, seperti puskesmas, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA). Hal itu membuat infrastruktur fisik sudah cukup banyak di daerah tersebut.

"Tapi, kemudian masalahnya ada gedung sekolah tapi guru tidak ada. Ada puskesmas, ada rumah sakit, tapi dokter tidak ada, paramedis tidak ada, mantri tidak ada, sehingga seharusnya diikuti oleh pembangunan SDM," ungkap Cahyo.

photo
Seorang ibu menunggui anaknya yang menderita gizi buruk di dalam gereja di Agats, Asmat, pada 22 Januari 2018. - (M Agung Rajasa via REUTERS)

Dia menjelaskan, sejatinya penggunaan dana Otsus Papua dapat dilihat dari laporan tahunan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebab, lembaga itu melakukan audit terhadap penggunaan dana-dana pembangunan, termasuk dana Otsus di Provinsi Papua. Selain dana otsus, ada dana tambahan infrastruktur (DTI) yang pemerintah kucurkan untuk Papua.

"Dari tahun 2002 sampai tahun 2021, kurang lebih Rp 130 triliun selama 20 tahun. Dan itu kan pemerintah belum melakukan evaluasi dana itu digunakan untuk apa saja dan hasilnya apa saja," ujar dia.

Agar Ekspor Tetap Gacor

Pemerintah terus mengejar penyelesaian perjanjian dagang.

SELENGKAPNYA

Anggaran Pemprov Papua Dibekukan

Pembekuan anggaran ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan.

SELENGKAPNYA

Memahami Gerakan Separatisme Papua

Absennya pendekatan holistik menjadi problem utama mengatasi gerakan separatisme Papua.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya