
Hiwar
Jihad Literasi Membendung Radikalisme
Pegiat literasi Soffa Ihsan berupaya bangun spirit jihad literasi di kalangan eks napiter.
Salah satu penyebab diseminasi paham ekstremisme dan radikalisme adalah minimnya kemauan membaca secara beragam. Hal itu disampaikan Soffa Ihsan, seorang aktivis literasi.
Pendiri Rumah Daulat Buku (Rudalku) itu menuturkan, dirinya telah melakukan penelitian tentang radikalisme dan terorisme sejak 2011 lalu. Ia berkeliling ke berbagai daerah Indonesia untuk menelusuri faktor-faktor penyebab orang-orang bisa terpapar paham yang ekstrem.
Pada akhirnya, Soffa menemukan bahwa salah satu pemicu utama keterpaparan radikalisme dan terorisme adalah minimnya literasi. Kalaupun seorang yang terpapar itu senang membaca, buku-buku yang dilahapnya hanya berkisar pada topik yang itu-itu saja, terutama yang memandang dunia secara monokrom (hitam-putih).
“Minimnya literasi akan membuat wawasan kian sempit sehingga seseorang mudah menerima doktrin,” ujar Soffa saat ditemui di Sekretariat Rudalku, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Sejak 2017, Rudalku aktif dalam mengampanyekan peningkatan literasi, khususnya yang menyasar para mantan narapidana kasus terorisme. Ia berharap, mereka kelak dapat menjadi duta literasi yang membuka dan memperluas wawasan masyarakat akan pentingnya nilai-nilai moderat.
"Kami menginginkan kelak para ikhwan eks napiter ini menjadi duta litarasi atau yang kami istilahkan jihadis literasi,” ucap jebolan Universitas Gadjah Mada ini.
Berikut ini petikan wawancara Republika, Muhyiddin, dengan alumnus Ponpes Tebuireng Jombang, Jatim, tersebut.
Bagaimana latar berdirinya Rumah Daulat Buku (Rudalku)?
Jadi, sejak 2011 saya mulai meneliti radikalisme. Dalam perjalanan di berbagai daerah, saya kerap bergumul dalam riset-riset dan bertemu dengan para ikhwan dan eks-narapidana terorisme (napiter). Memasuki tahun 2016, saya pun mulai menggagas berdirinya rumah untuk literasi. Sebab, saya menemukan banyak kasus, orang-orang bisa terjerat tindakan terorisme karena berawal dari penerimaan paham radikalisme dan intoleran.
Saya juga menemukan, kebanyakan mereka ternyata kurang suka membaca. Kalaupun minta membaca, buku-buku yang dibaca itu-itu saja. Padahal, khazanah literasi Islam luar biasa banyak dan beragamnya.
Maka saya berpikir, bila ingin memperkenalkan keanekaragaman literasi kepada mereka, sebaiknya dengan model bagaimana? Kalau hanya bagi-bagi buku, akankah mereka mau baca? Lagipula, itu sudah dilakukan oleh instansi negara, seperti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
Akhirnya, saya mulai mengonsep dan menerapkannya. Mula-mula, saya memandang, rumah-rumah para ikhwan didorong (disarankan) agar punya perpustakaan. Lalu, kalau sudah ada, itu bisa dijadikan sebagai taman bacaan yang terbuka bagi masyarakat sekitar.
Lantas, saya mulai kirim buku-buku kepada mereka. Kadang, saya kirimkan juga rak-rak buku. Setelah beberapa waktu, kami meminta mereka untuk mengumpulkan anak-anak. Selanjutnya, kami datang untuk mengadakan pelatihan literasi kepada anak-anak setempat, khususnya meningkatkan literasi keislaman yang tawasuth, kebangsaan, dan sebagainya.
Lalu, pada September 2017, saya menggagas berdirinya program yang bernama Rumah Daulat Buku atau Rudalku. Ini di bawah Yayasan Daulat Bangsa. Jadi, konsep yang kami usung, tiap rumah khususnya kediaman para eks napiter, harus menjadi basis gerakan literasi.
Saya mengutip seorang filsuf, Cicero, yang mengatakan, “Rumah tanpa buku ibarat tubuh tanpa jiwa" Kata-kata ini sungguh menyentuh. Saya sampaikan pula itu kepada para ikhwan, eks napiter. Jadi, tiap rumah seyogianya punya perpustakaan untuk fasilitas literasi ikhwan, istri dan anaknya, serta tetangga sebelah sampai menjadi masyarakat semua.
Berapa mantan napiter yang tergabung dalam program Rudalku?
Awalnya pada 2017 itu hanya ada satu eks napiter dari Palembang. Sampai sekarang, eks napiter yang tergabung dengan kami sudah mencapai 48 orang. Mereka tersebar di berbagai daerah, seperti Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara.
Besar harapan kami, mereka bisa menjadi duta damai dan duta literasi dengan pengaruh besar di tengah masyarakat. Sebab, mereka sebelumnya sudah punya pengalaman sebagai kombatan, punya pengalaman pikiran yang intoleran, eksklusif, atau radikal.
Justru semua itu bisa menjadi modal mereka untuk mengajak masyarakat agar berpikir, bersikap dan bertindak lebih damai dan cerdas, dan tentunya dengan jalan literasi.
Apa saja kegiatan Rudalku?
Selain mendidik para napiter agar mereka menjadi jihadis literasi, kami juga sering mendatangi acara-acara mahasiswa. Misalnya, baru-baru ini diskusi-diskusi di Universitas Muhammadiyah Padang dan Universitas asy-Syafi'iyah. Kami juga adakan pelatihan-pelatihan literasi. Itu semua menjadi bagian dari proses mengajak mahasiswa agar tidak terjebak dalam ideologi ekstrem.
Kami menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dengan latar independen. Kalau dari saya pribadi, terus terang ingin menebar virus cinta buku dan cinta membaca, khususnya kepada kalangan ikhwan eks napiter.
Tujuan kami memang begitu. Kelak, para ikhwan eks napiter ini menjadi duta litarasi atau yang kami istilahkan, jihadis literasi. Dahulu, mereka menjadi jihadis dalam arti menebar teror. Kini, mesti menjadi jihadis literasi.
Semua itu dalam lingkup dakwah literasi. Terlebih lagi, ayat pertama yang turun kepada Nabi SAW adalah perintah membaca, “Iqra`.” Iqra’ itu fi'il 'amar sehingga kalau tidak dilakukan berarti orang-orang Muslimin berdosa. Jadi, kita mesti bangga bahwa Islam adalah agama yang memandang penting literasi.
Bagaimana Anda melihat perkembangan pemahaman radikalisme di Indonesia?
Dalam konteks Indonesia, saya meneliti radikalisme dan terorisme sejak tahun 2011. Alhamdulillah, saya juga berkesempatan untuk mengunjungi berbagai daerah, termasuk “zona merah” seperti Poso, Sulawesi Tengah. Saya ke Poso sampai enam kali. Di beberapa daerah lainnya, saya juga bertemu dengan para eks napi teroris.
Sebelum itu, saya juga berpikir, apakah benar ada orang yang “keras.” Saya ingin buktikan anggapan itu di lapangan. Ternyata, benar. Saya bertemu langsung dengan orang-orang yang radikal, yakni mereka selalu menganggap dirinya paling benar.
Orang-orang yang eksklusif dan intoleran itu ada. Setidaknya, saya melihat sendiri di lingkungan yang dekat dengan saya. Ketika menjadi eksklusif, orang biasanya jarang bergaul dengan tetangga. Namun, mudah-mudahan ia tidak sampai pada tahap menjadi teroris.
Masyarakat sekarang cenderung bisa terpapar paham-paham yang keras, itu bisa dilihat dari dua klasifikasi. Pertama, munculnya paham-paham keras. Ini kelompok yang kaku, rigid, dan lebih banyak berfokus pada masalah ubudiyah.
Dengan adanya era digital ini, mereka tambah leluasa untuk mendakwahkan itu. Dan, tidak sedikit orang yang kemudian berpindah ke pemahaman itu.
Bagaimana Anda mendefinisikan radikalisme?
Bagi saya, radikal itu berarti ketidakseimbangan dalam pemahaman. Karena itu, saya melihat bahwa yang penting bagi tiap manusia itu adalah tanzimul fikr, yaitu menata pemikiran sehingga sikap dan tindakannya lebih terarah. Namun, ketika pola pikirnya tidak seimbang—tidak tawazun, tidak i’tidal, dan tidak tawasuth—akan terjadi ketidaksehatan. Dari situlah kemudian kita mengenal istilah radikalisme.
Dalam sejarah awal, radikalisme itu lebih dipahami sebagai radikalisme politik, seperti anarkisme atau kelompok politik yang ingin melakukan kudeta dan pemberontakan. Kemudian, radikalisme masuk dalam ranah keagamaan.
Nah, ketika orang berpikir dengan tidak seimbang atau tidak tawazun tadi, maka pola pikirnya akan melihat sesuatu dalam perspektif yang sempit. Membangun pola pikir itu sangat penting. Kalau pola pikirnya sudah salah, sikap dan tindakannya akan salah juga.

Apa faktor yang cenderung membuat seseorang rentan terpapar radikalisme?
Saya bisa mengatakan, kondisi masyarakat sekarang ini masih rentan dari paparan radikalisme, terutama dari dunia maya. Ini bisa melahirkan apa yang disebut sebagai lone wolf, seperti pada kasus Zakia Aini di Mabes Polri yang lalu. Melalui media sosial pula, sebagian orang bergabung dengan ISIS sejak 2013 dan bahkan sampai sekarang. Setelah ke sana, mereka kaget karena ternyata ISIS tidak sesuai Islam.
Memang, ada beberapa faktor. Namun, di antara itu ada faktor penarik yang membuat orang menjadi radikal, misal ekonomi, politik, dan budaya. Kemudian, ada faktor pendorong yang diperkuat dengan faktor ideologis.
Untuk kasus terorisme di Indonesia, menurut saya, banyak yang dilatari faktor membawa-bawa nama agama. Dan sebagai seorang Muslim, kalau mendengar adanya tindakan pidana terorisme yang mengatasnamakan agama, apalagi pakai dalil, saya justru merasa agama saya telah ternistakan. Saya tersinggung, kok Islam untuk itu sih?
Bagaimana Anda melihat program deradikalisasi dari pemerintah?
BNPT yang juga dibantu oleh kementerian/lembaga lainnya, termasuk Densus 88, telah banyak membantu eks napiter. Mereka pun melakukan kontranarasi serta kontra-propaganda. Tentu, mereka ada anggarannya dari negara. Memikirkan bagaimana caranya anggarannya cepat habis. Karena pola pikirnya itu, mereka akhirnya membuat program begitu-begitu walaupun ada juga program yang bagus.
Saya melihat belum ada inovasi dan kreativitas program dari mereka. Selain itu, penanganannya juga lebih banyak seremonial dan programnya belum inovatif. Terus, SDM (sumber daya manusia) mereka juga banyak yang tidak punya passion.
Sementara itu, kalau yang kami lakukan di Rudalku itu out of the box. Sebab, belum pernah dilakukan sebelumnya. Jadi, kami melakukan literasi di rumah, bukan hanya bagi-bagi buku.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Islamofobia dan Standar Ganda
Sudah saatnya Barat melakukan rethinking politik standar ganda.
SELENGKAPNYAPengunjuk Rasa Ultimatum akan Kepung Kedubes Swedia
Massa berunjuk rasa merespons aksi pembakaran Alquran oleh politikus Swedia, Rasmus Paludan.
SELENGKAPNYA