Sejumlah kepala desa dari berbagai daerah melakukan aksi unjuk rasa menuntut perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun untuk satu periode, di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1). | Republika/Prayogi.

Politik

Ramai-Ramai Menolak Perpanjangan Masa Jabatan Kades

Perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun dinilai memunculkan banyak mudarat.

GARUT – Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi sembilan tahun untuk satu periode ditentang berbagai kalangan. Rencana itu dinilai memunculkan banyak mudarat, dari potensi korupsi yang makin besar hingga mempersempit peluang generasi muda tampil dan berkarya membangun desa.

Salah seorang warga Desa Cigawir, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut, Farhan (38 tahun), menilai perpanjangan masa jabatan kades berpotensi meningkatkan peluang nepotisme. Pasalnya, anggaran yang masuk ke desa saat ini tidaklah sedikit.

“Kalau dalihnya masa jabatan sekarang tidak cukup, itu mengada-ada. Kalau program tidak dilakukan mah pasti kurang. Kalau program jelas dikerjakan, target pasti tuntas sesuai waktu,” kata dia kepada Republika, Selasa (24/1).

Menurut dia, masyarakat selama ini hanya bisa melakukan evaluasi saat pemilihan kades (pilkades). Ketika ada kades yang tak bekerja dengan optimal, orang itu pasti tidak akan kembali terpilih. Jika masa jabatan kades diperpanjang, masyarakat jadi harus menunggu lebih lama untuk melakukan koreksi.

photo
Korupsi Dana Desa - (Republika)

Farhan mengatakan, sejak adanya dana desa, pembangunan infrastruktur di wilayahnya memang lebih masif. Menurut dia, dengan masa jabatan yang saat ini berlaku, para kades sudah bisa bekerja dengan baik.

Salah seorang warga lainnya, Jayadi (39), juga tak setuju dengan wacana perpanjangan masa jabatan kades. Menurut dia, pengawasan terhadap kades akan menjadi makin sulit ketika masa jabatannya diperpanjang. “Itu akan menumbuhkan raja kecil di desa,” kata lelaki yang pernah menjadi calon kades di Desa Jayaraga, Tarogong Kidul, Garut.

Jayadi menilai, saat ini saja, masyarakat sering kesulitan untuk mengkritisi kebijakan kades. Peran badan permusyawaratan desa (BPD) juga sangat tumpul. Menurut dia, masyarakat tidak kritis terhadap kades karena takut. “Karena kebijakan dan pelayanan desa berpusat ke kepala desa. Ketika ada yang tidak baik, dikasih kode untuk dipersulit,” ujar dia.

Salah seorang warga lainnya, Saefulloh, juga menolak wacana perpanjangan masa jabatan kades. Menurut dia, keberadaan Undang-Undang Desa yang saat ini berlaku sudah sangat bisa memfasilitasi tugas kades dalam membangun wilayah masing-masing.

photo
Warga menunjukkan surat suara pemilihan kepala desa, di Desa Suak Timah, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Ahad(11/9/2022). - (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

“Kepala desa tidak usah neko-neko mau jabatan diperpanjang. Apakah waktu yang sekarang, masa jabatan enam tahun dengan tiga periode, masih kurang? Kalau pekerjaan dilakukan efektif dan tetap jalan, itu akan optimal,” kata lelaki yang pernah menjadi kades Pancasura di Kecamatan Singajaya, Garut, itu.

Ia pun merasa lucu melihat para kepala desa yang melakukan aksi untuk meminta masa jabatan diperpanjang di Jakarta beberapa waktu lalu. Menurut dia, aksi itu justru menunjukkan bahwa mereka sadar tidak bisa mengelola keuangan dengan baik dan benar sehingga menganggap masa jabatan saat ini masih kurang.

Saefulloh menilai perpanjangan masa jabatan kades hanya akan memperbesar peluang korupsi. Selain itu, potensi generasi muda yang hendak mengembangkan desa juga akan makin kecil. “Menurut saya, waktu yang sekarang sudah cukup. Pemerintah juga jangan mendukung. Kalau pemerintah mendukung, saya kira ini politisasi, apalagi sekarang jelang tahun politik,” kata dia.

Ia juga mengimbau para kades untuk menjaga fokus bekerja mengembangkan wilayahnya masing-masing. Para kades jangan sampai terbawa oleh kepentingan politik praktis. “Fokus dengan pekerjaan. Kalau pekerjaan baik, pasti akan terpilih lagi sampai tiga periode. Saya kita 18 tahun cukup untuk mengabdi,” ujar Saefulloh.

 

 
Dengan masa jabatan selama itu maka mempersempit peluang regenerasi anak-anak muda yang juga ingin berkontribusi membaktikan diri melalui jabatan kepala desa.
 

 

Penolakan juga dilayangkan Tri (40), warga Kota Yogyakarta. “Saya sebagai warga tidak setuju dengan usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan atau bahkan 27 tahun. Dengan masa jabatan selama itu maka mempersempit peluang regenerasi anak-anak muda yang juga ingin berkontribusi membaktikan diri melalui jabatan kepala desa,” ujar dia.

Tidak hanya itu, ketidaksetujuan Tri juga mempertimbangkan potensi korupsi. Menurut dia, jabatan yang terlalu lama sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi yang dapat menjerat kepala desa. Sejak UU Desa disahkan, desa mendapatkan kewenangan besar untuk menyusun dan melaksanakan pembangunan. Hal itu juga disertai dengan kucuran dana desa dalam jumlah besar.

Dalam hal ini, kepala desa pun berhak menentukan tim penyusun RPJM desa yang berperan penting dalam penyusunan perencanaan pembangunan desa. Dengan begitu, kades pun berhak menjabat sebagai pembina tim tersebut.

“Sayangnya, kewenangan yang besar itu tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat dari BPD. Dampak buruk dari lemahnya pengawasan, salah satunya adalah terjadinya tindak pidana korupsi yang melibatkan kepala desa,” ujar Tri.

photo
Sejumlah kepala desa dari berbagai daerah melakukan aksi unjuk rasa menuntut perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun, di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1). - (Republika/Prayogi.)

Peneliti riset politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Siti Zuhro, mengkritik keras rencana perpanjangan masa jabatan kades. Menurut dia, rencana tersebut sama saja dengan mengembalikan era feodal alias masa ketika bangsawan atau raja berkuasa secara terus-menerus.

Siti menjelaskan, ketika masa jabatan kades diperpanjang menjadi sembilan tahun dan bisa menjabat hingga dua atau tiga periode, tentu total masa jabatan seorang kades bisa mencapai 18 tahun atau 27 tahun. Masa jabatan yang amat panjang itu akan membuat sirkulasi elite tidak berjalan di desa. Padahal, sirkulasi elite dengan memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat yang berkompeten untuk menjadi pemimpin adalah keharusan dalam sistem demokrasi.

“Kalau langsung sembilan tahun, lalu dipilih lagi sembilan tahun, itu namanya sama saja dengan era feodal. Jabatannya terus-menerus,” kata Siti.

Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) tak setuju dengan usulan revisi UU Desa yang berniat mengubah masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan dibatasi dua periode. Menurut dia, usulan itu tak menguntungkan kades yang saat ini tengah berada di periode keduanya dari aturan yang lama.

photo
Mantan kepala Desa Karangasih, Bekasi, Asep Mulyana (tengah), ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan penyelewengan pengelolaan APBDes tahun anggaran 2016 dan perubahan tahun 2016 dengan total kerugian negara Rp 1 miliar, Senin (9/12/2019). - (Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO)

Karena itu, Apdesi mengusulkan masa jabatan kades diubah menjadi sembilan tahun dengan maksimal tiga periode. Dengan begitu, seorang kades dapat menjabat selama 27 tahun. “Ketika misalnya revisi (UU Desa) ini dilakukan, terus yang jabatan enam tahun itu tidak mengikuti (UU yang baru), secara otomatis tidak jadi sembilan tahun, kerugian dong bagi kepala desa,” ujar Sekretaris Jenderal Apdesi Anwar Sadat.

Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengatakan, Komisi II sudah mengusulkan revisi UU Desa kepada Badan Legislasi (Baleg) untuk dijadikan sebagai inisiatif DPR. “Kami dari Komisi II sudah mengajukan surat kepada Baleg untuk bisa memasukkan revisi UU Desa sebagai inisiatif DPR. Karena beberapa kali kami sudah menerima aspirasi dari kepala desa, dari aparat desa supaya mereka diperpanjang,” ujar politikus PDIP tersebut.

 
UU-nya sangat jelas membatasi enam tahun dan selama tiga periode itu.
JOKO WIDODO, Presiden RI.
 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan tanggapannya soal usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Ia pun meminta aspirasi tersebut disampaikan ke DPR.

“Yang namanya keinginan, yang namanya aspirasi, itu silakan disampaikan kepada DPR. Tapi, yang jelas, UU-nya sangat jelas membatasi enam tahun dan selama tiga periode itu. Prosesnya silakan nanti ada di DPR,” ujar Jokowi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kasus Formula E Masuk Dewas KPK

KPK sempat dituding menaikkan penyidikan Formula E tanpa tersangka.

SELENGKAPNYA

Potensi Korupsi dan tak Ada Jaminan Kades Berprestasi

Keberhasilan pembangunan desa tidak bergantung dari lamanya masa jabatan seorang kades.

SELENGKAPNYA

Ratusan Kades Demo Tuntut Perpanjangan Masa Jabatan

Mereka menuntut masa jabatan 9 tahun dengan merevisi UU tentang Desa.

SELENGKAPNYA