
Safari
Menapaki Kejatuhan Kesultanan Banten
Benteng Speelwijk merupakan tanda kolonialisme Belanda mulai menggerogoti kedaulatan Banten.
Tak perlu jauh-jauh mencari bangunan Benteng Speelwijk. Lokasi bangunan autentik tanda era kejatuhan Kesultanan Banten ini hanya berjarak satu kilometer sebelah timur kompleks Keraton Surosowan. Benteng ini berada di salah satu sudut Desa Pamarican, Kabupaten Serang.
Benteng Speelwijk merupakan penanda kolonialisme Belanda mulai menggerogoti kedaulatan Kesultanan Banten di pertengahan abad ke-17. Nama benteng diambil dari nama gubernur jenderal saat itu Cornelis Speelman. Dalam rekam sejarah, bangunan ini merupakan benteng yang dibuat di pantai utara Jawa sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh. Saat itu, Belanda masih bersaing besar dengan bangsa Inggris dan Portugis.
“Masyarakat Banten juga masih secara subversif melakukan pemberontakan kepada kesultanan,” kata Direktur Bidang Riset dan Pengembangan Laboratorium Bantenologi Dr Helmy Faizi.
Karya mualaf
Benteng Speelwijk ini dibangun dalam kurun empat tahun antara 1681-1685 pada masa Sultan Abu Nashar Abdul Qahar pascapemakzulan terhadap sang ayah Sultan Ageng Tirtayasa. Luas Benteng Speelwijk tak jauh berbeda dengan luas Keraton Surosowan.

Pondasi bangunan benteng dibuat dari tumpukan batu karang yang direkatkan dengan kapur. Hal ini membuktikan, Benteng Speelwijk memang dibangun dari sisa puing kehancuran Surosowan pascapenyerangan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Tinggi benteng yang dibuat mengelilingi areal setebal satu meter dengan ketinggian lebih dari tiga meter.
Menurut warga, semestinya ada papan informasi tentang beberapa titik bangunan yang tersebar di benteng. Hanya saja, pencurian dan tangan-tangan jahil membuat semua informasi penunjuk itu hilang. Ada kemiripan model antara Benteng Speelwijk dan Surosowan lantaran benteng ini dirancang Hendrick Lucaszoon Cardeel, arsitek Belanda yang telah memeluk Islam pada saat itu.
“Benteng Speelwijk lebih difungsikan sebagai markas latihan serdadu Belanda di Banten,” kata Helmy menambahkan.
Mengelilingi areal luas bangunan benteng, bangunan ini jelas memiliki banyak kisah tragis. Bagaimana tidak, untuk membangun benteng yang dikelilingi menara pengintai berbentuk intan di tiap sudutnya ini, hanya membutuhkan waktu empat tahun.
Banyak yang mengatakan, mereka yang membangun benteng tersebut bukan pekerja paksa dari rakyat Banten. Para pekerja berasal dari etnis Tionghoa yang diperbudak di sini. Cerita yang mungkin bisa dipercaya lantaran kawasan itu merupakan wilayah lokalisasi para etnis Tionghoa. Salah satu buktinya, persis di depan gerbang masuk benteng di sebelah barat, masih berdiri kokoh Vihara Avalokitesvara yang diprediksi seumuran dengan Benteng Speelwijk.

Sisa reruntuhan
Kondisi Benteng Speelwijk saat ini tak lagi utuh. Beberapa bagian bahkan sudah rata dengan tanah. Areal benteng pun menjadi lapangan sepak bola dengan gawang yang telah ditancap permanen. Suatu tempat yang populer di petang hari.
Saya hanya bisa meraba-raba bahwa sisa-sisa bangunan ini merupakan bekas rumah komandan Belanda, kamar senjata, kantor administrasi, toko kompeni, dan tentunya gudang amunisi. Dalam riwayat sejarah, bangunan benteng ini dikelilingi dengan parit. Satu dan dua yang masih dapat dilihat berada di depan gerbang mengalir dari arah timur yang memang berasal dari Sungai Cibanten yang mengalir dari arus Pelabuhan Karangantu.
Di atas dinding bagian utara sebelah kiri pintu masuk, masih ada bentuk kokoh menara pengintai yang dibangun di salah satu sudutnya. Ada salah satu lubang di menara itu seukuran satu meter yang diduga merupakan tempat meriam yang siap ledak. Menara pengintai yang disebut bastion ini hanya satu-satunya yang tersisa. Padahal, jika merunut seluruh sudut bangunan, pastinya masih ada tiga bastion yang dibangun di benteng ini.

Ruang tahanan
Berdiri di salah satu tembok utara, perhatian saya tertuju pada dua lubang besar yang mengantarkan saya pada pemandangan di bagian bawah tanah. “Ini adalah ruang tahanan dan pemenggalan para pemberontak,”kata Endah Humaedah, mahasiswi jurusan sejarah IAIN Sultan Maulana Hasanudin yang menemani perjalanan kami.
Pada bagian utara inilah, terdapat ruang bawah tanah yang diduga sebagai kamar tahanan khusus dan tahanan biasa. Saya memaksa masuk untuk melihat kondisinya saat ini. Pintu masuk ruang tahanan, tertutup rapat dengan pagar yang dibuat dari potongan bambu. Kata Endah, ruangan ini ditutup lantaran banyak terjadi perbuatan tidak senonoh para muda-mudi.
Saya membuka paksa pagar yang hanya dililit dengan dua utas tali tambang berwarna biru itu. Berhasil dan akhirnya kami bisa memasuki ruang pengap ini. Lorong terasa pengap seakan tak berudara. Memasuki ruangan itu, di sebelah kanan terdapat dua buah ruangan seluas dua meter persegi yang saya duga merupakan ruang tahanan khusus.
Di ujung lorong yang dibuat buntu, saya mendapati ruangan yang lebih besar. Di tengah ruangan sekira 5x10 meter ini, terdapat bangunan panggung yang hanya 50 sentimeter lebih tinggi dari permukaan dasar ruangan. “Ini dipercaya merupakan panggung pemenggalan,” kata Endah menambahkan.
Disadur dari Harian Republika edisi 8 September 2013 dengan reportase Angga Indrawan dan foto-foto Agung Supriyanto
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.