
Nasional
Potensi Korupsi dan tak Ada Jaminan Kades Berprestasi
Keberhasilan pembangunan desa tidak bergantung dari lamanya masa jabatan seorang kades.
JAKARTA – Rencana memperpanjang jabatan kepala desa (kades) ditentang banyak pihak. Menambah masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun dinilai lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Pemerintah dan DPR diminta untuk tidak mengabulkan tuntutan sebagian kades yang disuarakan beberapa waktu lalu.
Peneliti riset politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Siti Zuhro menilai, perpanjangan masa jabatan itu bakal membuka peluang kades untuk korupsi. Ia mendasarkan argumentasinya itu terhadap pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, pada abad ke-19, yakni “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Adagium yang sangat populer tersebut berarti kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak.
Siti menjelaskan, ketika masa jabatan kades diperpanjang jadi sembilan tahun dan bisa menjabat dua periode atau bahkan tiga periode, tentu total masa jabatan seorang kades bisa mencapai 18 tahun atau 27 tahun. Masa jabatan yang panjang itu akan membuat seorang kades amat berkuasa, yang pada akhirnya membuka peluang dia untuk korupsi.
“Karena itu, jangan diberikan kesempatan kepada kepala desa (untuk korupsi) dengan memperpanjang masa jabatannya,” kata Siti, Selasa (24/1).

Pernyataan Siti ini sebenarnya sejalan dengan fakta lapangan. Dengan masa jabatan enam tahun saja, sudah banyak kades yang ditangkap karena kasus korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2012 hingga 2021 menemukan bahwa ada 686 kades yang mencuri dana desa.
Selain membuka peluang korupsi, kata Siti, perpanjangan masa jabatan kades juga menghentikan sirkulasi elite atau pergantian kepemimpinan di desa. Padahal, sirkulasi elite dengan memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat yang berkompeten untuk menjadi pemimpin adalah keharusan dalam sistem demokrasi.
“Kalau langsung sembilan tahun, lalu dipilih lagi sembilan tahun, itu namanya sama saja dengan era feodal. Jabatannya terus-menerus,” ujarnya.
Siti pun berpendapat bahwa perpanjangan masa jabatan kades bukan cara yang tepat memajukan desa. Menurut dia, pemajuan desa bukan ditentukan oleh durasi jabatan seorang kades, melainkan oleh efisiensi kepemimpinannya. “Kepemimpinan itu persoalan efisiensi, bukan lama tidaknya masa jabatan,” ujarnya.

Karena itu, Siti mematahkan sejumlah argumentasi yang dilontarkan pihak pendukung perpanjangan masa jabatan kades. Sejumlah kades diketahui mendukung masa jabatan diperpanjang karena modal kampanye pilkades bisa mencapai Rp 400 juta atau lebih, sedangkan gaji per bulan hanya Rp 7 juta. Dengan memperpanjang masa jabatan, kades bisa balik modal.
“Alasannya karena duitnya banyak terkuras untuk pilkades, ya salah dia sendiri kenapa money politic atau vote buying,” ujar Siti.
Siti turut mematahkan argumentasi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar. Halim sebelumnya menyatakan, perpanjangan masa jabatan diperlukan karena dua tahun awal kepemimpinan kades dihabiskan untuk mengurus perseteruan masyarakat akibat pilkades. Alhasil, selama dua tahun awal itu pembangunan desa tersendat.
“(Soal konflik usai pemilihan) apa bedanya dengan di kabupaten dan kota. Tidak seperti itu juga, karena masyarakat desa itu punya wisdom. Saya tahu karena saya ini anak desa,” kata perempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur, itu.
Alasannya karena duitnya banyak terkuras untuk pilkades, ya salah dia sendiri kenapa money politic atau vote buying.SITI ZUHRO, Peneliti BRIN
Terkait konflik pascapemilihan ini, Siti melanjutkan, sebenarnya bergantung kepemimpinan kades itu sendiri. Kades yang mumpuni tentu bisa meredam konflik yang muncul, dan melaksanakan program-program pembangunan. “Kalau tidak mumpuni, ya jangan mencalonkan diri dong,” kata Siti.
Pada Selasa (17/1) pekan lalu, ratusan kades menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun lewat revisi UU Desa.
Pada hari yang sama, politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menemui Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta. Seusai bertemu, Budiman menyebut Presiden Jokowi setuju dengan tuntutan memperpanjang masa jabatan kades menjadi sembilan tahun itu.
Pada Senin (23/1), Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mengusulkan agar masa jabatan kades diperpanjang jadi sembilan tahun dengan maksimal tiga periode. Dengan demikian, seorang kades bisa menjabat selama 27 tahun.
UU Desa saat ini mengatur masa jabatan kades satu periode enam tahun dengan maksimal tiga periode, sehingga total bisa menjabat selama 18 tahun.

Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengatakan, salah satu poin revisi UU Desa yang diusulkan adalah perpanjangan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun untuk satu periode.
Namun, menurutnya, alasan pembangunan yang menjadi latar belakang usulan tersebut tidaklah tepat. Sebab, keberhasilan pembangunan desa tidak bergantung dari lamanya masa jabatan seorang kades.
“Jadi, kalau disebut konflik dua tahun, setelah itu konsolidasi dua tahun, dan setelah itu membangun dua tahun tidak cukup, ya ini kan tergantung sebenarnya sebagai pemimpin desa dia harus mampu dan bisa untuk mengatasi itu. Walaupun dikasih sembilan atau 10 tahun misalnya, ya itu tidak menjamin juga,” ujar Junimart.
Kerawanan Sembilan Tahun untuk Kepala Desa
Perpanjangan menjadi sembilan tahun justru banyak menimbulkan dampak negatif.
SELENGKAPNYAKepala Desa Pun Meminta Perpanjangan Masa Jabatan
Perubahan masa periode kepala desa menjadi sembilan tahun dinilai lebih efektif.
SELENGKAPNYAMendesak, Penanganan Banjir di Jawa Tengah
Banjir di Jawa Tengah telah menimbulkan korban jiwa.
SELENGKAPNYA