Nurcholish Madjid | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Peneguhan Kesadaran HAM di Indonesia (1)

Kejahatan kepada pribadi sesungguhnya kejahatan kepada kemanusiaan.

Oleh NURCHOLISH MADJID

OLEH NURCHOLISH MADJID

Salah satu sumber kesulitan dalam usaha menunjang pelaksanaan dan perhatian kepada hak-hak asasi manusia (HAM) di Indonesia serta peningkatan kesadarannya dalam masyarakat ialah persepsi yang sering kurang tepat tentang kesenjangan antara nilai-nilai universal dan pola-pola sosial budaya lokal.

Sama halnya dengan negara-negara berkembang lainnya, di Indonesia banyak ditemukan pandangan bahwa konsep tentang hak-hak asasi manusia (HAM) adalah buatan Barat, dengan konotasi sebagai kelanjutan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, HAM yang merupakan konsep Barat itu adalah sama dengan sekularisme, jika bukan atheisme.

Kenisbian kebudayaan

Kita mungkin segera mengasosiasikan pandangan itu dengan kelompok yang berorientasi primordial tertentu, baik dalam kategori kedaerahan, kebangsaan, atau kesukuan, maupun dalam kategori keagamaan. Pengasosiasian itu disertai dengan penilaian bahwa kelompok tertentu memang pada dasarnya tidak dapat menerima ide tentang HAM, karena pandangan hidup mereka memang secara inheren tidak mendukung. 

Begitulah yang dilakukan orang terhadap, misalnya, Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, yang ke mana-mana terdengar mengkhotbahkan bahwa demokrasi dan ide tentang HAM adalah tidak urgen untuk bangsa-bangsa Asia. Yang urgen ialah pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hidup rakyat.

Lee Kuan Yew terdengar ingin mengetengahkan apa yang ia sebut sebagai ''nilai-nilai Asia'' sebagai lebih relevan untuk kemajuan kawasan ini, yakni kawasan Lembah Pasifik Barat. Dan Singapura, juga negara-negara industri baru lainnya yang oleh pers Barat biasa disebut sebagai ''naga-naga kecil'', atau ''macan-macan Asia'' dapat ditampilkan sebagai telah mendemonstrasikan kebenaran tesis Lee dengan kemajuan yang telah mereka capai.

 
Jika sekian banyak tokoh yang amat terhormat dan berprestasi tinggi menyuarakan hal-hal yang senada, maka apakah hal itu tidak berarti terdapat unsur-unsur yang benar dalam pernyataan mereka itu?
 
 

Kemudian Mahathir Mohamad, demikian pula tokoh-tokoh dari RRC, juga sering terdengar mengajukan argumen yang sama. Sikap dan pandangan serupa itu kadang-kadang nampak memperoleh dukungan dari tokoh yang dianggap mempunyai wewenang, seperti mantan Menteri Luar Negeri Amerika, Henry Kissinger.

Jika sekian banyak tokoh yang amat terhormat dan berprestasi tinggi menyuarakan hal-hal yang senada, maka apakah hal itu tidak berarti terdapat unsur-unsur yang benar dalam pernyataan mereka itu? Dapatkah pernyataan itu kita kesampingkan begitu saja sebagai tidak punya dasar dan hanya merupakan pretext atau smoke screen untuk suatu kenyataan yang sebenarnya, seperti perlindungan dan pertahanan diri bagi praktik-praktik pemerintahan mereka yang otoriter, tiranik, dan mengekang pelaksanaan HAM?

Penilaian yang sarat prasangka memang umum dibuat orang. Dan jika kita mencoba mengesampingkan prasangka, kemudian secara empatik berusaha memahami tokoh-tokoh itu, maka barangkali sikap-sikap tersebut merupakan contoh yang paling nyata dari adanya kesenjangan antara ide-ide universal tentang kemanusiaan dengan kenyataan-kenyataan sosial-kultural yang bersifat regional atau lokal.

Pertanyaan yang lebih prinsipil sebenarnya bukanlah apakah memang ada ide universal tentang manusia dan kemanusiaan, tetapi sejauh mana kebenaran klaim universalitas konsep-konsep "modern" tersebut, yang kenyataannya diproduksi di kalangan negara-negara Barat. Tentang hal itu ada dua pertanyaan gawat: pertama, apakah Barat memang dengan sendirinya universal, sehingga setiap produk sosial-kulturalnya dengan sendirinya berlaku untuk semua tempat dan waktu? 

 
Penilaian yang sarat prasangka memang umum dibuat orang.
 
 

Pertanyaan kedua, apakah Barat itu sedemikian uniknya, sehingga apa pun yang terdapat di sana, khususnya segi-segi keunggulan, tidak dapat ditiru atau diterapkan di tempat lain? Kaum sofinis (chauvinist) Timur akan menjawab "tidak" kepada pertanyaan pertama, sambil menegaskan bahwa produk-produk sosial-kultural di Barat bersifat khas lingkungan sosial-kulturalnya, jadi benar-benar bersifat "Barat" semata, tanpa dengan sendirinya berlaku untuk lingkungan sosial-kultural lain, khususnya "Timur". 

Tetapi persoalan menjadi rumit karena jika pertanyaan kedua juga dijawab "tidak" maka semua gejala modern dalam banyak segi kehidupan bangsa-bangsa bukan-Barat menjadi tidak punya pijakan atau tidak sah, seperti berbagai bentuk pengaturan sosial-politik dalam bentuk lembaga-lembaga konstitusi, parlemen, pemilihan umum, sistem pengadilan, dan seterusnya. Dan yang paling mencolok ialah, tentu saja, ilmu-pengetahuan dan teknologi.

Lebih jauh, tentu terdengar aneh bahwa kaum chauvinist Barat juga akan menjawab "tidak" kepada pertanyaan pertama dan "ya" kepada pertanyaan kedua. Suatu jawaban yang menegaskan keunikan Barat sehingga, seperti tergambarkan dalam ungkapan Rudyard Kipling yang terkenal, "Barat adalah Barat dan Timur adalah Timur, dan saudara kembar itu tidak akan bertemu."

Jika kita ingat bahwa kenangan pahit dari kolonialisme dan imperialisme belum terlewatkan lebih dari dua generasi (sekitar 50 tahun), maka prasangka yang keras kepada Barat, yang ikut mengaburkan hal-hal yang sebenarnya tidak murni Barat semata seperti ide tentang HAM dapat sedikit banyak kita fahami. Persoalannya mungkin bukanlah bagaimana menghilangkan kenangan pahit dan negatif kepada Barat akibat pengalaman kolonialisme dan imperialisme (yang "legacy"-nya memang masih belum seluruhnya terhapus).

 
Persoalannya mungkin bagaimana menyadarkan diri yang bersangkutan sendiri tentang hakikat HAM itu.
 
 

Persoalannya mungkin bagaimana menyadarkan diri yang bersangkutan sendiri tentang hakikat HAM itu dengan menggali dan mengembangkan berbagai konsep yang secara potensial ada dalam sistem-sistem budaya yang berbeda-beda. Harapannya ialah, karena akhirnya manusia dan kemanusiaan itu pada hakikatnya adalah sama dan satu, maka konsep-konsep kemanusiaan yang ada dalam berbagai sistem budaya tentu memiliki titik-titik kesamaan antara satu dengan lainnya.

Tinjauan historis-kultural

Jika hal tersebut di atas itu dapat diterima, maka logikanya ialah bahwa manusia dan kemanusiaan adalah universal. Nilai-nilai dalam satu atau lain bentuk pasti ada pada setiap bangsa di setiap zaman. Jabaran-jabaran mutakhir atau modern tentang manusia dan kemanusiaan dapat dipandang sebagai tidak lebih daripada kelanjutan logika ide-ide dasar tersebut dalam konteks kehidupan kontemporer yang semakin kompleks dan bersifat global.

Jadi pada dasarnya jabaran-jabaran itu harus diterima sebagai berlaku bagi semua bangsa. Perlunya diadakan penyesuaian jabaran itu kepada tuntutan lingkungan sosial dan kultural setempat adalah untuk membuatnya lebih fungsional secara efektif, tidak untuk ''menawar habis'' nilai-nilai inti dalam konsep tentang HAM itu sendiri.

Penerimaan dan kesadaran tentang HAM haruslah otentik dan sejati. Sebab nilai-nilai serupa itu dapat dihayati hanya jika dikaitkan dengan kesadaran hidup bermakna. HAM akan dapat menumbuhkan komitmen dalam jiwa para pendukungnya jika ia merupakan bagian dari hakikat kediriannya sebagai manusia. Karena itu perlu pendekatan sosial budaya dan sejarah. Istilah HAM (human rights) mulai banyak digunakan hanya seusai Perang Dunia II. 

 
Penerimaan dan kesadaran tentang HAM haruslah otentik dan sejati.
 
 

Istilah itu menjadi umum oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia PBB yang dikeluarkan pada tahun 1948. Sebagai istilah, HAM menggantikan "hak-hak alami" (natural rights), sebuah konsep yang sangat lama, dan ungkapan ''hak-hak manusia (lelaki)'' (rights of man), yang tidak harus mencakup hak-hak perempuan.

Para sarjana Barat yang cenderung melihat konsep HAM itu sebagai khas Barat menelusuri pertumbuhan awalnya pada konsep "hak-hak alami" dalam pemikiran Yunani dan Romawi kuna. Dalam sastra dan filsafat Yunani dan Romawi banyak terdapat pernyataan yang mengakui adanya ''hukum-hukum dewa dan hukum-hukum alam'' (laws of the gods and of nature), yang hukum-hukum itu dipandang terwujud sebelum adanya hukum-hukum yang dibuat oleh negara.

Tetapi kalangan sarjana lain menelusuri asal-usul konsep HAM kepada masa-masa yang lebih awal lagi. Kitab Suci kaum Ibrani (Taurat, yang oleh kaum Kristen disebut "Perjanjian Lama") menuturkan cerita kaum Israil kuno, dan di situ banyak isyarat tentang HAM. Tidak ada pernyataan yang benar-benar sempurna tentang masalah itu, namun terdapat kalimat-kalimat terserak yang penting, yang memberi bukti jelas tentang adanya titik pandang yang setidaknya sama majunya dengan filsafat Yunani dan Romawi. "Sepuluh Perintah" (The Ten Commandments, yang dalam Alquran disebut sebagai perjanjian antara Tuhan dan kaum Israil -- QS. 2:93), dengan melarang mencuri dan membunuh, memberi pengakuan tersirat kepada hak hidup dan memiliki harta.

Pengakuan itu kemudian dikemukakan dengan jelas sekali dalam "Pidato Perpisahan" (Khutbatul Wada') Nabi Muhammad SAW sewaktu wukuf di Arafat dalam satu-satunya pelaksanaan ibadah haji beliau. Pidato yang amat terkenal itu beliau buka dengan pertanyaan retorik: "Wahai sekalian manusia! Tahukah kamu, di bulan apa kamu berada, di hari apa kamu berada, dan di negeri mana kamu berada?" Semuanya menjawab: "Di hari suci, di bulan suci, dan di negeri suci."

 
Jadi kejahatan kepada seorang pribadi sesungguhnya adalah kejahatan kepada kemanusiaan universal.
 
 

Maka lanjut Nabi, "Ketahuilah bahwa darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya harimu ini, dalam bulanmu ini dan di negerimu ini, sampai saatnya kamu sekalian bertemu dengan Dia (Tuhan, di Hari Kiamat).''

Kemudian Nabi lanjutkan, "Dengarkanlah dariku, kamu sekalian akan hidup selamat. Ingatlah, jangan kamu berbuat zalim! Ingatlah, jangan kamu berbuat zalim! Ingatlah, jangan kamu berbuat zalim! Tidaklah halal harta seseorang kecuali dengan kerelaan hati orang bersangkutan. Dan semua (pelanggaran) darah, harta, dan tuntut balas yang terjadi di zaman Jahiliah ada di bawah telapak kakiku ini sampai Hari Kiamat...." (Hadist).

Dalam Alquran juga ditegaskan bahwa ''barangsiapa membunuh seseorang tanpa dosa pembunuhan atau perusakan di bumi maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan barangsiapa menolong hidup seseorang maka bagaikan ia menolong seluruh umat manusia'' (QS. 5:32). Jadi kejahatan kepada seorang pribadi sesungguhnya adalah kejahatan kepada kemanusiaan universal, demikian pula sebaliknya, kebaikan kepada seorang pribadi adalah kebaikan kepada kemanusiaan universal.

Perkembangan modern konsep HAM mulai tumbuh pada akhir Abad Tengah Eropa yang disebut zaman Renaissance, saat perlawanan kepada tirani ekonomi dan politik mulai muncul ke permukaan. Dan fikiran tentang HAM sebagai makhluk dengan harkat dan martabat yang tinggi merupakan hasil interaksi peradaban Eropa (Barat) dengan peradaban Yunani dan Islam. Pikiran itu kemudian dikembangkan dalam dinamika lingkungan peradaban Barat.

Giovanni Pico della Mirandola, seorang pemikir Eropa zaman Renaissance, dalam sebuah orasi ilmiah di hadapan para pemimpin agama tentang harkat dan martabat manusia, sebagai pembukaan ia mengatakan demikian: I have read in the records of Arabians, reverend Fathers, that Abdala ('Abd-Allah) the Saracen, when questioned as to what on this stage of the world, as it were, could be seen most worthy of wonder, replied: 'There is nothing to be seen more wonderful than man.' In agreement with this opinion is the saying of Hermes Trismegistus: 'A great miracle, Asclepius, is man.'

 
Perkembangan modern konsep HAM mulai tumbuh pada akhir Abad Tengah Eropa yang disebut zaman Renaissance.
 
 

Tetapi jika konsep HAM sudah lama sekali ada, namun pengakuan umum kepada keabsahannya adalah baru. Sepanjang sejarah hampir semua umat manusia, pemerintahan biasanya menolak untuk mengakui bahwa rakyat memiliki hak-hak yang tidak tergantung kepada negara. Justru kebanyakan pemerintah beranggapan bahwa pihaknya lah yang memberi dan menjamin hak-hak itu. 

Paham keunggulan negara atau "etatisme" menganggap adanya kekuasaan negara atas peri-kehidupan warga negara. Pada abad ke-20 etatisme masih merupakan konsep yang kuat. Contoh-contoh utama ialah Jerman di bawah Hitler dan Uni Soviet di bawah Stalin, dengan contoh-contoh lain yang sampai saat ini masih bertahan.

Hubungan antara pemerintahan dan HAM mengalami perubahan menyeluruh setelah revolusi-revolusi Amerika dan Prancis. Para tokoh kedua revolusi itu menegaskan bahwa tujuan pemerintahan ialah untuk melindungi dan membela HAM, bukan untuk membuyarkan atau menyalahgunakannya. James Madison bahkan mengatakan bahwa ''sebagaimana orang dikatakan punya hak asasi atas hak-milik-(properti)-nya, ia juga dapat dikatakan punya hak-milik atas hak asasinya."

Selanjutnya, "Pemerintah dilembagakan untuk melindungi hak-milik dalam segala bentuknya." Deklarasi HAM dan Warga Negara Prancis (1789) menyebutkan, "Manusia dilahirkan bebas dan tetap bebas dan sama dalam hak-hak asasinya," dan ''Tujuan setiap perserikatan politik ialah untuk menjaga HAM yang alami dan tak dapat diubah."

Disadur dari Harian Republika edisi 20 April 1997. Nurcholish Madjid (1938-2005) adalah mantan rektor Universitas Paramadina. Ia salah satu budayawan dan pemikir Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Nilai Tambah dan Jejak Kebaikan

Melakukan kebaikan merupakan akhlak mulia bagi seorang Muslim.

SELENGKAPNYA

Surat-Surat dari Rasulullah

Setidaknya terdapat 50 buah surat dari Rasulullah SAW yang terdokumentasikan dalam kitab A'lam.

SELENGKAPNYA

Lima Jenis Olahraga untuk Atasi Kecemasan dan Depresi

Berlari di luar ruangan menjadi cara ampuh untuk mendapat efek antidepresan.

SELENGKAPNYA