Petugas kepolisian berjaga-jaga selepas kerusuhan di Bendungan Hilir, Jakarta, (13/5/1998). Kondisi politik memaksa Ligina IV berhenti di tengah jalan. | ANTARA FOTO/Mosista Pambudi

Kabar Utama

Rabu Kelam dan Bubarnya Liga Indonesia

Liga sepak bola di Indonesia pertama kali terhenti pada 1998.

OLEH FITRIYAN ZAMZAMI

Penghentian mendadak helatan Liga 2 dan Liga 3 oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Jika tak dianulir, keputusan ini akan  menambah panjang daftar mandeknya liga sepak bola Indonesia di tengah jalan.

Helatan kompetisi sepak bola Indonesia sejatinya sudah dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Namun kompetisi yang dinilai benar-benar profesional adalah saat kompetisi Galatama dan Perserikatan digabungkan menjadi Liga Indonesia (Ligina) pada 1994. 

Kompetisi Ligina yang dimulai 27 November 1994 ini dibagi dalam dua divisi. Divisi Utama diikuti 34 tim peserta, sedangkan Divisi Satu diramaikan 18 tim. Mereka berkompetisi selama delapan bulan penuh.

Divisi utama terdiri dari 17 klub Galatama dan 17 tim perserikatan anggota Divisi Utama PSSI. Sedangkan Divisi Satu ditempati oleh 18 tim perserikatan anggota Divisi Satu PSSI.

photo
Susunan klub PSM Makassar pada Ligina IV (1997/1998) - (facebook)

Kompetisi ini berlangsung sukses dan menepis keraguan soal kemampuannya menggantikan kompetisi Galatama dan Perserikatan yang sudah populer. Namun, kemudian datang krisis moneter pada 1997. Menjelang dilaksanakannya Ligina IV pada 1998, PT Cipta Citra Sportindo sebagai promotor liga belum berhasil menggaet sponsor yang bersedia mendanai kompetisi. 

Klub-klub juga kesulitan membeli perlengkapan tanding dan latihan, apalagi membayar gaji pemain. Subsidi Rp 100 juta yang dijanjikan PSSI juga tak kunjung turun. Karena penyelenggara tak mampu mencari sponsor utama, klub akhirnya boleh mencari sponsor sendiri.

Di tengah jalan buntu soal pendanaan itu, perpolitikan Tanah Air memanas. Pada 5 Februari 1998, akhirnya diputuskan penundaan Ligina IV. Penundaan tersebut berkaitan dengan perintah Panglima ABRI untuk tidak mengadakan kegiatan yang sifatnya pengumpulan massa menjelang Sidang Umum MPR.

Hasil sidang pada 8 Maret 1998 itu kembali menunjuk Presiden Soeharto sebagai presiden. Gelombang penolakan kemudian merebak di mana-mana. Krisis ekonomi yang tak kunjung usai juga menyulut seruan agar Presiden Soeharto mundur. 

photo
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR untuk Demonstrasi (21/5/1998) menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. - (Darmawan/Republika)

Liga kemudian digulirkan kembali pada 22 Maret 1998. Dan situasi panas di luar stadion merangsek masuk. Pada Rabu, 7 Mei 1998, kericuhan meletus sekaligus di sejumlah pertandingan.

Para pemain Ligina saat itu banyak yang sekian lama tak menerima gaji. Sementara penonton sama frustasinya dengan kondisi ekonomi. Walhasil, kondisi di stadion jadi spaneng.

Di Yogyakarta, terjadi perkelahian antarpemain serta kerusuhan penonton yang memadati Stadion Mandala Krida dalam laga PSIM dan PSB Bogor. Di Cimahi, pertandingan antara tuan rumah Persikab Bandung dan Persebaya juga nyaris diwarnai dengan perkelahian.

Di Solo, ribuan penonton yang memadati Stadion Sriwedari menghambur ke lapangan dengan menjebol pagar pengaman. Bentrokan fisik antara petugas keamanan dan para penonton tidak terhindarkan, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban dari kedua belah pihak. Kerusuhan itu terjadi di babak kedua pertandingan antara Arseto dan Pelita Jakarta.

photo
Suasana di Jakarta (20/5/1998) pascaaksi Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR untuk melengserkan Presiden Soeharto yang dilakukan menyikapi peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. - (Republika/Bakhtiar Phada)

Insiden serupa juga terjadi di Medan. Ribuan penonton menyerbu para pemain PSIS Semarang maupun pemain tuan rumah PSMS Medan ke tengah lapangan. Ribuan penonton yang berada di tribun terbuka menyerbu masuk ke tengah lapangan sambil melakukan pelemparan batu, potongan kayu dan besi yang ditujukan kepada pemain ketika pertandingan babak kedua sekitar sepuluh menit lagi akan berakhir.   

Berbagai kerusuhan itu kemudian memunculkan wacana penundaan kompetisi. Pada 15 Mei 1998, menyusul huru-hara di Jakarta dan berbagai daerah, kompetisi akhirnya ditunda hingga waktu yang belum ditentukan. 

Pada 25 Mei 1998, sekitar sepekan setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri, kemudian palu itu diketuk. PSSI memutuskan membatalkan lanjutan kompetisi Liga Indonesia IV, serta juga membatalkan seluruh kompetisi tingkat nasional yang sedianya digelar tahun 1998. 

Saat itu, kompetisi dipecah menjadi tiga wilayah. Ketika liga dihentikan, Persebaya memuncaki Divisi Barat, PSMS Medan memuncaki Divisi Tengah, dan PSM Makassar jadi pemuncak Divisi Timur. Kurniawan Dwi Yulianto yang saat itu bermain untuk Pelita Jaya adalah top skorer dengan 18 gol.

Sepanjang sejarah tegaknya organisasi PSSI sejak berdiri pada 1930, baru sekali itu terjadi pembubaran kompetisi tingkat nasional di tengah jalan. Sebelumnya, dalam situasi sulit seperti apa pun, PSSI senantiasa sukses memutar kompetisi reguler tingkat nasional sampai tuntas.

Keputusan PSSI menghentikan kompetisi Ligina IV di tengah jalan kemudian menjelma menjadi "hantu" yang menimbulkan trauma bagi semua klub/tim di Liga Indonesia. Benar saja, penghentian kompetisi di tengah jalan nantinya terulang lagi pada 2015 akibat sanksi FIFA, kemudian pada 2020 akibat merebaknya wabah Covid-19.

Disadur dari Harian Republika edisi 1994-1998

Surat Misterius Pemberhentian Liga 2

CEO PSCS menyebut klub Liga 2 lebih banyak yang meminta kompetisi dilanjutkan.

SELENGKAPNYA

Media Sosial dan Ketegaan Menghilangkan Nyawa

Agresi, regulasi emosi yang buruk, isolasi sosial, merupakan indikasi emosi anak.

SELENGKAPNYA

Sejarah Dana Otsus Papua

Otsus Papua jadi kompromi atas seruan Papua Merdeka

SELENGKAPNYA