Seorang anak bermain di sekitar tanaman mangrove di kawasan Pantai Teluk Palu, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (15/9/2022). | ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Sains

Suhu Laut Terpanas dalam Semilenium

Lautan dunia menjadi yang terpanas sepanjang sejarah terjadi pada 2022.

OLEH RAHMA SULISTYA

Lautan dunia menjadi yang terpanas sepanjang sejarah terjadi pada 2022. Ini menunjukkan perubahan akbar dan meluas yang disebabkan emisi dari kegiatan manusia terhadap iklim bumi.

Lebih dari 90 persen kelebihan panas yang terperangkap oleh emisi gas rumah kaca diserap di lautan. Catatan yang dimulai pada 1958 menunjukkan kenaikan suhu laut yang tak terhindarkan, dengan percepatan pemanasan setelah 1990.

Suhu permukaan laut memiliki pengaruh besar pada cuaca dunia. Lautan yang lebih panas akan memberi peningkatan cuaca ekstrem, yang menyebabkan badai dan topan lebih intens serta lebih banyak uap air di udara, yang menyebabkan hujan dan banjir yang lebih intens. 

Air yang lebih hangat juga mengembang, mendorong permukaan laut dan membahayakan kota-kota pesisir. Suhu lautan jauh lebih sedikit dipengaruhi oleh variabilitas iklim alami daripada suhu atmosfer, yang menjadikan lautan sebagai indikator pemanasan global yang tak terbantahkan.

Tahun lalu, diperkirakan, menjadi tahun terpanas keempat atau kelima yang tercatat untuk suhu udara permukaan saat data akhir dikumpulkan. Selama 2022, terjadi peristiwa La Niña ketiga berturut-turut, yang merupakan fase lebih dingin dari siklus iklim tidak teratur berpusat di Pasifik, yang memengaruhi pola cuaca global. 

Saat El Niño kembali, suhu udara global akan meningkat lebih tinggi lagi. “Energi bumi dan siklus air telah sangat berubah karena emisi gas rumah kaca oleh aktivitas manusia, mendorong perubahan luas dalam sistem iklim bumi,” ujar tim ilmuwan internasional yang menganalisis panas lautan terbaru.

“Mengukur lautan adalah cara paling akurat untuk menentukan seberapa tidak seimbangnya planet kita. Kita mendapatkan cuaca yang lebih ekstrem karena lautan yang menghangat, dan itu memiliki konsekuensi yang luar biasa di seluruh dunia,” kata Prof John Abraham dari University of St Thomas di Minnesota dilansir the Guardian, Kamis (12/1).

Prof Michael Mann dari University of Pennsylvania yang juga bagian dari tim, mengatakan bahwa lautan yang lebih hangat berarti akan ada lebih banyak potensi untuk peristiwa curah hujan yang lebih besar, seperti yang terlihat tahun lalu di Eropa, Australia, dan saat ini di pantai barat Amerika Serikat.

photo
Warga menggunakan perahu melintasi jalan yang terdampak banjir di Karangturi, Setrokalangan, Kaliwungu, Kudus, Jawa Tengah, Sabtu (7/1/2023). - (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Dia mengatakan, analisis menunjukkan lapisan air hangat yang semakin dalam di permukaan laut. “Hal ini menyebabkan intensifikasi badai yang lebih besar dan lebih cepat, sesuatu yang juga telah kita lihat tahun lalu. Karena angin tidak lagi mengaduk sub-air permukaan yang sebaliknya justru meredam intensifikasi,” kata dia.

Penelitian yang dirilis pada Senin lalu oleh Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS, menunjukkan bahwa banyak peristiwa cuaca ekstrem pada 2022, yang menjadi lebih mungkin dan lebih intens oleh krisis iklim, seperti hujan lebat yang menyebabkan banjir dahsyat di Chad, Niger, dan Nigeria.

Pengukuran suhu laut yang andal dilakukan sejak 1940, tetapi kemungkinan besar lautan sekarang berada pada titik terpanas selama 1.000 tahun dan memanas lebih cepat dari waktu mana pun dalam 2.000 tahun terakhir.

Analisis yang diterbitkan dalam jurnal Advances in Atmospheric Sciences itu menggunakan data suhu yang dikumpulkan oleh berbagai instrumen di seluruh lautan, dan menggabungkan analisis terpisah oleh tim Cina dan AS untuk menghitung kandungan panas dari 2.000 meter teratas, yakni tempat sebagian besar pemanasan terjadi.

Lautan menyerap sekitar 10 zettajoule lebih banyak panas pada 2022 daripada 2021. Itu setara dengan setiap orang di bumi yang menjalankan 40 pengering rambut sepanjang hari, setiap hari.

Para peneliti juga menganalisis salinitas alias keasinan yang bersama dengan suhu, menentukan kerapatan air dan merupakan pendorong vital sirkulasi laut. Indeks variabilitas salinitas di seluruh lautan mencapai rekor tertinggi pada 2022, yang menunjukkan amplifikasi berkelanjutan dari siklus hidrologi global.

Ciri penting lain dari lautan adalah stratifikasi, yakni pelapisan air berdasarkan kepadatan menjadi lebih kuat. Ini membatasi pencampuran air yang lebih dalam, lebih dingin, dan lebih kaya nutrisi dengan air permukaan.

Tren jangka panjang peningkatan stratifikasi berlanjut pada 2022. Para ilmuwan menemukan itu dengan konsekuensi ilmiah, sosial, dan ekologis yang penting. Salah satu akibatnya, berkurangnya pencampuran di lautan berarti lapisan permukaan menyerap lebih sedikit karbondioksida dari atmosfer, sehingga meningkatkan pemanasan global.

photo
Sejumlah wisatawan memandang gelombang tinggi di Pantai Salor, Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Kamis (29/12/2022). - (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

“Ada peningkatan kejadian gelombang panas yang memecahkan rekor dan kekeringan di belahan bumi utara, konsisten dengan pemanasan laut yang intensif di Samudera Pasifik dan Atlantik garis lintang tengah,” kata para peneliti.

Pemanasan lautan dan dampaknya pada cuaca ekstrem, akan meningkat hingga umat manusia mencapai emisi nol bersih.

Pada Oktober, Organisasi Meteorologi Dunia melaporkan bahwa konsentrasi atmosfer dari semua gas rumah kaca utama (karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida) telah mencapai rekor tertinggi. Kepala WMO, Prof Petteri Talaash mengatakan, bumi semakin ke arah yang berbahaya.

Tiktok, Ruang Baru Eksploitasi Kemiskinan

Media sosial menjadi tempat untuk mendapatkan dua hal, yaitu kepopuleran dan uang.

SELENGKAPNYA

Cerita-Cerita Menakjubkan Asy-Syibli

Asy-Syibli merupakan seorang sufi dari abad ketiga Hijriyah.

SELENGKAPNYA

Meluruskan Stereotipe Tentang Pesantren

Melalui buku ini, KH Nasaruddin Umar meluruskan stereotipe yang sering dialamatkan pada pesantren.

SELENGKAPNYA