ILUSTRASI Sufi asy-Syibli dikisahkan dalam pelbagai narasi tasawuf. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Cerita-Cerita Menakjubkan Asy-Syibli

Asy-Syibli merupakan seorang sufi dari abad ketiga Hijriyah.

Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani menuturkan kisah seorang sufi bernama Abu Bakar asy-Syibli.

Pada suatu malam, ahli tasawuf itu bermimpi tentang kondisinya sesudah kematian. Tiba-tiba, sebentuk suara menyapanya.

“Wahai Abu Bakar! Apakah engkau tahu mengapa Allah mengampuni dosa-dosamu?”

“Apakah karena amal-amal salehku di dunia?” jawab salik itu.

“Bukan.”

“Keikhlasanku dalam beribadah?”

“Bukan,” tegas suara itu lagi.

“Karena haji, puasa, dan shalat yang kulakukan?” Abu Bakar asy-Syibli coba menerka-nerka.

“Bukan.”

“Sungguh, aku tidak mengetahui mengapa Dia mengampuniku,” kata asy-Syibli.

“Ingatkah ketika engkau berjalan di sebuah lorong di Baghdad? Bukankah engkau menjumpai seekor anak kucing yang lemas akibat cuaca dingin hingga ia meringkuk kedinginan? Dengan rasa sayang, engkau mengambilnya, meletakkannya dalam sebuah keranjang yang engkau bawa, lantas melindunginya dari udara dingin.”

“Ya, hamba ingat sekarang,” ujarnya.

“Karena kasih sayangmu terhadap anak kucing itulah, Allah memberikan kepadamu rahmat-Nya.”

Syekh Nawawi al-Bantani menukil syair dari asy-Syibli:

إذا أردت أن تستأ نس بالله فاستوحش من نفسك

(Idzaa aradta an tasta’nisa billahi faastauhisy min nafsika)

Artinya, “Jika hatimu ingin merasa senang bersama Allah (tidak berpaling dari Allah), maka cegahlah hawa nafsumu (menguasaimu).”

Profil sang sufi

Nama asy-Syibli dinisbatkan kepada Syekh Abu Bakar. Sebab, dirinya dibesarkan di Kota Syibli, wilayah Khurasan, Persia. Imam asy-Syibli dilahirkan pada 247 Hijriyah di Baghdad --sumber lain menyatakan Samarra. Lelaki ini berasal dari sebuah keluarga yang terhormat dan alim.

Asy-Syibly menempuh pendidikannya dengan baik sejak kecil hingga dewasa. Karena itu, ia pun dapat menguasai ilmu agama, termasuk fikih, ushul fikih, hadis, dan tata bahasa Arab.

Selama 20 tahun, ia menempuh rihlah intelektual, yakni dengan menemui para ulama dan tokoh sufi pada masanya.

 
Selama 20 tahun, ia menempuh rihlah intelektual, yakni dengan menemui para ulama dan tokoh sufi pada masanya.
 
 

Awalnya, asy-Syibly menempuh pendidikan dengan belajar fikih Mazhab Maliki dan ilmu hadis selama hampir 12 tahun. Kecerdasannya dalam menyerap ilmu-ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan kekuasaan. Oleh penguasa, dirinya pun sempat diberikan berbagai jabatan.

Kariernya melesat. Asy-Syibli bahkan pernah menduduki beberapa posisi penting selama bertahun-tahun. Di antaranya adalah, jabatan sebagai gubernur Provinsi Dermavend.

Namun, ia akhirnya meninggalkan seluruh kesibukannya di ranah politik. Seutuhnya, asy-Syibli berkonsentrasi pada dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya. Di antara mereka terdapat kalangan kelompok spritual Khairal Nassaj.

Di samping itu, asy-Syibli juga berguru kepada beberapa sufi terkenal, seperti Syekh Junaid al-Baghdadi. Gurunya ini sangat mempengaruhi perkembangan kerohaniannya. Pertemuannya dengan al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya.

Setelah menerima bimbingan dari Syekh Junaid, asy-Syibli hidup dengan penuh disiplin. Sebagai seorang salik, ia menjalani berbagai laku sampai menggapai maqam zuhud, warak, dan takwa. Itu disertai dengan pandangan yang teguh dalam menghadapi dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi.

Saat berada di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia dikenal karena perilakunya yang cukup eksentrik. Bahkan, hal itu menyebabkan dirinya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Sang sufi meninggal dunia pada 334 H/846 M dalam usia 87 tahun.

Hingga ujung umurnya, tetap saja asy-Syibli mendapatkan penghormatan dari orang-orang. Sebab, dirinya memang dikenal sebagai seorang sufi yang saleh.

Masih dalam Nashaihul ‘Ibad, diceritakan bahwa pada suatu ketika asy-Syibli menemui seorang ulama besar, Ibnu Mujahid. Jamaah setempat menyaksikan keduanya bersalaman hangat. Bahkan, mereka terkejut ketika sang tuan rumah mencium kening di antara kedua mata tamu tersebut.

Sesudah asy-Syibli pulang, seorang jamaah memberanikan diri bertanya kepada gurunya itu. “Wahai Tuan, mengapa engkau lakukan itu kepada asy-Syibli?”

 
Kulakukan itu karena aku melihat di dalam mimpi, Rasulullah SAW melakukan hal serupa kepada asy-Syibli.
 
 

“Kulakukan itu karena aku melihat di dalam mimpi, Rasulullah SAW melakukan hal serupa kepada asy-Syibli.”

Ibnu Mujahid lalu bercerita, dirinya pernah bermimpi melihat asy-Syibli datang menemui Nabi Muhammad SAW. Melihat kedatangannya, Rasulullah SAW memeluk dan mencium kening di antara kedua mata lelaki itu.

Melihat pemandangan tersebut, Ibnu Mujahid lantas bertanya kepada Nabi SAW, “Mengapa engkau lakukan itu kepada asy-Syibli, ya Rasulullah?”

“Aku melakukannya karena dia selalu membaca laqad jaakum Rasuulun min anfusikum.... (dua ayat terakhir dari surah at-Taubah) sesudah shalat fardhu. Lalu, ia bershalawat.”

Meluruskan Stereotipe Tentang Pesantren

Melalui buku ini, KH Nasaruddin Umar meluruskan stereotipe yang sering dialamatkan pada pesantren.

SELENGKAPNYA

Khalifah Pun Menjadi Kuli Panggul

Dia juga rajin menguping langsung dari rakyat dan menyaksikan praktik langsung kebijakannya di lapangan.

SELENGKAPNYA

Menjaga Ibadah Sunnah

Di antara ibadah sunnah yang mesti kita jaga shalat sunnah Rawatib dan shalat Dhuha.

SELENGKAPNYA