KH Abdul Halim, tokoh Persatuan Ummat Islam | DOK PUI

Mujadid

KH Abdul Halim, Sang Ulama Reformis dari Majalengka

Ulama asal Majalengka, KH Abdul Halim, turut berjuang demi tegaknya Republik Indonesia.

Kalangan mubaligh berperan besar dalam melakukan syiar Islam di Indonesia. Mereka berkhidmat melalui dunia dakwah dan pendidikan. Bahkan, tidak hanya itu. Para alim ulama pun turut berjuang dalam membela dan mempertahankan negeri ini, terutama pada masa penjajahan.

Salah satu dari sekian banyak ulama yang berjiwa patriot itu adalah KH Abdul Halim. Tokoh asal Majalengka, Jawa Barat, itu pun dikenal sebagai seorang pembaru atau reformis Islam. Kiprahnya merentang di bidang dakwah, pendidikan, ekonomi dan sosial kemasyarakatan.

Pahlawan nasional ini lahir di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, pada 4 Syawal 1304 H atau bertepatan dengan 26 Juni 1887 M. Ia berasal dari sebuah kekuarga yang taat beragama. Ayahnya merupakan seorang penghulu, KH Muhammad Iskandar. Adapun ibunya bernama Hj Siti Mutmainah binti Imam Safari.

Ia merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Nama kecilnya adalah Otong Syatori. Barulah usai menunaikan ibadah haji, namanya berganti menjadi Abdul Halim. Sejak belia, ia mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya yang penuh disiplin. Saat berusia 10 tahun, anak lelaki ini sudah piawai membaca dan menghafalkan Alquran.

 
Saat berusia 10 tahun, Otong Syatori sudah piawai membaca dan menghafalkan Alquran.
 
 

 

Setelah itu, Abdul Halim kecil melakukan rihlah keilmuan ke beberapa pondok pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pesantren pertama yang menjadi tujuannya adalah Ponpes Ranji Wetan Majalengka yang diasuh oleh KH Anwar.

Tak berhenti di situ, Abdul Halim juga sempat menjadi santri kelana. Ia berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Di antara guru-gurunya adalah KH Abdullah, pengasuh Ponpes Lontang Jaya Majalengka. Kemudian, ada KH Sujak, KH Ahmad Soban, dan KH Agus. Masing-masing berada di Ponpes Bobos Cirebon, Ponpes Ciwedus Kuningan, dan Ponpes Kedungwangi Pekalongan.

Ketika menjadi seorang santri, ia juga menyempatkan diri untuk berdagang. Bisnis kecil-kecilan dilakukannya dengan menjual batik, minyak wangi, dan buku-buku pelajaran agama. Dengan berjualan, ia mengumpulkan banyak pengalaman yang kelak berguna baginya untuk mendalami sistem ekonomi masyarakat Pribumi.

 
Bisnis kecil-kecilan dilakukannya dengan menjual batik, minyak wangi, dan buku-buku pelajaran agama.
 
 

 

Saat berusia 22 tahun, Abdul Halim berkesempatan untuk pergi ke Tanah Suci. Selama berada Makkah, khususnya usai musim haji, dirinya belajar kepada para ulama setempat. Selama tiga tahun dirinya bermukim di kota kelahiran Rasulullah SAW itu, ia pun mepelajari karya-karya para tokoh pembaru Islam, semisal Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh.

Salah seorang gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama Nusantara yang menjadi imam dan khatib Masjidil Haram. Di samping itu, ia juga menuntut ilmu kepada sejumlah alim lain, seperti Syekh Ahmad Khayyat, Emir Syakib Arslan, dan Syekh Tanthawi Jauhari.

Pada tahun 1911, Abdul Halim pulang ke Tanah Air. Dimulailah babak baru dalam kehidupannya sebagai seorang ulama. Dengan berbekal ilmu, amal, serta semangat juang yang kuat, ia mewujudkan berbagai ikhtiar untuk perbaikan masyarakat, baik dalam bidang pendidikan maupun ekonomi.

 
Saat berusia 22 tahun, Abdul Halim berkesempatan untuk pergi ke Tanah Suci.
 
 

 

Sang penggerak

Usaha perbaikan yang ditempuh KH Abdul Halim melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah). Sepulangnya dari Makkah, ia mendirikan majelis ilmu sebagai tempat pengajaran keagamaan dalam bentuk yang sederhana. Lokasinya berada di sebuah surau yang berbahan bambu.

Dengan bantuan mertuanya, KH Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat, Kiai Abdul Halim terus mengembangkan dan menerapkan ide-idenya. Pada perkembangan berikutnya, di atas tanah sang mertua ia dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.

Pada 1912 M, ia mendirikan Hayatul Qulub. Melalui lembaga ini, sang kiai mengembangkan ide pembaruan pendidikan. Di sana pula, dirinya aktif dalam bidang sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh lokal, santri, pedagang, dan petani.

Langkah-langkah perbaikan yang dilakukannya meliputi delapan bidang. Semuanya disebut sebagai al-Islah as-Samaniyah. Itu terdiri atas perbaikan dalam aspek akidah, ibadah, pendidikan, penguatan keluarga, tradisi, masyarakat, perekonomian, dan hubungan tolong-menolong antarsesama umat Islam.

Seiring berjalannya waktu, organisasi yang dipimpinnya itu mulai berdampak nyata dan positif di tengah masyarakat, khususnya dalam memperbaiki kondisi golongan kecil. Kemajuan dan hasil yang telah dicapai gerakan Kiai Abdul Halim bukanlah tanpa tantangan. Sebab, pada masa itu pemerintah Hindia Belanda mulai menaruh curiga.

 
Secara diam-diam, rezim kolonial mengutus polisi rahasia untuk mengawasi pergerakan Kiai Abdul Halim dan para pengikutnya.
 
 

 

Secara diam-diam, rezim kolonial mengutus polisi rahasia untuk mengawasi pergerakan Kiai Abdul Halim dan para pengikutnya. Mereka tidak hanya diawasi, tetapi juga diintimidasi. Pada 1915, misalnya, organisasi yang dipimpin sang kiai dipaksa untuk bubar. Sebab, pemerintah menganggap lembaga itu sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan, terutama yang berkaitan dengan konflik yang melibatkan Pribumi. Sejak itu, Hayatul Qulub secara resmi dimatikan, tetapi pada faktanya kegiatan-kegiatan dakwah organisasi itu terus berjalan.

Pada 16 Mei 1916 M, Kiai Abdul Halim mendirikan gerakan baru yang dinamakannya Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin. Ini sebagai upaya untuk terus mengembangkan perbaikan dalam bidang pendidikan. Untuk membesarkan lembaga ini, ia menjalin relasi dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Namun, hanya setahun kemudian Jam'iyah ini lagi-lagi menjadi sasaran penguasa otoriter sehingga dibubarkan paksa.

Dengan dukungan dari seorang sahabatnya, HOS Tjokroaminoto, pada tahun 1917 ia mendirikan Persjarikatan Oelama (PO). Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 21 Desember 1917 M. Pada 1924 M, daerah operasi pergerakan ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura. Ikhtiar-ikhtiar juga digiatkan, termasuk pada 1937, untuk menyebarkan perkumpulan ini ke berbagai daerah Indonesia.

Untuk mendukung organisasi ini, Kiai Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian. Ia membeli kawasan tanah seluas 2,5 hektare pada 1927. Ia pun mendirikan percetakan pada 1930 M. Hasil seluruh usahanya tersebut dipergunakan untuk mendukung pendanaan organisasi.

Pada 1939 M, Kiai Abdul Halim juga mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya. Untuk mendukung lajunya perusahaan, ia mewajibkan para guru untuk menanam saham mereka di sana, sesuai dengan kemampuan masing-masing.

 
Selain mengembangkan bidang pendidikan, Kiai Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah.
 
 

 

Kiai Abdul Halim juga memandang perlu adanya pembekalan keterampilan kepada anak didiknya. Harapannya, mereka kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain. Idenya kemudian direalisasikan dengan mendirikan sekolah bernama Santi Asromo di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Lembaga edukasi ini memiliki kurikulum praktik pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.

Selain mengembangkan bidang pendidikan, Kiai Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan baik dengan beberapa organisasi keislaman di Tanah Air, seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) Sukabumi.

Dalam bidang akidah dan ibadah amaliah, ia termasuk ulama yang mengusung semangat ahlussunnah wal jama’ah (aswaja). Inti dakwahnya adalah mengukuhkan rasa persaudaraan Muslim (ukhuwah Islamiyah) dengan penuh keikhlasan. Dirinya tidak kenal lelah dalam melakukan syiar Islam dan juga berjuang mengusir penjajahan.

photo
ILUSTRASI Mural yang melukiskan sosok tokoh Persatuan Ummat Islam, termasuk KH Abdul Halim. - (DOK PUI)

Kiprah dan perjuangan

Selain beraktivitas dalam membina organisasi PO, KH Abdul Halim juga aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik untuk menentang kolonialisme. Kiprah politiknya dimulai saat dirinya bergabung dengan Sarekat Islam (SI).

Pada 1912 M, ia menjadi seorang pimpinan SI Cabang Majalengka. Ia bahkan dipercaya sebagai President Afdelling Bestuur SI Majalengka lima tahun kemudian. Selain itu, Kiai Abdul Halim juga pernah terpilih sebagai Commisaris Bestuur Central SI Jawa Barat.

Dalam Kongres Al-Islam, ia pun aktif terutama pada tahun-tahun penyelenggaraan 1921 di Cirebon, 1922 di Garut, dan 1924 di Surabaya. Hingga akhirnya ia terpilih sebagai President Muslim Leiders Bond dalam Kongres Al-Islam di Bandung pada 1926.

Pada 1928 M, Kiai Abdul Halim juga pernah diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan SI. Jabatan itu diembannya bersama-sama dengan KH M Anwaruddin dari Rembang dan KH Abdullah Siradj dari Yogyakarta.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, beragam organisasi politik dan keagamaan pun dibekukan, termasuk PO. Kendati demikian, sang kiai dan kawan-kawan tidak menyerah. Mereka kembali mengajukan pendirian organisasi dan pada 1944 usahanya berhasil. Namun, pemerintah Dai Nippon mewajibkan pengubahan nama sehingga organisasi itu menjadi Perikatan Oemat Islam (POI).

Di kemudian hari, yakni sejak tanggal 5 April 1952, POI berfusi dengan Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII). Gerakan yang tersebut akhir itu berdiri sejak 21 November 1931 M/11 Rajab 1350 H di Batavia (Jakarta), tetapi selanjutnya berpusat di Sukabumi, Jabar. Bergabungnya POI dengan AII pada 1952 itu menghasilkan Persatuan Ummat Islam (PUI).

 
Fusi kedua organisasi keagamaan dan kemasyarakatan tersebut dimungkinkan karena ketiga pendirinya merupakan tokoh bangsa.
 
 

Fusi kedua organisasi keagamaan dan kemasyarakatan tersebut dimungkinkan karena ketiga pendirinya merupakan tokoh bangsa. Ketiganya adalah KH Abdul Halim, KH Ahmad Sanusi, dan Mr R Syamsuddin. Dalam masa menjelang Proklamasi RI, mereka termasuk dalam struktur Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

 

Di luar PUI, Kiai Abdul Halim juga pernah menjadi anggota pengurus Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didirikan pada 1937 di Surabaya. Usai MIAI diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Kiai Abdul Halim pada 1943 menjadi salah seorang pengurusnya.

Menjelang proklamasi kemerdekaan, Kiai Abdul Halim masuk dalam jajaran anggota Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat), serta berperan aktif dalam BPUPKI pada 1945.

Saat terjadi Agresi Belanda pada 1947, ulama Majalengka ini turut menenteng senjata dan berjuang langsung di lapangan. Ia bersama rakyat dan laskar-laskar menyebar di pedalaman hutan untuk menyusun strategi gerilya melawan Belanda. Semangat nasionalisme RI dalam dadanya amat besar. Terbukti, dalam kondisi demikian dirinya menentang berdirinya Negara Pasundan, yang tidak lain bentukan NICA (Belanda) pada 1948.

Sejak akhir tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan RI. Mulai saat itu, Indonesia dapat menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan normal. Pada masa itu, Kiai Abdul Halim malanjutkan kiprahnya. Ia masuk dalam anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Karisidenan Cirebon. Pada 1951 M, ia menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Lima tahun kemudian, sang kiai menjadi anggota Dewan Konstituante.

Selain aktif di dunia pendidikan dan politik pergerakan, ulama reformis tersebut juga termasuk giat di ranah pers. Pada 1928, misalnya, Kiai Abdul Halim tercatat sebagai salah seorang pendiri majalah bulanan Soeara Persyarikatan Oelama (SPO) dan majalah As-Syuro. Tidak hanya itu, ia juga termasuk sosok penulis produktif.

Sekurang-kurangnya, ada 11 buku yang lahir dari tangannya. Di antaranya adalah Dawat al-Amal, Tarikh Islam, Neraca Hidup, Risalat, dan Ijtima’iyyat wa Ilajuha. Adapun karyanya dalam bidang ekonomi masyarakat adalah Economie dan Cooperatie Dalam Islam.

Kiai Abdul Halim wafat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka pada 1962 M. Umat mengenangnya sebagai seorang alim yang sederhana, tawaduk, serta selalu mengutamakan jalan ilmu dan damai dalam ikhtiar menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.

Untuk mengenang kiprah perjuangan Kiai Abdul Halim, pemerintah Indonesia menganugerahkan penghargaan Bintang Maha Putera Utama kepadanya pada 12 Agustus 1992. Gelar Pahlawan Nasional juga diberikan, bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kisah Malika, Bocah Periang dan Mudah Bergaul

Malika menghilang setelah sempat dibawa kabur oleh seseorang di Gunung Sahari.

SELENGKAPNYA

Saat HB Jassin Menerjemahkan Alquran

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang tidak pernah membaca buku-buku sastra.

SELENGKAPNYA

Jika Mertua Haram Dinikahi, Bagaimana dengan Besan?

Ayat tersebut menjelaskan secara terperinci perempuan-perempuan yang haram dinikahi seorang laki-laki,

SELENGKAPNYA