
Kronik
Sejarah Deislamisasi Bahasa Indonesia
Proses latinisasi huruf pada dasarnya adalah proses deIslamisasi yang sejalan dengan politik asosiasi Belanda.
OLEH ARIF WIBOWO, Direktur Pusat Studi Peradaban Islam Solo
“Een Holandsche Kwa jongen”, kurang lebih artinya “Begajul Belanda“, adalah artikel dalam Bahasa Belanda yang ditulis oleh Syafruddin Prawiranegara di Majalah USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis / Perhimpunan Mahasiswa Indonesia).
Artikel tersebut merupakan protes atas pernyataan Profesor Eggens yang menyebutkan bahwa Bahasa Indonesia (yang saat itu disebut Bahasa Melayu) merupakan bahasa primitif yang tidak mungkin menjadi bahasa ilmu.
Menurut Syafruddin, pendapat itu tidak layak keluar dari mulut seorang guru besar, apalagi Prof Eggens baru saja datang dari Belanda dan belum mempelajari Bahasa Indonesia secara mendalam.
Oleh Senat Fakultas (Dewan Guru Besar) melalui ketuanya, Prof Zeylemaker, Syafruddin disuruh meminta maaf. Tapi, Syafruddin hanya bersedia meminta maaf jika Prof Eggens meminta maaf terlebih dahulu kepada Bangsa Indonesia umumnya, dan kepada mahasiswa Indonesia, khususnya (Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT, cet. II (Jakarta : Pustaka Jaya, 2011:83).
Keberpihakan terhadap Bahasa Melayu juga diperlihatkan oleh Haji Agus Salim. Cendekiawan yang menguasai 7 bahasa dan sangat fasih berbahasa Belanda ini, lebih memilih menggunakan Bahasa Melayu saat berpidato di sidang Volksraad, meskipun oleh pimpinan sidang diminta menggunakan Bahasa Belanda.
Bahasa Melayu pada saat itu memang merupakan bahasa yang dibenci oleh penguasa kolonial Belanda. Sebab, identik dengan bahasa umat Islam. Bahasa Melayu Islam.
Bahasa Melayu Islam
Agama Hindu yang berkembang di Kepulauan Nusantara merupakan Hindu bersifat estetik dan ritualistik. Unsur-unsur saintifik yang menekankan unsur rasional, intelektual, analisa sistematis dan logis ditolak. Karena itu, penyajian Hindu di Indonesia lebih merupakan renungan para penyair, bukan perenungan para pemikir dan filsuf (Al Attas, Islam dan Sekularisme (cet II), (Bandung : Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan /PIMPIN, 2011:214).
Seiring dengan perpindahan massal keagamaan masyarakat di kepulauan Nusantara kepada Islam, maka bahasa masyarakat setempat mengalami Islamisasi dengan cepat.

Hal ini dikarenakan sifat intrinsik Islam yang sangat membutuhkan penalaran logis dan rasional dalam pemahamannya, sehingga Islam itu sendiri sering dikategorikan sebagai scientific religion. Keharusan Islamisasi Bahasa untuk keperluan pemahaman Alquran ini dapat dilihat dari pernyataan Syed Naquib Al Attas.
“Bahasa pertama yang mengalami Islamisasi adalah bahasa Arab itu sendiri. Di mana bahasa Arab setelah turunnya Alquran menjadi bahasa Arab “baru” dan tersempurnakan, yang memuat konsep-konsep dasar Islam, yang tidak berubah dan dipengaruhi perubahan sosial.” (Al Attas, Ibid: 56).
Istilah Islamisasi Bahasa Melayu lebih tepat digunakan daripada Arabisasi, sebab motif penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa lokal variabel utamanya adalah upaya untuk mendalami Alquran.
Itu seperti dikemukakan oleh AH Johns: “Kitab suci Alquran memiliki peranan sentral dalam kehidupan umat Islam, dan semua komunitas umat Islam membutuhkan salinan kitab suci itu. Oleh sebab itu, menyalin Alquran, mengajarkan aturan melafalkannya, serta menerjemahkan makna ke dalam bahasa setempat merupakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan.” (Lihat AH Johns, Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah Renungan, dalam Henri Chambert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : KPG, 2009).
Terjemahan pertama Alquran dengan tafsirnya ke dalam Bahasa Melayu adalah Tafsir Al Baydawi yang masyhur, yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang sebelumnya tidak berlaku di Kepulauan Melayu-Indonesia (Al Attas, Ibid: 217).
Karya yang bersifat rasional dan filosofis pun bermunculan, seperti Tarjuman al Mustafid karya ‘Abd al-Rauf al-Singkili (1615-1693) yang merupakan saduran terbuka dari Tafsir Jalalain.
Kitab al-‘Aqaid al- Nasafiya karya Najm al-Din Al-Nasafi diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu Aceh pada 1590 dan masih banyak karya penerjemahan lain yang akhirnya memperkaya Bahasa Melayu Islam.
Denys Lombard, memperkirakan ada 3.000 peristilahan Melayu yang berasal dari bahasa Arab dan Arab-Parsi (Lombard, 2008 : 163) . (Lihat, Vladimir Braginsky, Jalinan dan Khazanah Ku tip an, Terjemahan Dari Bahasa Parsi Dalam Kesusastraan Melayu, dalam Henri Chambert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, dan Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya, Buku I, Batas-Batas Pembaratan (cet. IV), (Jakarta : Gramedia, 2008).
Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu berkisar 15-20 persen (Johns, Ibid, 2009:49). Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan besar. Iia menjadi bahasa pengantar utama untuk menyampaikan Islam ke seluruh Kepulauan Melayu (Al Attas, Ibid, 216).
Terjemahan pertama Alquran dengan tafsirnya ke dalam Bahasa Melayu adalah Tafsir Al Baydawi yang masyhur.
Huruf sebagai wujud perlambangan bilangan, nada atau ujaran juga mengalami perubahan seiring Islamisasi bahasa ini. Huruf Pallawa dan Pranagari tidak lagi mampu menampung peristilahan yang masuk ke dalam Bahasa Melayu dan akhirnya memunculkan Huruf Arab Jawi sebagai medium dalam penulisan Bahasa Melayu.
Proses ini berlangsung mulai abad ke 11, sesuai bukti arkeologis yang ditemukan di Pahnrang, pesisir tengah Vietnam, yang berasal dari tahun 1.050 M. Selain itu batu nisan Raja-Raja Pasai (1237 M) dan prasasti Batu Trengganu (1303) menunjukkan pemakaian huruf Arab dalam penulisan Bahasa Melayu.
Pada tahun 1600, huruf Arab Jawi merupakan satu-satunya huruf yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Melayu (Johns, Ibid, 51). Satu-satunya wilayah yang belum menggunakan bahasa Melayu dan huruf Arab Jawi adalah sebagian wilayah Jawa, yakni Mataram.
Jawa, Sebuah Anomali
Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo, melakukan Islamisasi besar-besaran melalui pendidikan Islam massal kepada masyarakat. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Alquran, tata cara beribadah dan ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam.
Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca Alquran, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Selain itu, juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandongan (halaqah).
Kitab-kitab itu meliputi kitab fiqih, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, nahwu, sharaf, dan falaq. Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam. (Lihat, Mahmud Yunus, Prof, Dr. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1996).
Stagnasi proses Islamisasi di bumi Mataram ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan eksperimen
Sayangnya, rintisan yang dilakukan oleh Sultan Agung ini tidak dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni Amangkurat I yang lebih memilih dekat dengan VOC dan berhadapan dengan kaum santri di bawah pimpinan Trunojoyo. Ketergantungan militer pada VOC menyebabkan penerusnya, yakni Amangkurat II tidak mempunyai pilihan kecuali memberikan sebagian pesisir kepada VOC.
Hal ini membuat komunikasi dengan pusat-pusat studi Islam di Asia Selatan dan Timur Tengah menjadi sulit (Mark R Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKiS, 2008:16-17).
Stagnasi proses Islamisasi di bumi Mataram ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan eksperimen “Nativisasi Kebudayaan”, yakni mengembalikan Jawa kepada peradaban pra-Islam.
Pada 1830, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakarta yang menjadi tempat berkumpul para ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa.
Para javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.

Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan”, dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda. (Lihat, Takashi, Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997:7). Lembaga ini akhirnya berhasil menciptakan sebuah kultur yang menjadikan Islam sebagai unsur asing dalam budaya Jawa.
Deislamisasi bahasa
Translation bukan sekadar proses mengartikan secara leksikal dan gramatikal. Dia adalah proses mengungkapkan makna suatu ajaran, buku atau puisi ke dalam bahasa lain (Johns, 2009 : 49). Kesamaan huruf tentu lebih memudahkan proses asimilasi, adaptasi, dan adopsi konsep-konsep Islam ke dalam bahasa lokal.
Dan Pemerintah Kolonial memahami betul akan hal ini. Untuk menjalankan apa yang disebut mantan Zending consul Van Randwijk sebagai ”Strategi memangkas Islam” maka pengajaran bahasa Melayu harus dihentikan, dengan jalan memunculkan dialek daerah pra Islam (lihat, Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian... 1995 :144).
Karel Frederick Holle, misalnya, pada 1865 menerbitkan buku cerita rakyat Sunda yang dibagikan kepada penduduk, dengan tulisan Sunda yang merupakan varian artifisial tulisan Jawa.
Padahal, Holle mengakui masyarakat Sunda lebih mengenal huruf Arab daripada huruf Sunda. Tetapi bahasa dan huruf Arab harus dibatasi karena akan memperkuat pengaruh orang yang fanatik terhadap agama (Steenbrink, Ibid, 107). Selain itu juga dilakukan politik bahasa dengan menjadikan huruf Latin sebagai huruf resmi di administrasi pemerintahan, perdagangan, dan lembaga pendidikan. Dengan demikian bahasa Melayu dan huruf Arab Jawi makin terkucil dari masyarakat.
Proses latinisasi huruf ini pada dasarnya adalah proses westernisasi dan deIslamisasi yang sejalan dengan politik asosiasi oleh Belanda. Dampak dari Romanisasi huruf ini, menurut Al Attas, adalah kebingungan dan kesalahan dalam memahami Islam.
Sebab, Romanisasi bahasa yang semula berhuruf Arab menjadi latin, secara berangsur-angsur terjadi pemisahan hubungan leksikal dan konseptual antara umat Islam dengan Sumber Islam. (Al-Attas, Ibid, 156-157).
Proses latinisasi ini akan menceraikan hubungan pedagogi antara kitab Suci Alquran dengan bahasa setempat. Terjadilah proses deislamisasi, dimana terjadi penyerapan konsep-konsep asing ke dalam pikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka (Al-Attas, Ibid, 57).
Proses latinisasi huruf ini, pada dasarnya adalah proses westernisasi dan deIslamisasi yang sejalan dengan politik asosiasi oleh Belanda.
Puncak tragedi ini di Indonesia ketika pada 1970, pemerintah Orde Baru yang ketika itu masih didominasi pemikir sekuler, melarang pengajaran huruf Arab Jawi di sekolah-sekolah umum. Akhirnya, huruf ini hanya tersisa di pesantren-pesantren salafiyah.
Dampaknya bisa kita lihat saat ini. Umat Islam mengalami semacam gegar intelektual. Kosa-kata asing yang berasal dari dunia Barat tidak lagi bisa dibendung.
Istilah-istilah baru yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat Muslim datang silih berganti. Idiom-idiom pluralisme, multikulturalisme dipaksa masuk menggantikan konsep kemajemukan masyarakat yang sudah mapan dan tidak mengundang kontroversi.
Tidak berhenti sampai di situ, bahkan kalau kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, penulisan beberapa istilah baku agama Islam sudah meninggalkan kedisiplinan dalam transliterasinya.
Sebagai contoh, Alquran ditulis Kuran (hal. 616), ibadah shalat ditulis Salat (hal. 983). Hal ini merupakan kesalahan fatal, sebab sebagai agama wahyu, Islam sangat disiplin menjaga kemurnian istilah kunci agamanya, baik dalam pelafalan maupun pemaknaannya.
Sayangnya saat ini, di internal umat Islam abai menjaga bahasanya agar tetap seiring dan senapas dengan Islam. Wacana Islam politik, relasi agama dan negara, tampil sangat dominan dengan segala variannya.
Sedangkan wacana relasi agama dan bahasa semakin menghilang dari rak-rak kepustakaan kaum muslimin. Padahal agama dan bahasanya keduanya merupakan variabel utama pembentuk kebudayaan dan peradaban. Wallahu a’lam bishshawab.
Disadur dari Harian Republika edisi Kamis, 24 Oktober 2013
Selain Hamil, Ada Berbagai Alasan Mual di Pagi Hari
Mual di pagi hari juga bisa disebabkan oleh pola makan
SELENGKAPNYABlockchain dan Keamanan Masih Jadi Perhatian
Perusahaan perlu mengerahkan sumber daya yang tak sedikit untuk menjaga keamanan.
SELENGKAPNYA