
Mujadid
Syekh Ahmad al-Ghumari, Pejuang Ilmu dari Maghribi
Sang habib adalah salah seorang ulama besar nan legendaris dari Maroko.
Maroko adalah sebuah negara dengan tradisi sufisme yang mengakar. Maghribi—sebutannya dalam sejarah Islam—merupakan tempat lahirnya pelbagai tarekat. Di antaranya adalah Tijaniyah, Syadziliyah, dan Khalwatiyah.
Di negeri yang mayoritas penduduk Muslimnya bermazhab Maliki itu juga bermunculan banyak ulama berkaliber dunia. Mereka menyebarkan ilmu dan hikmah bukan hanya kepada masyarakat setempat, melainkan juga umat Islam global. Salah seorang di antaranya adalah Syekh Ahmad bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari al-Hasani.
Sang syekh memiliki reputasi sebagai seorang pakar ilmu hadis, fikih, dan tasawuf yang cemerlang. Di Indonesia pun, namanya cukup populer. Banyak karya-karyanya menjadi semacam bacaan wajib bagi para santri Tanah Air.
Sang syekh memiliki reputasi sebagai seorang pakar ilmu hadis, fikih, dan tasawuf yang cemerlang. Di Indonesia pun, namanya cukup populer.
Seperti tampak pada gelarnya, Syekh Ahmad berasal dari klan al-Ghumariyah. Keluarga besarnya secara turun temurun melahirkan banyak alim. Yang paling terkenal di antaranya adalah tiga orang putra Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari. Ketiga bersaudara itu adalah Ahmad, Abdullah, dan Abdul Aziz.
Dari garis ayahnya, Syekh Ahmad memiliki nasab yang bersambung pada sosok Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, ia termasuk kalangan habaib, yakni ulama keturunan Nabi Muhammad SAW. Masyarakat biasa menggelari anak cucu Hasan sebagai syarif. Adapun julukan sayyid ditujukan pada turunan Hussain bin Ali.
Ibunya adalah seorang wanita salehah dan terpelajar yang bernama Zahra. Dari garis matrilineal, Ahmad pun memperoleh nasab alim ulama. Kakeknya dari pihak ibunya, Abdul Hafizh bin Ajibah, merupakan seorang pakar ilmu tafsir Alquran dan sufi. Di antara karya-karya sang kakek adalah Al-Bahrul Madid fii Tafsir al-Qur’an al-Majid dan Iqazul Himam.
Sebelum menetap di Thanjah (Tangier), Maroko, Muhammad al-Ghumari tinggal di Desa Bani Sa’id yang masih termasuk wilayah kabilah al-Ghumariyah. Pada 27 Ramadhan 1320 H/1901 M, lahirlah seorang putranya yang diber nama Ahmad. Dua bulan kemudian, Muhammad memboyong istri dan anaknya ke Tangier.
Sejak kecil, Ahmad telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan. Sebagai anak sulung, ia menjadi contoh bagi adik-adiknya, termasuk dalam hal menuntut ilmu-ilmu agama. Keenam saudaranya itu selalu termotivasi untuk tekun belajar karena melihat keteladanannya.
Saat berusia lima tahun, Ahmad didaftarkan oleh ayahnya ke sebuah madrasah yang khusus menempa hafiz-hafiz belia. Lembaga tersebut diasuh oleh seorang dai yang bernama Arabi bin Ahmad Budarah. Dengan penuh ketekunan, putra Muhammad al-Ghumari itu dapat menjadi penghafal Alquran.
Saat berusia sembilan tahun, Ahmad ikut serta dengan ayahnya ke Tanah Suci. Perjalanan tersebut dilakukannya bukan hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga menyaksikan langsung suasana pembelajaran baik di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi. Karena itu, anak tersebut kian merasa terpanggil untuk menekuni dunia ilmu.
Saat berusia sembilan tahun, Ahmad ikut serta dengan ayahnya ke Tanah Suci.
Dalam perjalanan pulang ke Maroko, bapak dan anak itu mampir ke Mesir. Setelah menyambangi rumah sanak famili setempat, Ahmad disarankan beberapa anggota keluarga untuk tinggal di Kairo dan melanjutkan belajar di al-Azhar. Usulan itu diterima.
Dengan penuh disiplin, Ahmad kecil menjalani rutinitasnya di Kairo. Ia mengorbit hanya pada tiga tempat, yakni rumah saudara tempatnya tinggal, masjid, dan madrasah al-Azhar. Selama dua tahun berturut-turut, dirinya berfokus pada belajar, tanpa menyia-nyiakan waktunya.
Dalam periode tersebut, ia mulai mencurahkan perhatian pada bidang ilmu hadis. Ahmad muda betul-betul tenggelam dalam dunianya sendiri kala membaca kitab-kitab hadis. Konon, saat sedang mengkhatamkan sebuah buku ia hanya keluar dari rumah untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat di masjid.
As’ad Syamsul Abidin dalam tulisannya di laman Nadhlatul Ulama mengutip Muhammad Hasan bin Ali al-Atsari, seorang akademisi yang meneliti biografi Syekh Ahmad. Menurut al-Atsari, sang syarif telah meninggalkan mazhab Maliki dan berpindah kepada Syafii. Hal itu mungkin dilakukannya karena buah cintanya sejak kecil terhadap hadis dan atsar para sahabat Nabi SAW.
Jalan ilmu
Sesudah lewat beberapa tahun, Ahmad bin Muhammad al-Ghumari pun kembali ke negerinya. Ini bukanlah perpisahan dirinya dengan Mesir. Sebab, ia meneruskan ikhtiarnya di jalan ilmu lagi pada usia 20 tahun. Al-Azhar Kairo tetap menjadi pilihannya sebagai tempat belajar.
Saat menuntut ilmu di al-Azhar, Syekh Ahmad meneruskan upaya untuk melakukan identifikasi (takhrij) atas berbagai riwayat hadis, sebagaimana yang termaktub dalam Musnad asy-Syihaab. Alim Maroko itu bukanlah yang pertama kali melakukannya.
Sebelumnya, ada usaha dari Muhammad Ja’far al-Kattani walaupun tidak tuntas. Adapun Ahmad dari jerih payahnya ini sukses menghasilkan dua karya, yakni Bughyatu al-Thullab bi Takhrij Ahaadith al-Shihab dan Al-Ishaab fi Takhrij Ahaadith al-Shihab.
Bukan hanya ilmu hadis, fikih pun menjadi fokus kajian yang dilakukannya sejak bermukim di Mesir.
Bukan hanya ilmu hadis, fikih pun menjadi fokus kajian yang dilakukannya sejak bermukim di Mesir. Ia dengan seksama mempelajari mazhab Maliki dan Syafii. Dalam masa itu, Ahmad sempat berpindah dari bermazhab Maliki menjadi pengikut Syafii. Aliran fikih yang pertama itu diikuti umumnya masyarakat Maroko.
Belakangan, ia menyatakan bahwa dirinya tidak lagi terikat mazhab apa pun. Dengan sikapnya itu, Syekh Ahmad merasa lebih bebas dalam mengkritik beberapa pendapat dalam suatu mazhab. Sorotannya tidak hanya ditujukan kepada Maliki atau Syafii. Dalam beberapa kesempatan, habib tersebut juga pernah menanggapi pandangan-pandangan dalam mazhab Asy’ariyah dan Zaidiyah.
Berbagai ilmu yang kian didalaminya, terutama sejak bermukim di Mesir adalah tata bahasa Arab, tauhid, ushul fikih, fikih, dan hadis. Dalam hal nahwu, ia mengkaji beberapa kitab, semisal Matan al-Jurumiyah, Syarah al-Kafrowi, Alfiyah, dan Syarah al-Asymuni. Terkait bidang ushul fikih, ia meneliti Minhaj al-Ushul ilaa ‘Ilm al-Ushul serta Nihayah al-Shul.
Walaupun cukup jauh dari kampung halamannya, Syekh Ahmad tidak menanggalkan tradisi keluarga. Ayahnya merupakan seorang pemimpin tarekat Darqawiyyah. Sepeninggalan bapaknya, ia pun diangkat menjadi penerusnya.
Walaupun berposisi sebagai mursyid, Syekh Ahmad tidak sungkan untuk menyuarakan pendapat atau kritik terhadap aliran-aliran sufisme. Ia menyoroti beberapa praktik tasawuf yang dipandangnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan sunnah.
Walaupun berposisi sebagai mursyid, Syekh Ahmad tidak sungkan untuk menyuarakan pendapat atau kritik terhadap aliran-aliran sufisme.
Bagaimanapun, perbedaan pandangan bukanlah sesuatu yang tabu. Di lingkungan keluarga besar al-Ghumariyah, acap kali terjadi ketidaksepahaman perihal jalan salik yang tiap mereka lakukan. Semua itu tidak pernah berujung perpecahan, melainkan keadaan saling memahami.
Di sepanjang hayatnya, Syekh Ahmad al-Ghumari memiliki banyak guru. Konon, total mereka mencapai 100 orang. Para alim itu dapat dipilah ke dalam dua kelompok, yakni dirayah dan riwayah.
Yang pertama itu terdiri atas guru-guru yang darinya Syekh Ahmad belajar dengan cara membaca kitab-kitab tertentu. Mereka kemudian memberikan penjelasan terkait pustaka yang dibahas. Adapun riwayah berarti kelompok guru yang darinya sang syekh mengambil riwayat atau menerima ijazah. Umumnya, mereka adalah kalangan ahli hadis. Jenis yang kedua ini berjumlah lebih banyak daripada yang pertama.
Di antara guru-guru yang termasuk golongan pengajar dirayah adalah ayahanda Syekh Ahmad sendiri. Dari Muhammad bin Shiddiq, ia mempelajari berbagai literatur seputar mazhab Maliki. Kemudian, ada pula Ibnu Ahmad Bouzdarah, Muhammad bin Ja’far al-Kattani, dan Muhammad Imam bin Ibrahim al-Saqa’. Dari sosok yang tersebut akhir itu, ia mengenal kajian atas mazhab Syafii.
Selanjutnya, Syekh Ahmad tercatat pernah berguru pada Muhammad Bakhit bin Husain al-Hanafi. Selama dua tahun, dirinya belajar Shahih Bukhari kepada mufti Mesir tersebut. Dari Muhammad bin Ibrahim al-Samaluthi, ia mengkaji ilmu nahwu dua tahun lamanya.
Ia pun pernah menimba ilmu-ilmu agama dari Ahad bin Abdus Salam al-Ghumari, Umar bin Hamdan al-Tunisi, dan Muhammad bin Salim al-Syarqawi. Sosok yang tersebut belakangan itu adalah mufti mazhab Syafii di Mesir pada masanya.
Adapun nama dan profil guru-guru Syekh Ahmad dalam ihwal riwayah termaktub dalam buku Al-Bahr al-‘Amiiq fii Marwiyyat ibn Shiddiq. Di dalamnya, ia pun menuliskan sejumlah pengalamannya dalam menuntut ilmu di berbagai negeri, semisal Maroko, Mesir, Syam, dan Hijaz.

Sang Alim yang Prolifik
Syekh Ahmad bin Muhammad al-Ghumari mengamalkan ilmu dan berdakwah dengan berbagai cara. Salah satu metode yang dipilihnya untuk itu ialah menulis. Hingga akhir hayatnya, syarif asal Maroko tersebut telah menghasilkan tidak kurang dari 250 karya.
Seluruh buah penanya itu tersebar dalam berbagai format, mulai dari buku, kumpulan ceramah, makalah, hingga artikel-artikel lepas. Salah satu karyanya adalah Ibraaz al-Wahm al-Maknuun min Kalaam Ibnu Khaldun. Kitab itu membedah berbagai pemikiran cendekiawan Muslim dari abad ke-14 M, Ibnu Khaldun, yang cukup kontroversial. Misalnya, pendapat sang sosiolog mengenai Imam Mahdi.
Kebanyakan buku karangan Syekh Ahmad mengulas perihal ilmu hadis. Misalnya, Al-Tafrij bi Ushuul al-Takhrij. Di dalam karyanya itu, ia menjelaskan tentang asal muasal (takhrij) sejumlah hadis. Ulama Maroko itu pun menekankan, kajian hadis yang dilakukan para pendahulu (salaf ash-shalih) bukanlah perkara yang mudah.
Tidak seperti generasi kini yang “dimanjakan” banyak teknologi transportasi ataupun komunikasi, mereka menghadapi pelbagai tantangan yang sukar. Buku setebal 94 halaman itu tidak hanya membicarakan ihwal sejarah takhrij hadis, melainkan juga ilmu takhrij itu sendiri.
Fokus kajian Syekh Ahmad dalam buku ini adalah hadis-hadis palsu.
Kemudian, karya lainnya dari sang syarif adalah Al-Hanin bi Wadh’i Hadits al-Aniin. Fokus kajian Syekh Ahmad dalam buku ini adalah hadis-hadis palsu. Umpamanya, teks yang berbunyi, “Da’uuhu bi al-aniin.” Artinya, ‘Berdoalah kepada Allah dengan mengerang (suara keras).’
Perkataan itu acap kali digunakan sebagian sufi sebagai dalil bagi praktik yang mereka lakukan kala berzikir. Padahal, simpul sang muhaddits, “hadis” tersebut adalah palsu belaka, yakni tidak berasal dari tuntunan Rasulullah SAW.
Tidak hanya satu kitab. Dalam buku lainnya, ia pun memaparkan perihal hadis-hadis palsu. Karya yang dimaksud adalah Al-Mughir ‘ala al-Ahaadits al-Mawdhuu’ah fi al-Jaami’ al-Shaghir. Seperti tampak pada judulnya, kitab tersebut mengulas teks-teks yang dipandang Syekh Ahmad sebagai hadis palsu di dalam Al-Jaami’ ash-Shaghir karya as-Suyuthi.
Masih mengenai topik yang sama, Syekh Ahmad pun menulis karangan yang bertajuk Fath al-Malik al-‘Ali bi Shihhati Hadits Baab Madiinati al-‘Ilm ‘Ali. Buku tersebut secara khusus menganalisis “hadis” yang berbunyi, “Saya (Rasulullah SAW) adalah kota ilmu, sedangkan Ali (bin Abi Thalib) adalah pintunya.” Teks itu acap kali dipandang sebagai hadis oleh sejumlah kalangan, termasuk kelompok Syiah.
Syekh Ahmad bin Muhammad al-Ghumari al-Hasani berpulang ke rahmatullah pada awal bulan Jumadil Akhir 1380 H/1960 M. Sebelum wafat, dirinya sempat menjalani perawatan medis selama berbulan-bulan. Sebab, alim tersebut mengalami sakit jantung.
Duka tidak hanya dirasakan keluarga, tetapi juga kolega serta seluruh pengikutnya. Jenazah almarhum dimakamkan di Kairo, Mesir.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Refleksi Prof Haedar Nashir: Republika 22 Tahun Lalu
Republika berani bertajdid dan berijtihad, sekaligus berjihad jurnalisme ke era baru dunia digital.
SELENGKAPNYAIntensifkan Manasik Haji
Melalui manasik haji yang intensif, calon jamaah mengetahui tata cara beribadah.
SELENGKAPNYAMenjemput Sedekah
Bersegeralah dengan sedekah karena musibah tidak dapat melangkahi sedekah
SELENGKAPNYA