Massa perempuan dari elemen serikat buruh dan Partai Buruh saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Komplek DPR RI, Jakarta, Rabu (15/6/2022). | Republika/Thoudy Badai

Teraju

Prospek Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024

Jumlah partisipasi dan representasi perempuan di arena politik masih sangat rendah dan terpinggirkan.  

OLEH NURUL S HAMAMI

Sebanyak 17 partai politik tingkat nasional dan enam partai politik lokal Nanggroe Aceh Darussalam telah resmi dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta Pemilu 2024. Pada Rabu (14/12) lalu nomor urut parpol pun sudah ditetapkan merujuk Perppu Pemilu Nomor 1 Tahun 2022.

Di antara 17 partai tersebut, terdapat tiga partai yang baru untuk pertama kalinya menjadi peserta pemilu. Ketiganya yakni Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Kebangkitan Nusantara, dan Partai Buruh.

Walaupun baru, namun partai-partai tersebut diisi dan diinisiasi oleh aktor-aktor politik lama –kecuali Partai Buruh. Sebut saja Partai Gelora yang dibidani oleh dua mantan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta dan Fahri Hamzah. Pun PKN yang dipimpin oleh mantan politikus Partai Demokrat I Gede Pasek Suardika dan Mirwan Amir.

Dengan aktor-aktor lama, konfigurasi politik agaknya takkan banyak berubah. Salah satu pertanyaannya kemudian, akankah keterwakilan perempuan di lembaga legislatif hasil Pemilu 2024 akan berubah dibanding pemilu-pemilu sebelumnya? Atau malah menurun dan kian jauh dari afirmasi 30 persen?

photo
Kader Partai Demokrat meneriakan yel-yel saat menunggu kedatangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebelum pertemuan di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Jumat (7/10/2022). - (Republika/Prayogi)

Pemilu 2019 mampu menghasilkan 20,5 persen keterwakilan perempuan di parlemen nasional (DPR RI). Ini merupakan pencapaian tertinggi dalam penyelenggaraan pemilu di era Reformasi sejak Pemilu 1999. Namun, jumlah tersebut tentu masih jauh dari angka afirmasi sebesar 30 persen sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

Perempuan dan politik

Ada satu pertanyaan yang mengemuka sejalan dengan upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Apa relevansinya keterlibatan perempuan di  dunia politik termasuk di lembaga legislatif?

Tim Penulis buku “Menyapu Dapur Kotor Politik: Refleksi Perempuan dan Politik Era Reformasi” yang terdiri dari para akademisi dan peneliti di Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, menyatakan masuknya perempuan ke dalam dunia politik tidak semata-mata demi kepentingan perempuan sendiri, melainkan untuk sebuah tujuan politik yang lebih besar yaitu tercapainya keadilan.

Masuknya perempuan ke dunia politik meniscayakan adanya sumbangan pemikiran yang secara dramatis dapat mengubah konsep tentang politik dan relasi tentang negara dan rakyat. Perubahan ini secara otomatis memperbaiki pencitraan tentang politik (lelaki) yang terlanjur dianggap sebagai wilayah kerja yang keras bahkan kotor.

photo
Massa dari elemen serikat buruh dan Partai Buruh saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Komplek DPR RI, Jakarta, Rabu (15/6/2022). - (Republika/Thoudy Badai)

Pada akhirnya, masih kata para penulis tersebut, keterlibatan perempuan di dunia politik juga akan menawarkan satu pendekatan baru yang dapat mengubah paradigma politik, dari semula dianggap “cara untuk menguasai” menjadi “cara untuk memberdayakan atau melayani” rakyat. Redefinisi tentang konsep dan perilaku politik ini secara substantif disumbangkan oleh masuknya perempuan ke dunia pengambilan keputusan, khususnya parlemen.

Bisa dipahami bahwa masuknya perempuan ke dunia politik tidak sekadar membawa kepentingan bagi kaum perempuan sendiri. Lebih dari itu tentu saja agar terciptanya keadilan dalam hal pengambilan keputusan menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan kehadiran perempuan di dunia politik diharapkan bisa mewarnai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dari institusi legislatif.

Mudah dipahami pula bahwasannya pencitraan tentang politik sebagai wilayah kerja yang keras dan kotor dengan sendirinya juga akan berubah seiring dengan keterlibatan perempuan di politik. Selama ini memang telah berkembang pandangan keliru yang mengasosiasikan dunia politik adalah dunia laki-laki. Padahal, tidak begitu seharusnya. Nyatanya tidak semua lelaki memiliki kemampuan untuk berkiprah di dunia politik.  

Sudah menjadi pengetahuan umum selama ini, dunia politik adalah dunia yang penuh intrik dan menghalalkan segala cara. Anggapan ini kemudian diartikan bahwa dunia politik bukanlah dunia perempuan. Kalangan perempuan dinilai terlalu sopan dan lemah untuk berkiprah di dunia politik yang kejam. Akibatnya perempuan pun dipinggirkan dari politik.

Tak dapat dimungkiri, sejak negara ini berdiri jumlah partisipasi dan representasi perempuan di arena politik masih sangat rendah dan terpinggirkan. Padahal, konstitusi negara menjamin persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik formal. Ini artinya kaum perempuan pun memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik dan politik.

photo
Sejumlah anggota DPR mengikuti rapat paripurna di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/12/2022). - (Republika/Prayogi.)

Bagaimana mengatasi minimnya kiprah perempuan di dunia politik? Para peneliti Puskapol UI yang terlibat dalam kajian mengenai refleksi perempuan dan politik di era Reformasi ini, menyatakan perlunya pendekatan baru di mana diharapkan gagasan tentang kesetaraan manusia bisa diwujudkan. Dalam konteks politik Indonesia, pendekatan baru itu diharapkan akan mengatasi kesenjangan antara amanat konstitusi dan praktiknya.

Basis dari pendekatan baru itu adalah keyakinan sederhana bahwa setiap warga negara seharusnya mendapatkan hak yang adil dan setara dalam memperoleh peluang dan akses dalam berpolitik. Ini dimaksudkan agar suara dan kepentingan mereka tersalurkan. Pendekatan baru itu dengan mendekonstruksi pemikiran politik melalui analisis gender.

Menurut tim Puskapol, politik dalam perspektif gender bertujuan untuk menutup kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang didapati dalam fakta empirik di semua belahan dunia. Dengan cara inilah relasi kuasa laki-laki dan perempuan dapat diperbaiki menuju kesetaraan dan keadilan.

Agar kesenjangan gender itu bisa ditutupi, maka advokasi kebijakan perlu diterapkan untuk memberi peluang kepada perempuan berkiprah di dunia politik lebih besar lagi. Sejalan dengan itu, muncullah gagasan tindakan afirmatif berupa kebijakan khusus yang bersifat sementara agar jumlah perempuan bisa naik sampai ke jumlah tertentu. Sebagaimana yang disyaratkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah tersebut minimal mencapai 30 persen.

Kebijakan afirmatif itulah yang kemudian dirasa perlu untuk diterapkan dalam konteks peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia pada era Reformasi. Sebuah kebijakan yang memang diperlukan untuk menutupi kesenjangan yang sudah lama terjadi antara laki-laki dan perempuan. Jadi, bukan meminta jatah. Lebih dari itu adalah keadilan yang menjadi esensi demokrasi.

Tantangan

Ambang batas perolehan suara secara nasional untuk bisa duduk di kursi DPR sebesar 4 persen menjadi persoalan sendiri bagi caleg perempuan. Dengan parliamentary threshold (PT) sebesar itu maka parpol-parpol menjadikannya sebagai patokan untuk mengejar perolehan suara, kalau tak mau mengalami nasib absen di pentas politik nasional. Hal ini tentu berdampak pada rekrutmen figur-figur yang akan dicalegkan. 

Dampak tingginya angka PT menjadikan partai pragmatis dalam merekrut caleg dan figur yang dipilih. Keadaan ini menyebabkan bertambahnya kalangan selebritas yang dicalegkan oleh parpol. Mereka dianggap memiliki elektabilitas tinggi karena dianggap populer di kalangan masyarakat. Demikian pula halnya parpol secara pragmatis memilih figur pengusaha yang memiliki modal kuat dan jaringan bisnis besar untuk dimajukan. 

Kehadiran mereka yang memiliki kekuatan modal tentunya akan menyulitkan caleg, baik laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan keadaannya lebih sulit lagi. Ini karena caleg perempuan yang direkrut parpol juga karena kekuatan finansialnya dan memilik jaringan di elite partai.

 
Ambang batas perolehan suara secara nasional untuk bisa duduk di kursi DPR sebesar 4 persen menjadi persoalan sendiri bagi caleg perempuan.
 
 

Situasi seperti ini bakal menyulitkan sekaligus menjadikan tindakan afirmatif tidak jalan sebagaimana mestinya. Pahadal, tindakan afirmatif salah satunya dimaksudkan bisa memfasilitasi perempuan dengan kapasitas dan perspektif gender tapi tidak punya modal untuk bisa duduk di parlemen. Di sinilah  seharusnya partai memfasilitasi mereka sebagai sebuah tindakan afirmatif.

Tapi, berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, kebanyakan yang diafirmasi adalah caleg perempuan yang mempunyai kekuatan modal.  Kader partai yang berkiprah di partai memang dicalonkan sebagai anggota legislatif, tapi tidak difasilitasi. Partai tak punya tindakan yang mendukung kader-kader partai yang sudah lama berkiprah di partai untuk bisa menang di pemilu legislatif. Melihat kondisi seperti itu, bisa jadi jumlah keterwakilan perempuan yang pada pemilu lalu mengalami kenaikan, akan mengalami penurunan di 2024. 

Tantangan lainnya yakni dari dari sisi konstituen. Selama ini pilkada sudah membiasakan rakyat dengan uang dan barang untuk “membeli” suara mereka. Akibatnya rakyat merasa kalau suaranya diperlukan harus membayar. Praktik seperti ini menjadi berat buat caleg perempuan yang tak punya kekuatan modal. Dia akhirnya kalah dengan hal seperti ini.

Persaingan antarcaleg yang makin ketat tidak hanya terjadi antarpartai tapi juga di internal partai sendiri. Jika satu partai memprediksi hanya bisa mendapat satu-dua kursi saja di satu dapil, maka peluang untuk terpilih menjadi kecil. Rata-rata partai menargetkan sedikitnya bisa mendulang satu kursi.

Kalau dalam satu dapil bilangan pembagi pemlihnya (BPP) 200 ribu saja, maka satu partai yang mempunyai 8 caleg, peluangnya kecil untuk mendapat suara terbanyak. Maka kemudian dengan pragmatisme dan lain-lain akan terjadi kompetisi yang tidak adil. Orang bisa menggunakan segala cara untuk mendapatkan satu kursi.

photo
Calon presiden pejawat Joko Widodo (tengah) berswafoto dengan para calon anggota legislatif pendukung pemenangan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat deklarasi di Tangerang, Banten, Ahad (4/11/2018). - (ANTARAFOTO)

Dengan kondisi seperti itu maka tindakan afirmatif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang terpilih diprediksi hanya caleg laki-laki atau perempuan yang memiliki finansial yang kuat. Mungkin ada satu-dua orang caleg “biasa” yang bisa mendapat kursi, tapi dipastikan jumlahnya tidak banyak. Yang punya kekuatan modallah yang berpeluang besar mendapatkan kursi.  Perempuan yang terpilih adalah yang mempunyai modal besar. Di sini tindakan afirmatif dapat dikatakan gagal.

Yang juga tak kalah tantangannya adalah sistem pemilunya yang terbuka dengan suara terbanyak. Sistem ini mau tidak mau menjadikan persaingan sangat terbuka. Kondisi ini menyulitkan caleg perempuan yang tak memiliki kekuatan finansial dan jaringan di partai.

Pada gilirannya, peran partai sangat besar dalam menindaklanjuti kebijakan afifmatif. Ini karena partailah yang menjadi penentu semenjak hulu hingga hilir dalam proses rekrutmen dan pencalegan. Dengan demikian diperlukan kesungguhan hati para pemimpin partai untuk mengimplementasikannya sebagai upaya mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.

UU yang mengatur kebijakan afirmatif hanyalah penyedia sarana, tetapi kebijakan internal partailah yang menjadi kekuatan implementasi kebijakan tersebut. Tanpa adanya kebijakan afirmatif yang datang dari dalam partai sendiri, terus terang sulit untuk mengharapkan adanya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pada 2024. 

Peningkatan Keterwakilan Perempuan di DPR Era Reformasi

Pemilu 1999: 9,0 persen –Tanpa affirmative action.

Pemilu 2004: 11,8 persen – Dengan affirmative action kuota 30 persen perempuan.

Pemilu 2009: 18,0 persen  -- Dengan affirmative action kuota 30 persen dan zipper system 1 di antara 3 bakal calon.

Pemilu 2014: 17,3 persen –dengan kebijakan yang sama seperti Pemilu 2009.

Pemilu 2019: 20,5 persen –dengan kebijakan yang sama seperti Pemilu 2014.

Menhub Waspadai Banjir di Jalan Tol

Kendaraan angkutan barang dengan sumbu tiga atau lebih dilarang melintasi Jalan Tol Jakarta-Cikampek selama periode Nataru.

SELENGKAPNYA

Pemerintah Tutup Wisma Atlet, Sisakan Satu Menara

Penghentian operasional Wisma Atlet menjadi pertanda perekonomian Indonesia pulih.

SELENGKAPNYA

Indonesia Petik Kemenangan Perdana

Shin mengakui, permainan timnas Indonesia memang masih memerlukan banyak evaluasi.

SELENGKAPNYA