
Motivasi Alquran
Memimpin dengan Akhlak
Ini bukti bahwa Nabi hadir sebagai contoh bagaimana berakhlak mulia.
DIASUH OLEH USTAZ DR AMIR FAISHOL FATH; Pakar Tafsir Alquran, Dai Nasional, CEO Fath Institute
Dalam surah al-Qalam Allah memuji kepemimpinan Rasulullah karena akhlaknya: Wa innaka la’alaa khuluqin azhiim (QS 68: 4).
Setelah itu, Allah menyebutkan orang-orang yang berakhlak buruk dalam kepemimpinan supaya dihindari, yaitu pendusta (mukadzzibun), orang yang suka bersumpah (hallaf), mengejek orang lain (hamaaz), mengadu domba (masy syaain binamiim), mencegah kebaikan (manna’in lil khairi), suka melampaui batas (mu’tadin), suka berbuat dosa (atsiim), keras kepala (utullin), dan dikenal dengan keburukannya (zaniim) (QS 68: 8-13).
Ketika Aisyah umul mukmiin ditanya tentang akhlak nabi, ia menjawab: "Kaana khuluquhul quraan (Akhlaknya adalah Alquran)." Sudah bisa dipastikan jika yang memujinya adalah Allah, itu menunjukkan penilaian yang paling objektif.
Bahwa akhlak Rasulullah adalah benar-benar mulia. Sebab, Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. Bagi-Nya tidak ada yang tersembunyi; Ya’lamu khaainatal a’yuni wa maa tukhfiish shuduur (QS 40: 19).
Berbeda dengan penilaian manusia yang cenderung subjektif karena pengetahuannya yang sangat terbatas. Seakan dikatakan, cukuplah sosok Rasulullah sebagai contoh teladan dalam memimpin dengan akhlaknya.
Nabi Muhammad telah menegaskan, ia diutus untuk menyempurnakan akhlak menjadi mulia: “Innamaa bu’itstu liutammimaa makaarimal akhlaaqi.” (HR Bukhari).
Ini bukti bahwa Nabi hadir sebagai contoh bagaimana berakhlak mulia, tidak saja dalam kepemimpinan berskala besar, seperti kepemimpinan negara, tetapi juga dalam kepemimpinan keluarga yang cakupannya sangat khusus.
Tidak saja dalam kepemimpinan berskala besar, seperti kepemimpinan negara, tetapi juga dalam kepemimpinan keluarga yang cakupannya sangat khusus.
Dalam konteks ini nabi mengatakan kepada umatnya, “Wahai umatku, paling baiknya pemimpin adalah yang paling baik kepada keluarganya (Khiyaarukum, khiyarukum liahlihi)." (HR Turmidzi).
Di antara contoh yang paling menarik adalah bahwa nabi sangat menjaga perasaan orang lain, termasuk keluarganya. Jangan sampai ada orang yang merasa tidak nyaman dengan penampilannya.
Suatu hari, nabi baru minum madu. Ketika mendekat kepada salah seorang istrinya tercium bau kurang sedap. Nabi menjelaskan bahwa itu bau madu. Melihat kejadian itu nabi langsung mengatakan tidak akan minum madu itu lagi.
Allah menurunkan teguran: "Yaa ayyuhan nabiyyu limaa tuharrimu maa ahallallahu laka tabtaghii mardhaata azwaajika (Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan hanya untuk membuat istri-istrimu senang)." (QS 66: 1).
Contoh lain, Nabi sangat menghindari sikap yang menimbulkan prasangka tidak baik. Pagi itu masih tampak remang. Nabi sedang berduaan dengan seorang perempuan.
Seketika seorang sahabat lewat di dekatnya. Nabi langsung memanggilnya untuk menjelaskan bahwa perempuan tersebut adalah istrinya. Ini bukti bahwa sikap seorang pemimpin harus benar-benar jelas, tidak boleh ada perbuatan atau isyarat yang akan menimbulkan kesalahpahaman. Sebab, bagaimanapun seorang pemimpin adalah milik rakyatnya.
Ketika ada seorang sahabat yang memanggil temannya, “Yaa aswad” (Wahai yang berkulit hitam), Nabi langsung menegurnya: “Innakum ruun fiikal jaahiliyatu (Engkau adalah seorang yang masih mengidap penyakit zaman jahiliyah)."
Tetap Bekerja Saat Shalat Jumat, Apakah Diperbolehkan?
Pada prinsipnya, pekerjaan itu tidak boleh meninggalkan yang wajib apalagi melalaikan.
SELENGKAPNYAKonsisten Ngonten di Tiktok
Ketika seseorang serius membuat konten, Tiktok akan menggiringnya pada pasar yang tepat.
SELENGKAPNYAMaroko Membidik Titel Juara
Capaian Maroko hingga sampai pada fase bukan sekadar keajaiban.
SELENGKAPNYA