Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Tetap Bekerja Saat Shalat Jumat, Apakah Diperbolehkan?

Pada prinsipnya, pekerjaan itu tidak boleh meninggalkan yang wajib apalagi melalaikan.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ada beberapa profesi yang harus tetap bekerja pada saat shalat Jumat seperti bagian keamanan dan akhirnya shalat Jumat diganti dengan shalat Zuhur. Apakah itu diperbolehkan? Mohon penjelasan, Ustaz! -- Nurdin, Riau

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pada prinsipnya, pekerjaan itu tidak boleh meninggalkan yang wajib apalagi melalaikan. Oleh karena itu, bekerja sebagai seorang profesional tetapi shalat Zuhur ditinggal atau shalat Jumat ditinggal itu penyimpangan, melalaikan kewajiban, dan membuat pekerjaan menjadi tidak halal dan berkah karena faktor eksternal.

Akan tetapi, faktanya, ada beberapa profesi yang harus bekerja pada saat shalat Jumat. Ia akhirnya meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan shalat Zuhur. Sehingga, untuk mereka, apakah diperbolehkan karena alasan semidarurat atau seperti apa ketentuannya?

Di antara beberapa pekerjaan yang dilakukan pada waktu shalat Jumat itu seperti keamanan yang bertugas shift menjaga kantor atau kompleks perumahan, dokter yang bertugas di ruang IGD, penjaga pintu/palang kereta, serta pilot dan kru pesawat.

Dalam contoh di atas, bisa disimpulkan bahwa para dokter dan tenaga medis di IGD, para penjaga pintu/palang kereta, atau para pilot dan awak kabin yang sedang bertugas pada saat shalat Jumat itu boleh meninggalkan shalat Jumat.

 
Mereka yang sedang bertugas pada saat shalat Jumat itu boleh meninggalkan shalat Jumat.
 
 

Selanjutnya, mereka (laki-laki) berkewajiban untuk menunaikan shalat Zuhur jika berkesempatan untuk shalat Zuhur pada waktunya atau dijamak dengan shalat Ashar jika dalam kondisi rukhsah.

Akan tetapi, jika dimungkinkan tanpa masyaqqah untuk menugaskan pegawai perempuan di waktu tersebut, maka itu yang menjadi pilihan utama. Sehingga, pilihan untuk menempatkan tenaga laki-laki di waktu tersebut itu setelah tidak ada tenaga perempuan yang bisa bertugas di waktu tersebut.

Hal ini karena kondisi semidarurat, di mana kondisi semidarurat (al-hajat) merupakan daftar kebutuhan yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kesulitan. Di antara dhawabith (rambu-rambu) al-hajat yaitu: (a) kondisi hajat harus benar-benar terjadi atau menurut kalkulasi, kebiasan, atau dugaan kuat itu akan terjadi. (b) Terjadi kesulitan di atas standar. Sebaliknya, jika kesulitan yang terjadi itu standar, maka bukan kategori al-hajat yang menyebabkan rukhshah.

(c) Hal yang dibutuhkan tidak bertentangan dengan nash yang shahih dan sharih (jelas). (d) Kondisi hajat bisa disetarakan dengan dharurat jika menjadi satu-satunya alternatif, sedangkan alternatif tersebut tidak bisa menjadi pilihan karena adanya kesulitan (masyaqqah). (lihat buku Nadzariyyatu adh-Dharurah, Wahbah az-Zuhaili).

Kondisi al-hajat (semidarurat) itu seperti kondisi darurat dalam hukum dan konsekuensinya. Dalam kondisi dharurat, setiap orang dibolehkan melakukan hal-hal yang dilarang, maka begitu pula dengan kondisi al-hajah, boleh melakukan hal yang dibutuhkan walaupun terlarang.

 
Dalam kondisi dharurat, setiap orang dibolehkan melakukan hal-hal yang dilarang.
 
 

Yang membedakan antara al-hajah dengan darurat adalah tingkat keterbutuhan pelaku (mukallaf) terhadap mashlahat tersebut. Dalam kondisi darurat, tingkat keterbutuhan terhadap hal-hal dharuriyat adalah sangat penting (darurat/asasi), jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan halak (binasa). Sedangkan dalam kondisi al-hajah, tingkat keterbutuhan terhadap hajiat itu di bawah darurat (penting), jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kesulitan (masyaqqah ghairi mu’tadah/fawatu al-manfa’ah).

Sebagaimana kaidah fikih, “al-hajah allati tanzilu manzilata ad-darurah; keperluan/hajat (akan sesuatu) dapat menempati posisi (setara dengan) darurat.” (Al-Asybah wa an-Nazhair: 85). Dan juga kaidah, “Segala sesuatu jika sempit maka menjadi luas.” (Syarah Majalah Al-Ahkam:18, Al-Asybah wa an-Nazhair: 83, Ibnu Nujaim: 84).

Wallahu a’lam.

Rahasia Umur 40

Seseorang tidak berubah lagi dari kebiasaan yang dilakukannya bila mencapai umur 40 tahun.

SELENGKAPNYA

Cara Memperbaiki Keretakan Rumah Tangga

Keluarga merupakan tempat orang-orang bernaung dalam suka dan duka.

SELENGKAPNYA

Makna Perintah Iqra

Aktivitas membaca pada hakikatnya adalah menghimpun.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya