
Kitab
Stimulus Semangat untuk Bangkit dari Musibah
Melalui karyanya ini, Prof Dadang Kahmad menyajikan pelbagai nasihat optimistis.
Dalam kehidupan di dunia ini, setiap insan pasti pernah melalui berbagai duka, termasuk yang disebabkan oleh bencana atau musibah. Islam mengajarkan, kemalangan dapat menjadi jalan yang mengantarkan seseorang pada situasi lapang. “Karena, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS al-Insyirah: 5).
Seorang cendekiawan Muslim, Prof Dadang Kahmad membedah hikmah dan makna hadirnya bencana menurut perspektif Islam. Dalam salah satu karyanya, Musibah Pasti Berlalu, tokoh Muhammadiyah itu memaparkan pentingnya optimisme saat menghadapi pelbagai mala. Pada saat yang sama, seorang Mukmin pun hendaknya selalu berprasangka baik terhadap ketentuan Illahi.
Dalam kalam pengantar buku tersebut, guru besar sosiologi agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati itu menjelaskan beberapa fase. Tahapan-tahapan itu dilalui seorang Muslim bila ingin merasakan adanya kemudahan sesudah datangnya kesukaran, sebagaimana diisyaratkan surah al-Insyirah.

Pertama adalah meningkatkan kedermawanan. Dadang mengistilahkannya sebagai a’tha, yakni memberikan sebagian harta di jalan Allah. Dengan demikian, bersedekah tidak mesti menunggu kondisi senang atau kaya. Dalam keadaan sempit pun, seorang Mukmin seyogianya tidak sungkan untuk memberi.
Beberapa ayat Alquran menegaskan keberkahan sedekah. Nabi Muhammad SAW pun dalam sebuah hadis menyatakan, “Harta tidak akan berkurang karena disedekahkan.” Dengan adanya jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, seyogianya Muslimin tidak ragu lagi untuk menyisihkan sebagian rezekinya di jalan kebajikan.
Hal kedua, lanjut Dadang, adalah melakukan taqa atau meningkatkan ketakwaan. Sebab, datangnya bencana boleh jadi menjadi cara Allah menyayangi hamba-hamba-Nya. Secara zahir, musibah memang menimbulkan duka. Akan tetapi, hikmahnya dapat berupa kesadaran pada diri Mukminin yang mengalami bencana tersebut. Mereka dapat kembali mengingat Allah dan memperbaiki kualitas amal ibadahnya.
Datangnya bencana boleh jadi menjadi cara Allah menyayangi hamba-hamba-Nya.
Terakhir, tutur Dadang, adalah meyakini dengan sepenuh hati adanya pahala yang terbaik, yakni surga (shaddaqa bil husna). Akademisi tersebut merangkum ketiga rumusan itu dari Alquran surah al-Lail ayat kelima hingga tujuh. Muaranya adalah, “Fasanuyassiru huu lilyusraa.” ‘Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).’
Untuk mengamalkan ketiga tahapan itu, seseorang perlu terlebih dahulu memantapkan keimanannya. Sumbernya adalah ketenangan jiwa. Dalam sebuah riwayat, Ibnu Mas’ud pernah didatangi seseorang yang hendak meminta nasihat. “Berilah obat bagi jiwaku yang sedang dilanda kegelisahan,” kata lelaki itu.
Maka Ibnu Mas’ud berkata kepadanya, “Bawalah hatimu ke tiga hal, yakni tempat yang di dalamnya orang-orang membaca Alquran, majelis taklim yang mengingatkan hati kepada Allah, serta tempat dan waktu yang sunyi. Dalam kesunyian itu, hendaknya engkau menyembah Allah. Dirikanlah shalat malam. Mintalah kepada-Nya ketenteraman pikiran dan keikhlasan hati.”

Pria itu kemudian melaksanakan arahan sang sahabat Nabi SAW. Keesokan harinya, ia merasa lebih baik. Sikapnya menjadi lebih optimistis dalam menjalani kehidupan. “Ketenangan akan selalu hadir manakala kita juga menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas,” tulis ulama kelahiran Garut, Jawa Barat, itu.
Musibah tidak selalu berupa kekurangan materiel. Betapa banyak orang kaya raya, populer, pintar, dan berkuasa yang tidak tenang hidupnya. Mereka seperti dikejar-kejar kegelisahan. Dengan mencari dan terus mencari, sampailah mereka di keyakinan pada Allah SWT. Bagi kalangan mualaf, kondisi demikian acap kali terjadi sebelum menemukan cahaya Islam.
Dadang mencontohkan sosok Abu Bakar ash-Shiddiq. Sahabat Rasul SAW itu termasuk yang paling awal memeluk Islam. Ketika ditanya faktor apa yang membuatnya beriman, ia hanya mengatakan, “Aku mengenal Tuhanku karena Tuhanku. Jika bukan karena Tuhanku, aku tidak mengenal Tuhanku.”
Musibah tidak selalu berupa kekurangan materiel. Betapa banyak orang kaya raya, populer, pintar, dan berkuasa yang tidak tenang hidupnya.
Isi buku
Secara keseluruhan, Musibah Pasti Berlalu terdiri atas tiga bagian. Pada bagian pertama, penulis menyajikan empat tema yang menarik. Keempatnya adalah iman sebagai sumber ketenangan jiwa, prasangka baik kepada Allah, pasrah kepada Allah, serta energi positif dari sakit hati.
Menurut Dadang, berprasangka baik kepada Allah akan membuat seseorang ringan dalam menjalani kehidupan. Betapapun musibah melanda, ia akan terus optimistis. Hal itu menjadi sikapnya selama dirinya konsisten memperbaiki ketakwaan.
Bagi seorang Mukmin, datangnya bencana dapat menjadi ujian untuk meningkatkan derajat. Dalam surah al-Baqarah ayat 214, Allah berfirman, yang artinya, “Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”
Bagi seorang Mukmin, datangnya bencana dapat menjadi ujian untuk meningkatkan derajat.
Penulis buku tersebut juga acap kali menukil kisah-kisah sarat inspirasi dari kalangan sahabat dan ulama salaf ash-shalih. Kehidupan mereka memancarkan keteladanan, terutama tentang sabar ketika menghadapi musibah. Beberapa di antaranya membuktikan bahwa memang sabar tidak memiliki batasan.
Pada bagian kedua buku Musibah Pasti Berlalu, Dadang menyajikan lima tema pembahasan. Kelimanya adalah ihwal kekuatan doa, tobat, hikmah setiap musibah, berserah diri kepada Allah, dan pentingnya rasa syukur. Di sebuah tulisan, akademisi itu mengutip pemaparan dari seorang ahl hadis, Imam Qurthubi.

Fakih itu berkata, musibah adalah perkara yang tidak disukai setiap orang. Bagaimanapun, bencana dapat menunjukkan karakteristik seorang Mukmin. Mereka yang lemah iman akan mudah terbawa kesedihan yang berlarut-larut. Adapun mereka yang beriman teguh, langsung bertawakal kepada Allah Ta’ala.
Bagian ketiga dari buku karya Dadang Kahmad ini mengajak pembaca untuk memaknai penderitaan. Di sini, penulis menyajikan empat tema, yaitu optimisme untuk melalui musibah, bencana sebagai proses mendewasa, meyakini sifat Allah Yang Maha Melindungi dan Maha Menolong, serta cinta Illahi.
Mereka yang lemah iman akan mudah terbawa kesedihan yang berlarut-larut. Adapun mereka yang beriman teguh, langsung bertawakal kepada Allah Ta’ala.
Masing-masing tema tersebut dijelaskan penulis dengan bahasa yang sederhana. Di samping itu, dirinya juga selalu menukil ayat-ayat Alquran dan sejumlah hadis. Pada bagian terakhir ini, ia juga mengungkapkan beberapa hal yang bisa dilakukan seorang Muslim ketika musibah menerpa.
Setidaknya ada empat langkah. Pertama, berbagi (sharing) dengan orang yang tepat. Kedua, pejamkan mata dan bayangkanlah momen keberhasilan. Ketiga, percaya pada kemampuan diri sendiri. Terakhir, jangan mencari-cari kambing hitam.
Buku setebal 176 halaman ini sangat kaya akan petuah dan nasihat. Dengan membacanya, seseorang dapat menambah semangat dan roh optimisme dalam diri, khususnya ketika sedang diuji musibah atau cobaan. Karya ini sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan rohani. Pada intinya, yakinlah akan datang pertolongan dari-Nya. Sering kali, solusi timbul dari arah yang tidak disangka-sangka.

DATA BUKU
Judul: Musibah Pasti Berlalu: Merajut Optimisme Hidup di Saat Menderita
Penulis: Prof Dadang Kahmad
Penerbit: Quanta
Tebal: 176 halaman
MUI: Perkuat Keharmonisan Bangsa
Forum itu diharapkan meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah.
SELENGKAPNYADorong Sertifikasi Nazir
Sertifikasi nazir dapat meningkatkan profesionalisme pengelolaan wakaf.
SELENGKAPNYAJangan Bercerai, Bunda
Posisi wanita sebagai ibu merupakan benteng pertahanan terakhir.
SELENGKAPNYA