
Teraju
'Zero Covid' dan Publik yang Marah
Tertekan, tidak berdaya, dan marah dampak pemberlakuan kebijakan lockdown di Cina yang berujung rusuh.
OLEH SIWI TRI PUJI B
Ledakan kemarahan publik yang jarang terjadi yang muncul di Cina selama dua minggu terakhir. Mereka memprotes kebijakan penguncian tanpa akhir, tes massal, dan karantina yang diambil pemerintah Cina dalam mengendalikan penyebaran Covid-19.
Dalam video yang dibagikan di media sosial pada hari Sabtu, orang-orang di Urumqi, ibu kota wilayah Xinjiang, marah setelah kebakaran apartemen yang menewaskan 10 orang.
Ribuan pekerja di pabrik Apple iPhone di China tengah pekan lalu bentrok dengan polisi anti huru hara dan merobohkan barikade. Minggu sebelumnya, para pekerja migran di kota metropolis Guangzhou, menerobos pembatas yang dikunci dan berbaris di jalanan.
Juga dalam beberapa minggu terakhir, ada curahan kesedihan di media sosial atas kematian bayi berusia empat bulan yang menurut ayahnya perawatan medisnya tertunda selama 12 jam karena pembatasan Covid. Kematian seorang anak laki-laki berusia tiga tahun di Cina barat laut akibat keracunan karbon monoksida setelah ayahnya dihentikan oleh penegak aturan Covid saat membawanya ke rumah sakit juga memicu kemarahan.
Rasa skeptis publik terhadap keefektifan pendekatan yang populer disebut "Zero Covid" juga semakin nyata. Victoria Li adalah contohnya. Mengalami beberapa kali lockdown sejak Covid muncul di Cina hampir tiga tahun lalu, ia mulai muak. Menjadi seorang tahanan di rumahnya sendiri di Beijing membuatnya merasa tertekan, tidak berdaya, dan marah.
“Terjebak di rumah dengan pintu tertutup, saya merasa tidak termotivasi untuk melakukan apa pun,” katanya, seperti dikutip The Guardian. “Saya tidak ingin bekerja, saya tidak ingin belajar. Kadang-kadang, saya merangkak ke tempat tidur dan menangis.”
Semua bermula setelah seorang rekan Li dinyatakan positif. Ia yang dianggap sebagai kontak dekat segera kehilangan kode hijau-nya dalam catatan kesehatan selama sebulan, yang berarti dia dilarang berada di tempat umum. “Saya tidak bisa masuk ke pasar atau toko. Saya tidak bisa pergi ke kantor,” katanya. Merindukan kehidupan normal, Li baru-baru ini mengajukan permohonan untuk beremigrasi ke Kanada.
Rasa marah orang-orang seperti Li memuncak ketika kasus harian Covid mencapat titik tertinggi sepanjang November ini. Banyak yang mulai mempertanyakan harga mahal yang telah mereka bayarkan untuk tujuan yang tidak mungkin tercapai selama tiga tahun ini. Tak cukup di situ, seruan agar presiden Cina, Xi Jinping, mundur, juga menyeruak.

Pekan lalu, komisi kesehatan nasional melaporkan 31.444 kasus baru yang ditularkan secara lokal, angka harian tertinggi sejak virus corona pertama kali terdeteksi di kota Wuhan di Cina tengah pada akhir 2019.
Meskipun jumlah kasus China rendah dibandingkan dengan angka global, pihak berwenang bersikeras melakukan "perang puputan" melawan virus tersebut. Saat Cina melaporkan kematian Covid pertama dalam enam bulan minggu lalu, serangkaian kebijakan penguncian baru diberlakukan di seluruh negeri. Yang paling penting adalah Shenzhen, kota berpenduduk 17,5 juta dan pusat teknologi Cina, serta Shanghai, kota berpenduduk 26 juta yang merupakan pusat manufaktur, perdagangan, dan keuangan.
Lockdown telah menyebabkan pabrik dan pelabuhan ditutup untuk waktu yang lama. Penguncian wilayah juga berdampak pada kontrak kerja dengan perusahaan asing. Ekonomi Cina hanya tumbuh 3,9 persen selama setahun terakhir, meleset dari target tahun 2022 sebesar 5,5 persen. Pengangguran meningkat, terutama di kalangan anak muda, dan pasar properti melemah.
Tindakan penguncian wilayah juga memengaruhi bisnis dan konsumen di seluruh dunia, yang bergantung pada China untuk pasokan barang. Penguncian di pabrik Foxconn di Zhengzhou memukul produksi iPhone, menyebabkan kekhawatiran kekurangan pasokan di seluruh dunia. Penutupan pabrik juga menyebabkan kekhawatiran akan kekurangan pernik-pernik keperluan Natal dan tahun baru.
Menyusul meluasnya aksi protes, pemerintah Cina mengumumkan akan mempersingkat karantina dan melonggarkan beberapa pembatasan. Pejabat lokal diminta untuk menahan diri dari penegakan kebijakan anti-Covid yang berlebihan. Tetapi yang membingungkan, mereka juga bersikeras bahwa "perang" Cina melawan pandemi tetap berlangsung.
Misalnya saja, apa yang berlaku di Shijiazhuang, kota berpenduduk 11 juta orang yang berjarak sekitar 180 mil dari Beijing. Kota ini menjadi uji kasus untuk menghilangkan pembatasan Covid. Setelah dibuka, sembilan hari kemudian kota ini ditutup lagi karena jumlah kasus harian nasional melonjak ke titik tertinggi sepanjang masa.
Pengamat mengatakan tidak peduli apa yang dikatakan pemerintah pusat, pada praktiknya pembatasan Covid tidak mungkin dilonggarkan. Pangklnya adalah pada struktur kekuasaan Cina yang top-down, yang berarti pejabat lokal tidak akan menghindar dari penerapan kebijakan yang ketat untuk menghindari disalahkan atas lonjakan kasus.
Mengingat bahwa pembatasan tidak mungkin dicabut dalam waktu dekat, analis memperkirakan protes akan meningkat. Tetapi mereka juga mencatat bahwa kerusuhan sporadis ini tidak mungkin menimbulkan ancaman bagi pemerintahan Cina yang memiliki kekuatan untuk menindak mereka dengan cepat.

Protes tetap sporadis dan tidak terorganisasi, kata Victoria Tin-bor Hui, seorang ilmuwan politik di Universitas Notre Dame di Indiana, AS. Tapi untuk berubah menjadi berbeloknya kebijakan pemerintah tak ada yang bisa menebak.
Chung Kim-wah, sosiolog yang bermukim di Hong Kong, mengatakan protes hanyalah menunjukkan bahwa orang-orang telah kehilangan kesabaran dengan tindakan yang tidak masuk akal dan mempertanyakan keefektifannya. "Tetapi protes yang tidak terorganisasi bukanlah tindakan yang kuat untuk menghadapi pemerintah," katanya. Dia mencatat bahwa jika penyesuaian kecil dilakukan, pengunjuk rasa biasanya menyerah.
Rezim Lockdown Terketat di Dunia
Salah satu "seni" Cina dalam mengendalikan penyebaran Covid-19 adalah pengunian wilayah dan karantina. Penguncian kadang dilakukan dengan sangat ketat meski hanya ditemukan segelintir kasus Covid di satu wilayah.
Begitu satu kasus itemukan, tes massal segera dilakukan. Mereka yang teridentifikasi dengan Covid segera diisolasi di rumah, atau dikarantina di fasilitas pemerintah. Berbarengan dengan itu, bisnis dan sekolah ditutup di area tersebut.
Toko yang diperkenankan beroperasi hanya toko yang menjual makanan. Penguncian wilayah dilakukan tanpa batas waktu, hingga tidak ada infeksi baru yang dilaporkan.
Beberapa otoritas lokal telah mengambil tindakan ekstrem, seperti memaksa pekerja untuk tidur di dalam pabrik agar mereka dapat bekerja selama dikarantina. Pada awal November, para pekerja di pabrik Foxconn di Zhengzhou, yang membuat iPhone, melakukan pelarian massal karena khawatir mereka akan dikurung di dalam. Pada bulan Agustus, pembeli di toko Ikea di Shanghai memaksa keluar melalui pintu darurat untuk menghindari penguncian di dalamnya.
Pemerintah Cina mengatakan langkah ini ditempuh untuk menyelamatkan nyawa, karena wabah yang tidak terkendali akan membahayakan mereka yang rentan, termasuk orang tua.
Penguncian yang ketat ini memang membuahkan hasil: jumlah kematian di Cina tetap rendah sejak dimulainya pandemi. Angka resmi jumlah kematian sekitar 5.200 jiwa, atau hanya tiga kematian akibat Covid dalam setiap satu juta penduduk. Bandingkan dengan 3.000 per juta di Amerika Serikat dan 2.400 per juta di Inggris.
Namun, beberapa aturan sekarang mulai dilonggarkan. Isolasi hanya delapan hari -- bukan 10 hari seperti sebelumnya -- dengan lima hari di pusat isolasi, ditambah tiga hari di rumah. Cina juga sekarang mengizinkan kedatangan internasional untuk pertama kalinya sejak Maret 2022.
Baru-baru ini, Cina mencatat kematian pertamanya dalam enam bulan. Pada Senin pekan lalu, tercatat 40.052 kasus Covid baru, naik dari 39.506 kasus dan lebih tinggi dari puncak sebelumnya, pada bulan April. Jumlah kasus dalam seminggu telah mencapai hampir 200 ribu.

Infeksi baru telah dilaporkan di seluruh China, tetapi kota-kota yang terkena dampak paling parah adalah Guangzhou, di selatan, dan Chongqing di barat daya. Mereka mencatat 7.000 atau 8.000 kasus Covid baru setiap hari. Di Beijing, sekitar 4.000 kasus baru dilaporkan setiap hari. Namun, jumlah keseluruhan infeksi dan kematian di Cina masih rendah dibandingkan dengan negara lain.
Tentu bukan hanya penguncian wilayah yang jadi andalan Cina, vaksinasi juga. Namun, hanya sekitar separuh orang di Cina yang berusia 80 tahun ke atas yang telah menerima vaksinasi pertama mereka.Kurang dari 60 persen dari mereka yang berusia 60 hingga 69 tahun yang menerima vaksinasi penuh.Kini kebijakan yang mewajibkan para orang tua mendapatkan vaksinasi juga diberlakukan.
Belakangan, muncul keraguan tentang apakah vaksin utama yang digunakan di Cina --Sinovac dan Sinopharm-- efektif melawan Omicron, strain yang paling gampang tersebar luas saat ini. Negara-negara Barat telah menawarkan vaksin yang lebih efektif kepada China, tetapi Cina menolak untuk menggunakannya.
Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan penjelasan resmi. Namun, kebanggaan nasional mungkin menjadi faktornya, menurut Dr Yu Jie, senior research fellow di Chatham House.
"Saya pikir Xi Jinping (presiden Cina) mempertimbangkan kemandirian ekonomi seingga perlu memproduksi dan menggunakan vaksinnya sendiri, daripada mengimpornya dari suatu tempat," katanya, seperti dikutip BBC. Organisasi Kesehatan Dunia telah mendesak Cina untuk mengubah metodenya dalam menangani Covid. Namun, Xi mengatakan kebijakan "Nol Covid" itu "ilmiah dan efektif".
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Cerita Rasa dari Ubud
Menu kuliner dapat dirancang berdasarkan cerita dan filosofi dari suatu daerah.
SELENGKAPNYABiden Bersinar, Trump Kian Redup
Hasil Pemilu 2022 membuat jalan Biden untuk nyapres di Pemilu 2024 semakin lempang.
SELENGKAPNYAPerburuan Gelar Pemuncak di Bangkok
Fajar/Rian dan Ahsan/Hendra dapat diandalkan untuk merebut gelar ganda putra.
SELENGKAPNYA