
Kuliner
Cerita Rasa dari Ubud
Menu kuliner dapat dirancang berdasarkan cerita dan filosofi dari suatu daerah.
OLEH INDIRA REZKISARI
Cerita itu dimulai dari semangkuk sup yang diletakkan dalam sebalok es batu. Gazpacho memang sup populer dari Spanyol dan Portugal yang biasa disantap dingin, sedingin minuman yang keluar dari kulkas. Sup ini disuguhkan dalam sajian '10 Course Ubud Jungle Dinner' di Hoshinoya Bali, pun sama, dingin.
Suapan demi suapan sup yang terbuat dari sayuran yang diblender tersebut rasanya asam dan segar. Aroma jahe dan jeruk nipis ternyata cocok untuk hidangan pembuka dalam sajian menu di restoran hotel yang terletak di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. Restorannya dapat dicapai sekitar 20 menit berkendara dari pusat keramaian Ubud.
Menu yang unik bagi lidah orang Indonesia ini dilanjutkan dengan hidangan bertajuk "The Story Begins". Tumis cumi gently sauteed bigfin reef squid with pistou, squid ink tuile ini renyah dengan saus pistou khas Prancis. Pelayan yang menyuguhkan menu bercitarasa gurih itu menjelaskan, saus pistou tersebut diolah dari bawang merah dan daun basil. Tambahannya adalah tuile atau semacam wafer renyah dari tinta hitam cumi.
Rangkaian 10 jenis menu tersebut adalah kreasi Executive Chef Hoshinoya Bali, Mitsuaki Senoo. Dia mengatakan, menu-menu tersebut diibaratkan seperti sebuah buku cerita. "Rangkaian rasanya seperti membaca buku yang naik terus ke atas sampai mencapai klimaks, dari menu pertama sampai ke ke-10," ujarnya, dalam wawancara dengan Republika, tiga pekan lalu.
View this post on Instagram
Di Hoshinoya Bali, kata dia, semua yang tersaji dikembangkan berdasarkan cerita dan filosofi tersendiri. Konsep dari Hoshinoya sendiri adalah merangkul sejarah, budaya, dan bahkan lokasi tempat di mana dia berdiri. "Konsep kita adalah ‘The Unknown Ubud’ yang membuat kita harus bercerita dari segi rasa tentang sisi Ubud yang belum banyak dikenal."
Mitsuaki atau kerap disapa Mitz San mengatakan, dalam merancang menu, dia memperhatikan rasa, bahan, dan manfaatnya bagi tubuh. "Ini yang kami tampilkan citarasa dari alam Bali yang sesungguhnya dalam berbagai menu Jepang, Barat, atau Indonesia yang tersedia."
Dalam menu Ubud Jungle Dinner, terdapat sajian Chicken Confit with Black Olive Sambal Matah. Uniknya, sambal matah dia campur dengan irisan zaitun hitam. "Penikmatnya diajak merasakan beragam rasa. Satu menu membuat senang, menu lain mengejutkan, atau bahkan memberi efek rileks. Setiap menu, tapi memiliki atraksi dan ceritanya sendiri," kata Mitz San.
Elemen atraksi, misalnya muncul dari menu bertajuk 'Aroma', yaitu ikan yang digoreng dengan teknik Prancis, yaitu dengan baluran rempah-rempah di sisinya, namun tidak matang sempurna di bagian tengah. 'Aroma' juga memikat dari segi rasa. "Aroma adalah masakan dengan bahan-bahan khas Jepang, namun dengan teknik masak klasik Prancis."
View this post on Instagram
Lalu, sebelum beranjak ke makanan utama, menu 'Refresh' tersaji. Menu ini dalam kebiasaan makan Jepang dikenal shiraae atau hidangan penyegar mulut. Uniknya, Mitz san menyajikan shiraae dari buah sawo yang diberi saus kenta; dari tahun dan biji wijen.
Konsep menu di Hoshinoya adalah mencari keseimbangan rasa dari Jepang dan Indonesia. Semuanya tecermin dalam pilihan menu-menu yang disuguhkan, termasuk dalam hidangan utamanya, 'Elevation' yaitu steak dengan tiga saus. Saus maranggi berupa kecap dengan potongan cabai dan bawang, saus kalasan gurih yang biasa sebagai bumbu ayam, serta saus sambal cabai hijau.
Mitz San mengaku sengaja memilih tiga saus tersebut karena ingin mengenalkan kekayaan rasa Indonesia. "Ingin tamu Hoshinoya Bali bisa merasakan distinction, rasa yang beda dalam set dinner," terangnya.
Mengantarkan Autentisitas Rasa
Pandemi Covid-19 membuat perbatasan antarnegara masih terbatas, walaupun saat ini kondisinya mulai mereda. Situasi ini tentunya membuat mereka yang ingin menikmati rasa autentik Jepang di negara tersebut sulit untuk direalisasikan. Untuk itulah, Hoshinoya Bali menyuguhkan sajian dari kuliner Jepang bagi para tamunya yang kebanyakan dari Jepang.
View this post on Instagram
General Manager Hoshinoya Bali, Takaaki Yasuda, mengatakan, hotel ini memiliki konsep kulier yang mengedepankan tiga indra manusia. Tiga unsur tersebut sebagai kebiasaan makan orang Jepang. “Makanan kami harus memenuhi unsur membuai indra pengelihatan, penciuman, dan indra perasa.”
Hoshinoya Bali memang merupakan resor di Ubud sebagai bagian dari jaringan hotel grup Hoshino Jepang.
Sebelum pandemi, Hoshinoya Bali lebih banyak disambangi tamu-tamu dari Jepang yang ingin menikmati liburan ke Pulau Dewata. Karena itu, menu yang tersaji menyesuaikan dengan selera rasa para tamu. “Misalnya, ada menu mi goreng Indonesia. Rasanya dibuat lebih adaptif dengan lidah orang Jepang. Rasanya pedas mi goreng Indonesia tentu tidak akan sepedas itu di sini,” kata Yasuda.
Pada saat pandemi, Hoshinoya lebih banyak didatangi tamu orang Indonesia. Mereka menyukai menu khas Jepang karena faktor rasanya yang autentik. Ini karena, kata Executive Chef Hoshinoya Bali Mitsuaki Senoo, menu Jepang di Hoshinoya dibuat mirip dengan yang di Jepang meski menggunakan bahan-bahan lokal. Jadi, para tamu yang makan di Hoshinoya tak perlu ke Jepang untuk mencicipi sushi, sashimi, atau sukiyaki yang autentik.
View this post on Instagram
“Mereka yang makan sushi di sini tidak kalah rasanya seperti bila makan sushi di Pasar Tsukiji, Jepang. Meski lokasi Hoshinoya ada di pedalaman Ubud, saya bekerja keras mencari bahan baku yang segar, ke nelayan langsung membeli hasil tangkapan, sampai mencari pemasok dengan kualitas terbaik,” papar Mitsuaki.
Dia mengakui bahwa mencari bahan baku lokal yang bisa diolah menjadi makanan Jepang dengan rasa autentik sebenarnya sulit. Namun, hal ini dapat ditangani sehingga sejumlah menu Jepang yang dibuatnya menjadi favorit di hotel ini. Contohnya, Jewel Box berisi aneka rupa sashimi, ikura (telur ikan), dan tamago (irisan telur dadar) dengan nasi. “Sushi sashimi kami, kesegarannya dijamin, seperti makan di Pasar Tsukiji tapi ini di Ubud.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Maroko dan Pengembaraan Ibnu Battuta
Selama kurang lebih 29 tahun, Ibnu Battuta telah singgah di 44 negara.
SELENGKAPNYAPenyesalan Para Pendurhaka
Tidak mungkin para pendurhaka akan diperlakukan sama seperti orang-orang yang patuh dan taat.
SELENGKAPNYAAdab-Adab Nobar Piala Dunia
Dengan adab itu, Muslim bisa menyaksikan nobar Piala Dunia, tetapi dalam koridor tuntunan syariah.
SELENGKAPNYA