Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Bagi Hasil Lahan Pertanian

Menurut bahasa Arab, kata muzara’ah diambil dari kata az-zar’u yang berarti pertanian.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamualaikum wr wb.

Mohon penjelasan mengenai bagi hasil di bidang pertanian antara pemilik lahan dan pengelola atau dikenal dengan istilah muzara’ah. Apakah itu diperbolehkan atau tidak? Bagaimana ketentuan syariahnya? -- Adnan, Sukabumi

Waalaikumsalam wr wb. 

Dalam buku Mushtalahat al-Fiqh al-Mali al-Mu’ashir (Muamalatu Suuq), Kairo: IIIT, 1997, halaman 172, dijelaskan bahwa, pertama, menurut bahasa Arab, kata muzara’ah diambil dari kata az-zar’u yang berarti pertanian.

Menurut istilah, muzara’ah berarti melakukan kerja sama, di mana salah satu pihak menyerahkan lahan sebagai modal kepada pengelola, dan hasil panennya dibagihasilkan antara kedua pihak. Seperti halnya bagi hasil dengan skema mudarabah, tapi yang menjadi kekhasan muzara’ah adalah bagi hasil dengan usaha yang dikelola dalam sektor pertanian. Sedangkan, musaqah berarti usahanya dalam sektor perkebunan.

Kedua, ada perbedaan pendapat para ahli fikih mengenai muzara’ah. (1) Muzara’ah dengan seluruh bentuknya itu diperbolehkan menurut mayoritas ulama (pendapat masyhur mazhab Maliki, mazhab Hambali, dan kedua murid Imam Abu Hanifah). (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 5/416).

Kesimpulan bahwa muzara’ah tersebut dibolehkan didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang bekerja sama dengan penduduk Khaibar. Rasulullah SAW sebagai pemilik lahan dan penduduk Khaibar sebagai pengelola/penggarapnya. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Rasulullah SAW pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan dan tanaman” (HR Muslim).

(2) Ulama mazhab Syafi’i hanya membolehkan muzara’ah dengan syarat ittihad al-‘amal yang didasarkan pada pendapat mereka tentang musaqah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, ulama mazhab Syafi’i melarang musaqah saat dilakukan di area lahan atau tanah putih (tidak berkembang). (3) Menurut Abu Hanifah, muzara’ah itu tidak diperbolehkan.

Ketiga, sumber perbedaannya adalah beberapa hadis yang memberikan makna yang berbeda. Sebagian melarang dan sebagian membolehkan. Di antaranya hadis yang diriwayatkan dari sahabat Rafi’ bin Khudaij dan Jabir, “Rasulullah SAW melarang mukhabarah ...” (Muttafaq ‘Alaih).

Keempat, Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa hadis Rafi’ tersebut itu tidak berarti berisi larangan seluruh bentuk muzara’ah, tetapi yang dilarang adalah saat lahan tersebut disewakan.

Maksud hadis Rafi’ tersebut dilengkapi dengan hadis berikut, “Kami adalah orang ansar yang paling banyak bercocok tanam. Kami pernah menyewa tanah dengan imbalan untuk kami bagian sebelah sini, dan untuk mereka (pemilik tanah) bagian sebelah sana. Terkadang bagian ini yang menghasilkan, sedangkan bagian yang lain tidak, maka Beliau melarang kami. Adapun (sewa) dengan (imbalan) emas dan perak, maka Beliau tidak melarang kami” (Muttafaq ‘Alaih).

Salah satu dari dua hadis yang bertentangan tersebut itu harus di-nasakh. Sedangkan, hadis Khaibar itu tidak mungkin di-nasakh karena telah dilakukan Rasulullah SAW hingga wafatnya dan dilakukan oleh generasi setelahnya.

Kemungkinan, hal itu terjadi pada awal-awal muhajirin tinggal di Madinah pada saat mereka meninggalkan aset-asetnya di Makkah. Jadi, mereka memiliki bagian dari aset tersebut untuk dikelola tanpa sewa dan tanpa dibagihasilkan (muzara’ah). Setelah kebutuhan muhajirin terpenuhi, kemudian akad muzara’ah dan ijarah dibolehkan dengan hadis-hadis tersebut.

Ibnu Qudamah juga menjawab ihwal pemilahan yang dilakukan mazhab Syafi’i bahwa lahan tersebut adalah aset yang bisa berkembang dengan dikelola sehingga boleh menjadi objek muzara’ah. Oleh karena itu, mengelolanya (dengan akad muzara’ah) itu diperbolehkan dengan bagi hasil dari hasil panennya, seperti akad mudarabah (investasi modal) dan musaqah (investasi dengan modal berbentuk pohon-pohonan). 

Kelima, para ulama memberikan beberapa kriteria agar akad muzara’ah itu diperbolehkan, yaitu (1) lahannya dapat dikelola sebagai lahan pertanian, karena hasil panen tidak mungkin terwujud tanpa kriteria ini. (2) Rentang waktunya jelas dan disepakati, karena muzara’ah itu transaksi agar pengelola memanfaatkan lahan. Oleh karena itu, kesepakatan waktu menjadi syarat untuk mengetahuinya.

(3) Menjelaskan pihak yang menyediakan bibit dan jenis bibit yang diserahkan. (4) Pemilik lahan memberikan kewenangan kepada pengelola untuk mengelolanya. (5) Menjelaskan persentase yang menjadi bagian dari kedua belah pihak. Wallahu a’lam.

Laporan Hibah Penelitian, Bagaimana Hukum Syariahnya?

Saya biasa mendapatkan hibah penelitian, tetapi harus menyampaikan LPJ sebelum dana diterima.

SELENGKAPNYA

Jejak Tsunami Purba di Serambi Makkah

Temuan ahli geoteknologi dan arkeolog di Aceh menunjukkan, Aceh pernah mengalami tsunami jauh sebelum peristiwa tsunami 2004.

SELENGKAPNYA

Ancaman Bagi Pendurhaka

Lalu, para pendurhaka itu ditantang, di manakah pasukanmu yang bisa membelamu?

SELENGKAPNYA