Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Prof Zainuddin. | dok ist

Hiwar

Wujudkan Kampus Berbudaya Santri

UIN Maliki Malang menjadi role model kampus-kampus yang berbasis pesantren.

 

Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Jawa Timur, selama bertahun-tahun meneguhkan status sebagai kampus yang berbasis budaya pesantren. Hingga kini, kultur santri terus mengejawantah dalam sistem maupun praksis pendidikan setempat.

Menurut Rektor UIN Maliki Malang Prof HM Zainuddin, ada berbagai fasilitas di sana yang mendukung hal itu. Di antaranya adalah keberadaan Ma’had al-Jami’ah, yakni pesantren khusus mahasiswa UIN Maliki Malang.

Letaknya masih satu kompleks dengan lembaga pendidikan tinggi tersebut. Tidak hanya masjid dan asrama, di sana pun terdapat peran kiai, ustaz, dan pembimbing untuk para mahasantri. “Di UIN Malang, rukun ma’had-nya memang sudah terpenuhi,” kata guru besar sosiologi agama itu.

Zainuddin menjelaskan, pihaknya selalu mendukung integrasi antara dunia akademik dan muruah pesantren. Hasilnya, setiap alumni UIN Maliki Malang diharapkan menjadi ilmuwan yang alim, yakni memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Pada akhirnya, mereka dapat menebarkan sifat agama ini, yakni rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Bagaimana UIN Maliki Malang hadir dengan memadukan nuansa kampus dan pesantren? Apa saja tantangan yang dihadapi? Untuk menjawabnya, berikut ini kutipan wawancara yang dilakukan wartawan Republika, Muhyiddin, dengan profesor kelahiran Bojonegoro, Jatim, itu, beberapa waktu lalu.

Bagaimana UIN Maliki Malang menghadirkan nuansa pesantren dalam penyelenggaraan pendidikan?

Ketika berbicara tentang Islam atau pendalaman Islam dengan nuansa pesantren, maka orang harus menguasai khazanah atau turats (kitab-kitab peninggalan ulama) Islam. Tentu saja, sumber utamanya adalah Alquran dan hadis. Itu diikuti dengan sirah nabawiyah (sejarah Nabi Muhammad SAW) hingga para alim ulama.

Kampus tentunya tempat belajar, pendidikan tinggi. Dan, belajar agama di pesantren-pesatren mesti bisa menguak turats-turats yang dibuat atau diformulasikan para ulama terdahulu. Dalam upaya penguasaan turats itu, salah satu faktor yang terpenting adalah penguasaan bahasa Arab.

Di UIN Maliki Malang, ada model pembelajaran yang disebut Integrated Learning Model (ILM). Dengan itu, seluruh mahasiswa—apa pun program studinya, baik sosial maupun sains—harus juga menguasai bahasa Arab.

Karena itu, para mahasiswa di sini harus tinggal di Ma’had al-Jami’ah selama satu hingga dua tahun. Jadi, selama itu pula mereka menjadi mahasantri, yakni mahasiswa yang juga santri. Bahkan, mereka bisa tinggal di sana sampai lulus kalau para mahasiswa itu bisa menjadi musyrif atau musyrifah (pembimbing) untuk adik-adik angkatannya.

Bisa dijelaskan profil Ma’had al-Jami’ah?

Ma’had al-Jami’ah mulai dioperasikan pada Agustus 2000. Di dalamnya, ada unit-unit bangunan (mabna) yang diperuntukkan bagi mahasantri putra maupun putri. Mabna-mabna untuk masing-masing (mahasantri) putra dan putri terletak terpisah, yakni di sisi utara dan selatan kampus utama (UIN Maliki Malang).

Kami mendirikan Ma’had al-Jami’ah dengan pertimbangan, antara lain, para mahasiswa mesti dibekali dengan (penguasaan) bahasa Arab dan kitab-kitab kuning. Lebih dari itu, tentunya mereka harus ditempa agar memiliki karakter dan akhlak yang baik. Hal itu akan terbangun melalui pembinaan dari ustaz-ustazah atau para kiai di Ma’had al-Jami'ah.

Sejauh ini, bagaimana hasil dari pola pendidikan ala pesantren di Ma'had al-Jami'ah?

Alhamdulillah, hasil dari pembelajaran model kampus berbasis pesantren ini memberikan nilai tersendiri. Sebab, para mahasiswa bisa memiliki ilmu pengetahuan dan juga akhlak. Maka, saya memberikan penekanan kepada mahasiswa.

Yang namanya ilmu pengetahuan itu tidak bisa dilepaskan dari karakter, kepribadian, dan mental. Itu seperti yang disampaikan oleh Imam Ghazali, generasi muda dianggap eksis kalau punya dua kompetensi modal: ilmu pengetahuan dan ketakwaan atau akhlak karimah.

Dalam konteks lebih luas, bagaimana UIN Maliki Malang mencetak alumni yang berwatak santri?

Jadi, lulusan dari UIN Maliki Malang ini diharapkan memiliki dua kompetensi. Pertama, ilmu pengetahuan. Yang kedua adalah karakter atau akhlak. Kalau keduanya ini mereka miliki, maka insya Allah mereka setelah lulus akan menjadi sarjana-sarjana yang tepercaya dan berwatak santri.

Selain itu, pembelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris. Keduanya dipergiat di Pusat Pengembangan Bahasa UIN Maliki. Sebab, kalau para mahasiswa tidak menguasai bahasa Arab, tidak bisa mereka membaca kitab-kitab turats. Dan kalau tidak menguasai bahasa Inggris, mereka juga tidak bisa mengetahui metodologi-metodologi yang diformulasikan oleh orang-orang Barat modern kini.

Kemudian, masih ada lagi, yaitu penguasaan tadarus atau penghafalan Alquran. Ini dikelola oleh Hai'ah Tahfizh Alquran (HTQ). Para mahasiswa yang mau menghafalkan Alquran, mulai dari beberapa juz hingga 30 juz, akan dibina di situ.

Lalu, bagi yang sudah hafal katakanlah 10 atau bahkan 30 juz, akan dapat memberikan bantuan pengajaran kepada adik-adik angkatannya. Yang hafal Alquran dari mahasiswa kami hingga tahun ini sudah mencapai 3.700 orang. Mereka berasal dari berbagai program studi.

Apa saja yang telah dilakukan UIN Maliki Malang untuk mengembangkan institusi yang berwatak pesantren?

Pengembangan kampus ini terus dilakukan dengan mengevaluasi program-pogram yang sudah ada. Program yang sudah berjalan itu kemudian dikembangkan lagi dan dilakukan inovasi-inovasi. Maka, kami juga menghadirkan dalam Ma’had al-Jami’ah, yakni Ma’had Aly. Melalui itu,  kami berupaya menjadikan para mahasantri betul-betul memiliki kekhususan dalam keilmuan agama.

Yang kedua, kami juga merambah ke pesantren-pesantren, termasuk yang berada di Jawa Timur. UIN Maliki Malang sudah melakukan MoU (nota kesepahaman). Kami pun memberikan beasiswa pascasarjana kepada ustaz-ustaz di ponpes, terutama di pesantren-pesantren yang besar, semisal Lirboyo, Probolinggo, Pasuruan, dan sebagainya.

 
Generasi muda dianggap eksis kalau punya dua kompetensi modal: ilmu pengetahuan dan ketakwaan atau akhlak karimah.
 
 

Beberapa waktu lalu, kami juga bekerja sama dengan Darullughah Wadda'wah (Dalwa) Bangil Pasuruan. Kami mewadahi diskusi terkait pengembangan pesantren di kampus. Jadi, pondok-pondok pesantren itu menjadi mitra kami. Begitu pula dengan madrasah-madrasah. Kami pun sudah MoU dengan Kantor Wilayah Kemenag (Kementerian Agama) terkait dengan pembinaan madrasah-madrasah.

Dengan sesama kampus Islam pun, kami membuka kerja sama. Misalnya, dalam membantu proses akreditasi Universitas KH A Wahab Hasbullah (Unwaha) Tambakberas, Jawa Timur. Kami hadirkan para tenaga ahli untuk bisa membantu mereka.

Sebab, kami punya banyak doktor dan profesor sehingga bisa memberikan pembimbingan kepada pondok pesantren dan juga perguruan tinggi. Dan, alhamdulillah hubungan kami sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri dengan pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan kampus-kampus sangat baik.

Bagaimana dengan dukungan pemerintah untuk dunia kampus?

Dukungan pemerintah, dalam hal ini Kemenag, itu sebetulnya mengimbau kepada seluruh PTKIN (perguruan tinggi keagamaan Islam negeri) agar mendirikan ponpes, seperti misal Ma’had al-Jami’ah yang ada di Malang ini. UIN Maliki Malang menjadi role model kampus-kampus yang berbasis pesantren.

Sebab, UIN Maliki Malang—di samping memang sudah tua—rukun ma’had-nya sudah terpenuhi, yaitu ada kiai, santri mukim, asrama, gedung halaqah, dan masjid.

Direktur atau kiainya itu ada sekitar 10 orang. Mereka tinggal di situ (Ma’had al-Jami’ah) atau diberikan rumah tinggal di dekat situ. Mereka menetap di sana agar lebih efektif dalam membimbing para santri.

Setiap tahun, mahasiswa sebanyak tidak kurang dari empat ribu orang dibimbing semuanya di Ma’had itu. Nah, ini yang kemudian menjadi percontohan bagi ma’had-ma’had lain di banyak PTKIN.

Memang, kami merasa, bantuan Kemenag belum maksimal. Kami, misalnya, pernah mengajukan agar direktur ma’had setara dengan direktur yang lain, tetapi belum dipenuhi. Alasannya, regulasi dan sebagainya.

Padahal, yang dikelola oleh mudir (direktur) ma’had itu sama dengan yang dikelola rektorat. Jadi, seluruh mahasiswa juga dibimbing olehnya. Paling tidak, kami serukan sejak dulu agar direktur (ma’had) itu bisa setara dengan dekan.

Menurut Anda apa saja tantangan dalam mendidik mahasantri pada era digital?

Di pelbagai kesempatan, saya cukup sering memberikan orasi terkait hal itu. Jadi, pesantren-pesantren secara spiritual dan mentalitas semuanya baik-baik saja. Namun, yang harus ditambahkan padanya adalah kompetensi di bidang teknologi informasi (TI). Karena, TI itu merupakan kebutuhan yang tidak bsia dihindari pada era kini.

Kedua, penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Itu dengan catatan, penguasaan bahasa Arab pun harus sudah baik. Jadi, kedua bahasa ini saya kira penting. Dengan begitu, lulusan dari pesantren, termasuk ma’had-ma’had di lingkungan UIN, akan bisa memenuhi ekspektasi masyarakat luas. Mereka akan bisa diterima di mana pun karena menguasai dua skill tersebut.

Kalau soft skill, sudah jelas. Sekarang tinggal hard skill. Yang dimaksud soft skill itu, keuletan, disiplin, tahan banting, tawaduk, dan mandirinya mereka (mahasantri). Soft skill ini sudah menjadi ciri khas pesantren. Tinggal menambahkan sedikit hard skill-nya.

Dalam hasil penelitian orang-orang Barat, justru di Amerika dari sekian banyak orang yang diterima di pekerjaan, sekira 80 persen disebabkan faktor soft skill. Adapun 20 persennya karena hard skill. Jika kemudian yang 20 persen itu ditambahkan dengan berkompeten dalam bahasa Inggris dan TI, itu sudah lengkap.

photo
Menurut Prof Zainuddin, mahasiswa Muslim yang hendak studi ke Barat hendaknya memperkuat basis pengetahuan agamanya terlebih dahulu - (dok ist)

Terinspirasi Gus Dur dan Cak Nur

Prof Zainuddin terpilih sebagai rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sejak 2021. Dalam perjalanan hidupnya, guru besar sosiologi agama itu pernah mengenyam pendidikan pesantren di Ponpes Bahrul ‘Ulum Tambakberas, Jombang, Jatim.

Sejak masih menjadi santri, dirinya gemar membaca. Saat remaja, ia mulai tertarik pada dunia keislaman dan sosial. Menurut lelaki kelahiran Bojonegoro tahun 1962 itu, ada dua tokoh yang begitu menginspirasinya dalam bidang pemikiran, yakni KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) dan Nurcholish Madjid (1939-2005). Masing-masing akrab dengan sapaan Gus Dur dan Cak Nur.

“Sejak dulu, saya itu mengidolakan Gus Dur dan Cak Nur. Mereka adalah orang yang punya dua tradisi keilmuan, yaitu tradisi pesantren dan juga intelektual Barat,” ujar Zainuddin kepada Republika, baru-baru ini.

Dengan menyelami pemikiran mereka, ia mengaku terpanggil untuk menjadi seorang cendekiawan yang inklusif dan berpikiran moderat. Dari tradisi pesantren, masing-masing teguh akan akar pengetahuan keislaman. Dengan riwayatnya yang pernah melakukan pengembaraan intelektual—baik itu melalui pendidikan di kampus-kampus Eropa/Amerika ataupun menekuni pemikiran Barat—mereka pun terbuka untuk memahami perbedaan.

“Makanya, kalau (rihlah intelektual) ke Barat itu harus punya basic pesantren yang kuat, keilmuan Islam yang kuat, sehingga tidak terpengaruh (hal-hal negatif –Red). Kalau tidak demikian, kita lihat, banyak yang menjadi ‘gila’ setelah pulang dari Barat. Sebab, tidak bisa memfilter,” imbuh Zainuddin.

Inspirasi dan pengaruh terbesar yang dirasakannya berasal dari kedua orang tua. Ayah dan ibu Zainuddin merupakan qari dan qariah. “Bapak dan Ibu saya memondokkan semua anak-anaknya. Pokoknya kami harus bisa baca kitab kuning dan harus bisa qiraaah,” ujarnya.

 

Etilen Glikol Disebut Penyebab Ginjal Akut

Menkes mengeklaim sudah menemukan obat yang dapat menjadi penawar.

SELENGKAPNYA

Ekonomi Kuartal III Diyakini Tumbuh Lebih Tinggi

Meski prospek ekonomi tahun ini meyakinkan, pemerintah mewaspadai tantangan ekonomi pada 2023.

SELENGKAPNYA

Keberkahan Berniaga dengan Allah

Ko Steven menanamkan pentingnya keikhlasan dan keberkahan rezeki.

SELENGKAPNYA