
Wawasan
Sumpah Pemuda Bukan Sekadar Mitos
Peristiwa Sumpah Pemuda jadi serius karena keberadaan idenya yang sudah sangat lama.
OLEH MUHAMMAD SUBARKAH
JJ Rizal lahir di Jakarta, 1975. Ia menyebut nama sebenarnya adalah Rizal. Sedangkan, “JJ” adalah nama panggilan. Menurut dia, nama itu sengaja dipilih orang tuanya karena saat itu benar-benar ingin punya anak laki-laki.
Rizal dalam bahasa Arab artinya memang laki-laki. “Benar. Nama saya itu pendek Rizal. JJ itu nick name. Nama sependek ini memang banyak yang tak percaya,” katanya.
Rizal menyelesaikan kuliah di Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Setelah lulus pada 1998 dengan skripsi “Sitor Situmorang: Biografi Politik 1956-1967”. Ia mengaku sempat mengajar di UI selama tiga bulan.
Setelah itu, ia lebih memilih “mandiri”, yakni dengan mendirikan Penerbit Komunitas Bambu (Kobam). Penerbit ini mempunyai ciri khusus karena merupakan penerbit buku yang masih berani menerbitkan buku sejarah dan humaniora di Indonesia.
Terkait Sumpah Pemuda, Rizal menuturkan, peristiwa itu memang sudah menjadi mitos yang dibuat pertama kali oleh Presiden Soekarno bersama M Yamin pada pertengahan dekade 1950-an. Tujuannya untuk mempersatukan bangsa yang saat itu terancam dalam perpecahan berat.
Konsep ini pun diteruskan oleh Presiden Soeharto sebagai pengganti Sukarno. Konsep ini kemudian malah lebih dikristalkan lagi dengan membuat Sumpah Pemuda sebagai ide untuk membuat bangsa Indonesia semakin terpusat (konsentris).
Namun, pada dekade 1990-an muncul juga sumpah tandingan, yakni Sumpah Pemuda yang ingin menggagas kesatuan bangsa ini menjadi lebih adil dan beradab.
Apa sih yang menjadi latar belakang munculnya Sumpah Pemuda?
Sebenarnya, peristiwa munculnya Sumpah Pemuda itu bukan peristiwa tunggal. Sebab, Sumpah Pemuda yang terjadi pada 28 Oktober 1928 adalah peristiwa Kongres Pemuda II. Jadi, saat itu sudah ada kongres sebelumnya, yaitu Kongres Pemuda I pada 1926 di Jakarta.
Pada kedua konggres ini, sebetulnya dimulai dari kegelisahan para pemuda dengan identitasnya. Ini terjadi ketika awal tahun 1920-an muncul banyak kelompok pemuda dan dua di antaranya memiliki anggota yang besar, yakni Jong Jawa dan Jong Sumatren Bond.
Saat itu juga muncul kelompok-kelompok pemuda yang berdasarkan etnik. Dan, yang menarik kelompok pemuda ini sebenarnya terdiri atas para pelajar yang sehari-harinya lebih dekat pada kebudayaan dan gaya hidup Eropa.
Nah, terbentuknya kelompok pemuda itu juga sebagai jawaban atas pertanyaan dari dokter Rivai yang muncul awal abad ke-20. Dia bertanya, “Siapakah kita?”
Nah, pertanyaan ini pun sudah dijawab jauh lebih mula, yakni oleh Indische Partij. Saat itu dijawab, “Kita itu orang Hindia!” Jadi, mereka yang berkumpul melakukan Kongres Pemuda itu sebenarnya adalah “orang-orang” yang telat menjawab pertanyaan dokter Rivai itu.
Pada kedua kongres ini, sebetulnya dimulai dari kegelisahan para pemuda dengan identitasnya.
Lalu, apa menariknya kalau para peserta Kongres Pemuda itu sebenarnya hanya ikut-ikutan saja?
Yang menarik adalah kehadiran kongres itu juga sebagai imbas setelah munculnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926. Akibat pemberontakan itu maka terjadilah penggulungan besar-besaran gerakan politik. Sehingga, Kongres Pemuda saat itu bisa dianggap sebagai jalur alternatif dari sebuah gerakan politik yang saat itu sebenarnya sudah sangat direpresi oleh kekuasaan.
Dengan kata lain, sebenarnya gerakan para pemuda itu tak lebih seperti sebuah organisasi mahasiswa. Namun, uniknya lagi, mereka kemudian mencoba memasukkan diri ke dunia politik serta mengaitkan diri dengan organisasi politik yang ada pada saat itu.
Salah satu contoh adalah dengan melihat pemrakarsa Kongres Pemuda II itu yang merupakan sayap pemuda (Jong Indonesia) PNI yang diketuai Sjahrir. Adapun yang menarik di sini adalah para pemuda ini berusaha mengaitkan diri dengan organisasi politik dan menerima tawaran-tawaran konsesi nasional politik.
Maksudnya, di sini mereka tak hanya menyoalkan dengan cita-cita kemerdekaan, tapi juga sudah mempersoalkan mengenai ide dari sosok bangsa dan negara Indonesia secara keseluruhan. Jadi, pemikiran mereka sudah sangat luas, tak hanya membahas apa itu merdeka saja, tapi mereka memikirkan alasan-alasan untuk merdeka, mendirikan bangsa, dan alat untuk merekatkan bangsa ini.
Pada saat itu, sejauh mana Kongres Pemuda II dianggap sebagai hal serius? Sebab, banyak literatur yang menyatakan kongres itu peristiwa biasa, apalagi diselenggarakananya pada hari Minggu?
Sebenarnya, peristiwa itu menjadi serius karena melihat dari sisi keberadaan idenya yang ternyata sudah sangat lama. Yang lain sebenarnya menjadi sangat serius sebab peristiwa itu mempunyai keterkaitan dengan organisasi politik.
Di sini memang hasil Kongres Pemuda II itu tidak membawa ide baru, tapi mereka mengkristaliasi ide. Untuk itu, kalangan sejarawan menyatakan bahwa titik kulminasi dari perasaan nasionalisme itu justru ada pada Sumpah Pemuda.
Memang, sebelumnya ada Manifesto Politik tahun 1925 yang dibuat Moh Hatta dkk mulai Perhimpunan Indonesia di Belanda. Cuma jangan lupa, manifesto politik Perhimpunan Indonesia itu tidak pernah memperhitungkan bagaimana konsepsi nasionalisme Indonesia tersebut mencapai tingkat yang paling konkret. Inilah yang menjadi bedanya.
Sebenarnya, peristiwa itu menjadi serius karena melihat dari sisi keberadaan idenya yang ternyata sudah sangat lama.
Memang, pada sisi lain peristiwa Sumpah Pemuda itu juga sebagai konsekuensi keterbukaan politik di Hindia Belanda semenjak dibukanya Volksraad pada 1920. Ini artinya, pemerintah kolonial memang membuka aspirasi-aspirasi politik selama itu masih di dalam koridor.
Dan, dalam hal ini tidak benar kalau Pemerintah Belanda saat itu tidak khawatir. Sebab, harap diketahui, saat pelaksanaan kongres, semua tahu bahwa jumlah mata-mata atau intelnya itu sebenarnya lebih banyak daripada jumlah pesertanya.
Kekhawatiran ini tercermin dengan hadirnya petinggi Hindia Belanda Van der Plas. Pada laporannya, Van der Plas memang menganggap enteng, misalnya mengejek diperdengarkannya lagu “Indonesia Raya”. Sebagai contoh dari sebuah selera yang buruk. Dia tampaknya tak sadar akan adanya kaitan gerakan itu dengan organisasi politik yang ada.
Harap diketahui, begitu selesai kongres, Sjahrir langsung pergi ke rumah Inggit Garnasih yang ada di Bandung untuk menemui Sukarno. Dan, surat pertama mengenai ucapan terima kasih atas dukungan Kongres Pemuda itu dikirimkan ke Perhimpunan Indonesia yang ada di Belanda.
Jadi, meski dilakukan oleh mereka yang disebut masih kanak-kanak, sebenarnya peristiwa itu bukanlah peristiwa yang main-main. Sebab, ternyata peristiwa tersebut terkait dengan dunia pergerakan dan kebangsaan yang saat itu sangat ditakuti Pemerintah Belanda.
Kalau begitu masuk akal bila peristiwa Sumpah Pemuda adalah salah satu embrio dari kebangsaan ini?
Iya, memang. Salah satu hal terpentingnya adalah pemakaian bahasa Indonesia sebagai sebuah identitas kebangsaan. Pada saat itu bahasa Indonesia terasa naif. Sebab, perlu diketahui pula, para peserta kongres sendiri banyak yang tak bisa berbahasa Melayu dengan baik. Ketika itu, masih banyak di antara mereka memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar kongres.

Dalam istilah “bahasa Indonesia”, para pemuda itulah yang memulainya. Bahasa ini sebelumnya hanya dikenal sebagai bahasa Melayu Pasar atau juga bahasa Melayu Tinggi yang pada intinya saat itu bahasa tersebut masih sebagai bahasa kedaerahan. Jadi, ketika mereka berani memakai bahasa Indonesia, di sisi lain mereka juga sebenarnya tengah melakukan “bunuh diri” terhadap kelas mereka sendiri.
Para peserta kongres ini kan orang-orang terdidik yang bahasa ibunya ada dua, yakni bahasa daerahnya atau bahasa Belanda sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Tapi, mereka berani meninggalkan hal itu semua. Mereka memilih menggunakan bahasa baru yang namanya bahasa Indonesia.
Lalu, apa efek dari munculnya semangat kebangsaan dalam kongres itu terus terbawa hingga saat kemerdekaan tiba?
Mereka yang terlibat dalam kongres pemuda itu kemudian terlibat dalam gerakan kebangsaan hingga datangnya kemerdekaan. Budi Utomo, misalnya. Setelah datangnya Sumpah Pemuda kemudian melebur dalam Partai Indonesia Raya. Berbagai organisasi yang sebelumnya bersifat kedaerahan, lalu menyurut dan hilang, serta melebur menjadi organisasi nasional.
Kemudian, apa makna Sumpah Pemuda setelah datangnya kemerdekaan?
Pada sisi lain, setelah Indonesia merdeka, secara perlahan Sumpah Pemuda juga terjadi sebuah pergeseran makna yang unik, terutama ketika menjadi bingkai persatuan bangsa. Pada pertengahan dekade 1950-an, karena melihat tantangan zaman dengan banyaknya gerakan pemberontakan daerah maka Sukarno bersama M Yamin melihat potensi Sumpah Pemuda sebagai kekuatan politik kebangsaan.
Mereka kemudian mencari argumen untuk membuat agar para pelaku gerakan separatis itu sebagai pendosa kepada Republik, yakni melakukan pengkhianatan terhadap ikrar suci keindonesiaan.
Awalnya, peringatan Sumpah Pemuda bukan dipakai sebagai ide ikrar persatuan dan kesatuan bangsa, tapi lebih dipakai sebagai momentum untuk mengingat saat pertama lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan. Misalnya, terjadi pada peristiwa peringatan 28 Oktober 1949 di Istana Yogyakarta.
Namun, setelah peringatan tahun 1949, tak ada lagi peringatan seperti itu. Memang, acara kenegaraan peringatan 28 Oktober itu tetap ada, tapi namanya adalah peringatan Hari Indonesia Raya, bukan peringatan Sumpah Pemuda.
Nah, baru pada 1952, ada perkembangan baru yang menarik. Entah bagaimana peringatan Hari Indonesia Raya semakin meningkat. Presiden Sukarno merayakannya di Istana Negara dan sekitar 10 organisasi pemuda lainnya juga ikut merayakannya di tempat mereka masing-masing.
Peringatan ini diberitakan oleh Harian Rakyat dengan menyebut sebagai peringatan Hari Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda. Jadi, dalam hal ini, sampai pertengahan tahun 1950-an, peringatan Sumpah Pemuda nyaris tak dikenal.
Tapi, semenjak tahun 1956 ada sedikit perubahan. Saat itu, dengan dipelopori Presiden Sukarno, mulai memakai Sumpah Pemuda sebagai nama peringatan hari nasional pada 28 Oktober. Saat itu, Sukarno sudah mulai berbicara bahwa pelaku gerakan pemberontakan adalah mereka yang menyimpang dari pikiran yang ada di Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dan, situasi ini sampai pada puncaknya tahun 1958 dengan memanfaatkan momentum 30 tahun Sumpah Pemuda. Peristiwa ini diperingati secara nasional dari tingkat istana hingga kelurahan. Nah, di sinilah Sukarno mulai memanfaatkan Sumpah Pemuda menjadi sebuah ide untuk menjawab tantangan politik kebangsaan.
Istilahnya, dia mencari momentum dalam sejarah untuk diubah menjadi momen politik dalam menjawab tantangan yang saat itu muncul.
Apa akibatnya?
Di sini ada sisi, yakni isi Sumpah Pemuda disesuaikan untuk melayani tuntutan idelogis negara persatuan. Pada hal ini Sukarno melakukan dua hal. Pertama, melakukan rekayasa atas teks Sumpah Pemuda. Kedua, melakukan rekayasa terhadap kepala atau judul hasil kongres 28 Oktober 1928.
Untuk rekayasa teks, Sukarno membuat semuanya menjadi satu dan membuat penyuntingan bahasa. Ketika membaca teks Sumpah Pemuda di Istana Negara pukul 20.00 WIB pada 28 Oktober 1958, Sukarno membaca teks Sumpah Pemuda yang sudah disesuaikan untuk melayani tujuan-tujuan politik dan ideologi negara kesatuan.
Bunyi Sumpah Pemuda menjadi seperti ini. “Kami pemuda-pemudi Indonesia bersumpah, kami putra-putri Indonesia bersumpah bahwa satu, mengakui tanah air, tanah air Indonesia. Dua, kami putra-putri Indonesia mengakui satu bangsa, bangsa Indonesia. Ketiga, kami putra-putri Indonesia mengakui satu bahasa, bahasa Indonesia.”
Padahal, teks asli bunyinya adalah tidak ada kata sumpah, hanya “kerapatan mengambil keputusan, pertama, kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua, kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia. Ketiga, kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Mengapa Sukarno berani melakukan perubahan itu?
Sukarno termasuk orang yang mengerti betul bahwa sejarah itu sisi kebenaran faktualnya tak penting. Yang penting adalah visinya. Karena itu, dia sejalan dengan pikiran M Yamin.
Nah, mengapa Sukarno memilih kata “Sumpah”? Jawabannya, untuk memberi suasana sakral, suasana mitologis. Bahkan, lebih gila lagi, sebagai sarana untuk mengaitkan dengan suasana masa lalu agar bisa membawa ruh semangat ide kesatuaan Indonesia pada Sumpah Palapa.
Jadi, ini dibawa sangat jauh ke belakang lagi. Akibatnya, kalau ada orang yang melakukan pendustaan terhadap Sumpah Pemuda maka dia bukan saja orang yang berdosa secara politis, ideologis, tapi juga secara mitologis. Sukarno memakai Sumpah Pemuda untuk menyampaikan visinya bagi persatuan bangsa.
Lalu, bagaimana posisi Sumpah Pemuda pada masa Orde Baru?
Meski Presiden Soeharto hadir sebagai pengganti Sukarno namun tidak berarti dia menghapus begitu saja eksperimen politik yang dilakukan pemerintahan sebelumnya, misalnya dalam konteks perayaan Sumpah Pemuda. Bahkan, Sumpah Pemuda kemudian dijadikan Tripartit ideologi negara yang paling konkret dengan mengedepankan ide persatuan sebagai ketunggalan.
Juga Sumpah Pemuda dipakai sebagai bentuk legitimasi negara yang sangat konsentrik sifatnya. Celakanya, ide ini berlangsung sangat lama. Beda dengan masa Sukarno, Sumpah Pemuda malah berusaha dijinakkan.
Nah, dalam hal ini Soeharto juga melakukan rekayasa teks seperti Sukarno. Ini dilakukan pada acara peringatan 50 tahun Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1978, di Stadion Senayan. Saat itu, Soeharto membaca teks baru Sumpah Pemuda. “Satu, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kedua, mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Ketiga, mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia”.
Jadi, Sumpah Pemuda menjadi sangat padat dan mengisyaratkan ketunggalan yang makin mutlak atau makin dikristalkan.
Tapi, tahun 1990-an ini pun sudah muncul penolakan. Saat itu muncul Sumpah Mahasiswa. Ini untuk mencaci dari ketungggalan itu. Adapun isi Sumpah Mahasiswa, “Kami mahasiswa Indonesia, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Kami mahasiswa mengaku berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan dan kesejahteraan. Ketiga, kami mahasiswa Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa kebenaran.”
Nah, sumpah inilah yang kemudian menandai tuntutan perubahan pluralisme politik dan ekonomi yang kemudian berujung pada peristiwa 1998.
Apa hikmah yang bisa dipetik dari perjalanan perubahan teks dan konteks Sumpah Pemuda itu?
Bagaimanapun sejarah itu adalah cerita dari perubahan. Yang penting kita sadar dari mana kita berasal dan menggunakan masa lalu untuk menyongsong masa depan.
Celakanya, kita tidak punya lagi pemimpin seperti Sukarno dan Yamin untuk melihat tantangan zaman dengan menarik inspirasi dari masa lalu. Padahal, seperti orang hidup perlu tidur, sebuah bangsa untuk bertahan hidup juga harus punya mitos. Dan, mitos ini sudah sempat dibuat oleh Sukarno dan Yamin pada masa lalu.
Disadur dari Harian Republika edisi 7 November 2012
Erdogan Usulkan Referendum Nasional Soal Hijab
Partai berkuasa pimpinan Erdogan mencabut larangan mengenakan hijab di lembaga-lembaga negara pada 2013.
SELENGKAPNYAIslam Makhachev Rebut Juara Dunia UFC
Makhachev mengikuti jejak mentornya, Khabib Nurmagomedov, setelah menekuk Oliveira
SELENGKAPNYASaat WR Soepratman Menggugah
WR Soepratman sudah sejak lama ingin menyumbangkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya.
SELENGKAPNYA