Gedung yang menjadi kantor Pusat MIAI | 30 Tahun Indonesia Merdeka

Kronik

UII dan Perjuangan Pemuda Islam Melawan Penjajah

Untuk menjadi mahasiswa STI dilakukan seleksi yang ketat, baik tulisan maupun lisan.

Bila ada jalan yang menjadi saksi sejarah perjuangan kemerdekaan, maka salah satunya adalah Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Di jalan yang menghubungkan kawasan Salemba dengan Senin ini, tidak hanya berdiri Gedung Sumpah Pemuda yang menjadi saksi kebangkitan pemuda dan pemudi Indonesia dalam upaya mempersatukan bangsa ini, tapi di salah satu sudutnya juga terdapat sebuah bangunan yang menjadi saksi bagi sepenggal sejarah perjuangan bangsa ini.

Bangunan itu dulunya bernama Gedung Balai Muslimin Indonesia. Kini, bangunan itu sudah berganti dengan sebuah bangunan milik Pertamina. Yang tersisa hanya kenangan dari para saksi sejarah yang menjadikan bangunan itu sebagai markas perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.

Mereka -- yang kini telah berusia lebih dari 60 tahun -- menginginkan agar sejarah bangsa mencatatnya secara utuh episode yang melibatkan gedung tersebut.

Salah seorang dari saksi sejarah itu adalah Dr Anwar Haryono, ketua presidium Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI). Menurutnya, sedikit sekali dari generasi muda sekarang ini yang mengetahui peran gedung itu sebagai markas perjuangan generasi muda Muslim angkatan 1945.

"Karena itu, kita perlu mendudukkan sejarah bangsa ini dalam posisinya yang benar agar tidak ada satu pun yang tertinggal," ujar Dr Anwar Haryono, yang juga menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Sebagai upaya untuk mendudukkan peran gedung itu pada proporsi yang sebenarnya, menurut Anwar Haryono, FUI telah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menjadikan bangunan itu sebagai monumen sejarah. Minimal mendirikan satu tanda peringatan bahwa di tempat itu pernah berdiri sebuah bangunan yang menjadi pusat pergerakan pemuda Islam dalam mempertahankan kemerdekaan.

Permohonan itu telah disampaikan kepada Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Gubernur DKI Jakarta, dan Dirut Pertamina selaku pemilik lahan tempat gedung itu berdiri.

 
Surat permohonan yang dilampiri dengan pernyataan kesaksian sejarah beberapa pelaku yang mengetahui keberadaan dan fungsi gedung tersebut di masa revolusi itu, juga telah dikirimkan kepada Presiden Soeharto.
 
 

Surat permohonan yang dilampiri dengan pernyataan kesaksian sejarah beberapa pelaku yang mengetahui keberadaan dan fungsi gedung tersebut di masa revolusi itu, juga telah dikirimkan kepada Presiden Soeharto. Para penandatangan pernyataan yang juga saksi sejarah itu, antara lain, Soebagijo IN (71), HA Karim Halim (77), Dr Anwar Haryono (72), H Adnan Syamni (73), Darsyaf Rahman (74), dan HA Nasuhi (73). Menurut Anwar, hingga baru Menag H Tarmizi Taher yang memberikan jawaban positif dengan mendukung keinginan FUI.

Lebih jauh Anwar Haryono menjelaskan, selain Gedung Balai Muslimin, dua pusat aktivitas kaum muda lainnya -- sebelum dan sesudah kemerdekaan -- adalah Jalan Prapatan 10 dan Jalan Menteng 31. Kala itu di Jalan Prapatan 10 terdapat Sekolah Tinggi Kedokteran Ika Daigaku yang juga menjadi asrama mahasiswanya.

Di Menteng 31 menjadi markas para pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API).

Menurut catatan sejarah yang telah dibuat Karim Halim dan diperkuat oleh Dr Anwar Haryono, Gedung Balai Muslimin ketika masa pendudukan Jepang digunakan untuk asrama dan pusat kegiatan mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Sekolah ini didirikan atas usul MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) dan disetujui Jepang dengan menunjuk Drs M Hatta (Bung Hatta), Soewandi, dan Prof Dr Husein Djajadiningrat serta beberapa tokoh lain sebagai panitia pendiriannya.

Sedangkan yang ditunjuk sebagai rektor STI yang dibuka awal Juli 1945 itu adalah Prof KH Kahar Moezakir dan sekretarisnya M Natsir. Tokoh-tokoh nasional yang menjadi dosen dari sekolah itu, antara lain, Mr Muhammad Yamin, H Agus Salim, Mr Ali Budiardjo, dan dr Abu Hanifah.

 
Sedangkan yang ditunjuk sebagai rektor STI yang dibuka awal Juli 1945 itu adalah Prof KH Kahar Moezakir dan sekretarisnya M Natsir. 
 
 

Untuk menjadi mahasiswa STI dilakukan seleksi yang ketat, baik tulisan maupun lisan. Pengetahuan agama Islam yang menjadi materi seleksi lisan, menjadi penentu bagi mereka untuk memasuki kelas permulaan/persiapan. Ketika itu kelas permulaan hanya menerima 20 mahasiswa dan kelas persiapan diikuti 50 mahasiswa. Karim Halim, Anwar Haryono, dan Darsjaf Rahman kala itu termasuk dalam kelompok mereka yang menjadi mahasiswa kelas permulaan.

Para mahasiswa yang berasal dari luar Jakarta, tinggal di asrama Balai Muslimin. Ketika itu, selain menjadi asrama mahasiswa, gedung yang statusnya milik MIAI itu, juga digunakan untuk penginapan para alim ulama dari seluruh Indonesia ketika mereka menghadiri pertemuan atau tugas di Jakarta. Para mahasiswa, termasuk sekretaris STI M Natsir tinggal di kamar lantai dua gedung yang ada di kanan dan kiri kompleks Balai Muslimin.

Di tempat ini pula para mahasiswa STI membentuk PP STI (Persatuan Pelajar Sekolah Tinggi Islam). Ketua umumnya Soebianto Djojohadikoesoemo, mantan mahasiswa Sekolah Kedokteran Ika Daigaku. Lewat Soebianto dalam rapat-rapat dengan para mahasiswa STI, mereka mengetahui banyak mengenai kekalahan Jepang pada Perang Pasifik dan proklamasi kemerdekaan RI.

Beberapa anggota PP STI terlibat pula dalam penculikan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Agustus 1945. Di Balai Muslimin, anggota PP STI ikut merancang pengerahan massa untuk rapat raksasa di lapangan Ikada Gambir, 19 September 1945.

Akibat rapat raksasa itu, Kenpe Tai Jepang menggerebek markas API di Menteng 31. Banyak pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan alat-alat perjuangan termasuk pemancar radio disita. Sejak itu hanya markas pemuda di Prapatan 10 dan Kramat 19 yang menjadi motor pergerakan kaum muda di Jakarta. Para anggota PP STI ikut pula mengumpulkan senjata untuk mempersiapkan diri menghadapi agresi Sekutu dan Nica.

 
Di Balai Muslimin, anggota PP STI ikut merancang pengerahan massa untuk rapat raksasa di lapangan Ikada Gambir, 19 September 1945.
 
 

Tentara Nica yang datang 'mendompleng' sekutu beberapa kali pamer kekuatan di depan Balai Muslimin, ketika pulang pergi dari markas mereka di Senen. Sekali peristiwa, karena kesalnya seorang mahasiswa menembak jip Nica. Akibatnya, tentara Nica menyerbu gedung itu dan menembakinya. Untung saja, insiden itu tidak berlanjut karena dihalangi polisi militer Sekutu.

Mahasiswa STI yang tergabung dalam PP STI, pada 2 Oktober 1945 mengubah PP STI menjadi Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Dipilih sebagai ketua adalah Harsono Cokroaminoto yang masih dalam penjara Jepang dan sekretaris umumnya Anwar Haryono. Tokoh-tokoh MIAI yang kemudian menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) seperti KH Wahid Hasyim dan KH Agus Salim mendukung sepenuhnya pendirian GPII. Pelantikan dan peresmian dilangsungkan di aula Balai Muslimin.

Salah satu peristiwa penting yang juga terjadi di Balai Muslimin adalah digunakannya sebagai tempat sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) II, parlemen pertama setelah proklamasi kemerdekaan. Sidang itu berlangsung 15-16 Oktober 1945, dengan dihadiri Wakil Presiden M Hatta. Sidang hari pertama dipimpin oleh Mr Kasman Singodimedjo, tapi karena diprotes oleh Soekarni dan Ny Mangoensarkoro, maka Kasman digantikan oleh Sutan Sjahrir.

Salah satu hasil penting yang diputuskan dari sidang KNIP adalah diterimanya mosi tidak percaya peserta sidang KNIP atas intruksi Presiden Sukarno untuk membentuk partai tunggal, Partai Nasional Indonesia. Alasan keberatan para peserta sidang, bila hal itu dijalankan, maka Indonesia bukan lagi negara demokratis namun sudah menjadi negara totaliter.

 
Salah satu peristiwa penting yang juga terjadi di Balai Muslimin adalah digunakannya sebagai tempat sidang KNIP II, parlemen pertama setelah proklamasi kemerdekaan. 
 
 

Akhirnya, Wapres Hatta mengeluarkan Dekrit yang mengizinkan berdirinya parpol-parpol selain PNI. Dekrit yang menandai era demokrasi bangsa ini diterbitkan 3 November 1945 dan berlaku surut sejak 16 Oktober 1945, hari terakhir sidang KNIP.

"Dari data dan fakta sejarah itu semua, sudah selayaknya bila Pemerintah memberi perhatian kepada bangunan bersejarah yang bernama Balai Muslimin Indonesia tersebut. Paling tidak, pengakuan atas gedung itu merupakan wujud dari pembuktian peran sejarah dari umat Islam dalam mendirikan dan mempertahankan bangsa ini," ujar Anwar Haryono. 

Disadur dari Harian Republika edisi 11 Agustus 1995

Pemuda Zaid, Anak SD yang Jadi Sekretaris Rasulullah

Keluarganya termasuk kelompok awal penduduk Madinah yang menerima Islam

SELENGKAPNYA

Jaringan Penyulut Api Perlawanan Kolonial

Eksistensi jaringan ulama Indonesia tak bisa dinafikan dalam sejarah Indonesia modern.

SELENGKAPNYA

192 Kasus Gangguan Ginjal Akut Tersebar di 20 Provinsi

Harapan anak dengan gangguan ginjal akut misterius untuk sembuh total cukup besar.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya