
Kronik
Jaringan Penyulut Api Perlawanan Kolonial
Eksistensi jaringan ulama Indonesia tak bisa dinafikan dalam sejarah Indonesia modern.
OLEH MUHAMMAD SUBARKAH
"Islam Indonesia berasal dari Gujarat. Para pembawa ajarannya adalah para pedagang!"
Penggalan isi buku pelajaran sejarah di sekolah pada masa Orde Baru ini mengenai kedatangan Islam masih banyak terpatri di benak banyak orang. Tak cukup dengan itu bukti, kemudian disampaikan melalui berbagai gambar bentuk makam tua yang ada di Gresik, Jawa Timur, yang berangka tahun sekitar abad ke-11.
Tak ada yang bertanya, para siswa sekolah saat itu pun hanya menurut saja. Akhirnya, kenyataan itu melekat hingga kini.
Belakangan dan sebenarnya pula kalangan Islam sudah lama membantahnya. Dalam waktu yang cukup lama, majalah yang dipimpin almarhum Buya Hamka, Panji Masyarakat, berkali-kali mengulas dan mengkritisi pandangan tersebut, tapi tak berhasil mengubah opini.
Pemerintah Orde Baru tak menggubrisnya. Buku ajar sekolah pun terus menuliskannya. Meski begitu, akhirnya koreksi mengenai asal usul kedatangan Islam di Indonesia pun bisa muncul ke permukaan. Ini terjadi pada masa akhir rezim Orde Baru (dekade 1990-an), yakni ketika pihak penguasa memberikan kesempatan kepada kaum Muslim untuk bereskpresi secara lebih luas dan bebas.
Terkait soal siapa pembawa ajaran Islam ke Nusantara, cendekiawan terkemuka Azyumardi Azra secara tegas mengatakan yang membawa adalah para guru sufi. Dia membantah 'teori kolonial' bahwa Islam disebarkan para pedagang. Guru sufi inilah yang secara perlahan tapi pasti “mengislamkan” Indonesia.
Azyumardi mengatakan, orang Islam memang sudah datang ke Indonesia pada abad ke-7, tapi ajaran ini baru berkembang masif ketika para guru sufi datang pada abad ke-12. Dan, penyebaran ini makin masif ketika mereka membentuk jaringan ulama yang mulai eksis pada abad ke-17 dan semakin kuat ketika memasuki abad ke-19.
"Jaringan itu semakin menguat mulai abad ke-19. Ini karena didorong oleh semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi ini juga merupakan fenomena di banyak 'negara yang berpenduduk Muslim," kata Azyumardi.
Pada sisi lain, khusus di Indonesia, jaringan ulama ini semakin menguat dengan masuknya ulama-ulama asal Jawa ke dalam jaringan ulama tersebut. Ini, misalnya, masuknya Syekh Nawawi al-Banteni atau Syekh Muhammad Saleh Darat al-Samarani asal Semarang, Syekh Ahmad Rifa'i dari Pekalongan, Syekh Mahfud at-Termasi dari Termas (pakar ilmu hadis).
"Jadi, pada abad ke-19 itu ulama-ulama asal Jawa itu masuk ke dalam jaringan ulama dan mereka memainkan peranan yang sangat penting yang berkat merekalah kemudian terjadi konsolidasi pesantren. Syekh Nawawi al-Bantani, misalnya, punya teman seperguruan, yakni Syekh Khalil dari Bangkalan. Nah, Syekh Khalil inilah yang kemudian menjadi salah satu figur instrumental yang membangun tradisi pesantren di Madura dan Jawa Timur secara keseluruhan," katanya.
Bila menyebut nama tokoh jaringan ulama di Indonesia itu, mau tidak mau harus juga mengacu pada berbagai sekolah dan halaqah (kelompok belajar) di Haramain (Makkah) yang saat itu menjadi pusat acuan keilmuan kaum Muslim di Nusantara.
Sejarawan Belanda Martin van Bruinessen dalam bukunya, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, menyebutkan bila Snouck Hurgronje dalam bukunya tentang Makkah sudah menyebutkan bahwa pada akhir abad ke-19, pendidikan di Hijaz yang berpusat di Masjidil Haram pada saat itu sudah berkembang semacam universitas.
Bahkan, tempat pendidikan ini sempat menandingi posisi Al Azhar, Mesir, yang saat itu dianggap mutunya merosot karena dituding terlalu kebarat-baratan (westernized).

Dan, di samping pengaruh halaqah, di Makkah pada saat sama juga berdiri Madrasah Shaulatiyah yang dipimpin seorang tokoh pergerakan Islam di India, Rahmatullah bin Khalil al-'Usmani. Martin menyebut Madrasah Shaulatiyah punya pengaruh besar dalam dunia pesantren Indonesia, terutama dalam penanam sikap anti-kolonial dan antimisi penyebaran ajaran Kristen. Situasi ini juga terungkap ada litelatur yang lain, misalnya, dalam soal perang Aceh yang ditulis Snouck Hurgronje.
Pada tulisannya itu, dia secara terbuka menyebut bahwa orang-orang Indonesia yang belajar di Makkah (yang kemudian pulang ke Tanah Air menjadi ulama di berbagai wilayah—Red) inilah yang kemudian menjadi penggerak perlawanan terhadap kolonial. Pengaruh pendidikan di Haramain ini kepada jaringan ulama dan pesantren semakin menguat ketika pada 1934, para murid Shaulatiyah yang berasal dari Indonesia mendirikan sekolah Dar Al-Um Al Diniyah.
Salah satu penanda kuatnya jaringan ulama yang salah satunya kemudian “mewujud” dalam menjamurnya pendirian pondok pesantren di Jawa. Hal ini dinyatakan oleh sejarawan MC Ricklefs. Dia menyatakan, betapa proses Islamisasi di pulau yang menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda menjadi sangat kuat terasa seiring berdirinya pondok pesantren.
"Dalam masyarakat Indonesia (khususnya Jawa), pondok pesantren baru muncul sekitar abad ke-18. Sebelum itu, tak ada bukti yang meyakinkan bahwa pesantren adalah bentuk kuno dari pedesaan Jawa. Dan, pesantren baru menjadi sebuah fenomena besar pada abad ke-19," tulis Ricklefs dalam buku, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang.

Data pemerinah kolonial Belanda pada 1863 mencatat adanya hampir 65 ribu kaum religius profesional (petugas masjid, guru di sekolah agama, dst) dan 94 ribu siswa di sekolah-sekolah Islam. Jumlah ini jelas cukup signifikan karena pada saat itu penduduk Jawa kurang dari 40 juta orang.
Nah, hanya dalam waktu sembilan tahun, yakni pada 1872, jumlah kaum religius profesional bertambah drastis menjadi 90 ribu dan jumlah murid sudah mencapai 162 ribu. Pada 1893 diketahui terdapat sekitar 10.800 sekolah Islami di Jawa serta Madura dengan jumlah muridnya mencapai 272 ribu orang.
Mereka inilah yang kemudian memainkan peran penting dalam proses Islamisasi, khususnya di masyarakat Jawa, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda.
Ricklefs juga mencatat, sama halnya dengan ulama dan santri, pengaruh tarekat (persaudaraan sufi) pada abad ke-19 juga mengalami reformasi. Naqsya'bandiyah (cabang Khalidiyah) yang diperkenalkan di Jawa sekitar tahun 1850-1860 juga mengalami peningkatan pengikut signifikan.
Adanya peran para guru dan pengikut tarekat inilah yang kemudian menjadikan kehidupan keagamaan Islam di masyarakat semakin dalam dan memainkan peran penting dalam pergolakan antikolonial, sekaligus menjadi “tembok tebal” penghalang bagi penyebaran misi Kristen.
Peran santri, ulama, dan pengikut tarekat inilah yang kemudian di masyarakat memunculkan sebutan—makin dieksiskan oleh Clifford Geertz—sebagai kaum santri, di antara dua sebutan lainnya, yakni kaum abangan dan priyayi.

Kesolidan jaringan ulama ini kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan berbagai pergerakan kebangsaan, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan berbagai organisasi sejenis lainnya. Bahkan, Azyumardi Azra menyatakan, berkah jaringan ulama ini kemudian mampu memantik rasa cinta Tanah Air dari eksploitasi asing kolonial secara lebih konkret.
"Namun, memang bukan dalam arti nasionalisme modern. (Berkat Jaringan ulama ini), muncullah semangat yang bergelora untuk membela tanah Muslim (darul Islam/darussalam) dari ancaman kolonial (Darul Harb). Dan, memang jaringan ulama itu semakin menguat mulai abad ke-19," kata Azyumardi seraya menyatakan bahwa situasi antikolonial ini pada saat yang hampir bersamaan juga terjadi di banyak negara.
Ini karena jaringan ulama Indonesia ini ternyata kemudian terkoneksi dengan jaringan ulama di banyak negara.
Sedangkan, khusus untuk jaringan ulama di Indonesia, Azyumardi lebh lanjut mengatakan posisi mereka semakin kuat dengan masuknya ulama-ulama asal Jawa ke dalam jaringan ulama tersebut. Ini, misalnya, masuknya Syekh Nawawi al-Bantani atau Syekh Muhammad Saleh Darat al-Samarani asal Semarang, Syekh Ahmad Rifa'i dari Pekalongan, dan terlibatnya pakar 'kritik hadis' asal Termas, Syekh Mahfud al-Termasi.
Berkat merekalah kemudian terjadi proses konsolidasi pesantren. Syekh Nawawi al-Bantani, misalnya, punya teman seperguruan, yakni Syekh Khalil dari Bangkalan. "Nah, Syekh Khalil inilah yang kemudian menjadi salah satu figur instrumental yang membangun tradisi pesantren di Madura dan Jawa Timur secara keseluruhan," ujar Azyumardi menegaskan.
Alhasil, bila pada 1825 jaringan ulama ini telah meletupkan perang besar melawan kolonial, Perang Diponegoro, kemudian pada awal abad ke-20 memompa semangat pergerakan nasional, pada masa awal kemerdekaan jaringan ulama ini—dengan tokohnya KH Hasyim Asy'ari—juga telah meletupkan seruan “Resolusi Jihad”.
Tokoh dari Pesantren Tebu Ireng dan sempat lama bermukim untuk menuntut ilmu di Haramain ini meletupkan perlawanan rakyat 10 November 1945 di Surabaya. Jadi, itulah geliat sejarah jaringan ulama!
Disadur dari Harian Republika edisi 24 Februari 2015
Presiden FIFA: Kami Bersama Indonesia
Presiden menegaskan transformasi sepak bola Indonesia harus dilakukan secara menyeluruh.
SELENGKAPNYAAustralia Tolak Yerusalem Ibu Kota Israel
Pemerintah Australia secara resmi membatalkan pengakuan Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel.
SELENGKAPNYA192 Kasus Gangguan Ginjal Akut Tersebar di 20 Provinsi
Harapan anak dengan gangguan ginjal akut misterius untuk sembuh total cukup besar.
SELENGKAPNYA