
Sastra
Terompah
Perempuan tua terus berjalan. Di kepalanya hanya terngiang sang cucu yang terus merengek meminta sepeda.
OLEH HENI MULIA
Dia menghampiri meja makan. Hari ini pulang cepat, karena jadwal penjagaan di kompeks utara digantikan oleh Pak Badrio. Jika dipikir-pikir, pekerjaan sebagai satpam dengan gaji tak seberapa memang melelahkan, namun jika tidak dijalani, anak istri mau makan apa?
Ah, sudahlah, yang penting halal.
Lelaki berjakun tipis itu lalu membuka tudung saji. Makanan yang terlihat seperti makanan tadi malam. Diambilnya satu lempeng telur ceplok setelah mengusap wajah penuh peluh. Satu kunyahan terasa nikmat, tetapi yang kedua kali tak bisa ditelan karena tiba-tiba terdengar suara benturan keras.
“Diiinnn, siapa yang jatuh?”
“Siapa lagi kalau bukan Mak!” jawab Dini, istri laki-laki itu, agak ketus.
Lelaki berseragam itu melepas makanannya dan bergegas menuju tangga rumah. Wajahnya panik.
“Mak!”
Di bawah tangga Mak sudah tergeletak dengan memar di bagian kening.
Di bawah tangga Mak sudah tergeletak dengan memar di bagian kening. Lelaki yang biasa dipanggil Irul itu segera membawanya ke kamar dan segera memanggil perawat yang tinggal di sebelah rumah. Untung saja dia belum berangkat ke rumah sakit untuk jadwal piket.
“Hanya luka kecil, nanti beri obat ini untuk diminum rutin.”
“Terima kasih, Mbak.”
Perawat tadi pergi.
Di pembaringan terlihat kening Mak Imah ditempeli perban kecil.
“Terus saja begini, setiap hari selalu terulang dan terulang! Mak juga, sudah dibilang kalau turun jangan lewat tangga, jadi gini kan, dasar keras kepala!” ketus Dini.
“Din, Mak sudah tua dan mulai pikun, mau gimana lagi. Wajarlah kalau suka lupa,” kata Irul.
“Terus saja bela mak kamu. Memangnya gaji kamu sebagai satpam bisa membiayai kebutuhan kita sehari-hari? Gak kan?”
“Terus mau kamu apa?”
Dini mengeraskan gigi geraham lalu pergi dengan wajah emosi.
Dini mengeraskan gigi geraham lalu pergi dengan wajah emosi.
Irul mengucak wajahnya keras. Semua ucapan sang istri satu pun tak ada yang salah. Dia pun tahu diri dengan kondisi. Tetapi di sisi lain Mak Imah pun adalah ibunya, tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Terkadang Irul pun merasa kesal sendiri dengan maknya. Bagaimana tidak, dia kerap kali terjungkal hingga menyentuh tangga karena ulahnya sendiri, tidak hanya sekali namun berkali-kali. Bukan apa-apa, Mak Imah memang sedikit susah diatur, keras kepala, dan sering membuat ulah dengan tingkahnya yang kadang menyebalkan.
“Ayah, kapan aku mau dibelikan sepeda?” rengek anak Irul, yang tiba-tiba muncul.
Irul terhenyak. Lagi-lagi pertanyaan yang sama.
“Tunggu sebentar lagi ya, Nak, Ayah pasti belikan.”
“Tapi sudah dari dua bulan lalu Ayah terus aja bilang gitu, di sekolah aku diejek gak punya sepeda. Ketika pulang, aku selalu jalan sendiri, teman-teman semuanya pulang naik sepeda, Ayah.”
Kepala Irul tertunduk. Kesedihan seorang Ayah memang terletak di sana, ketika melihat anak harus mendorong sepeda teman-temannya dari belakang tanpa ditawari naik.
Kepala Irul tertunduk. Kesedihan seorang Ayah memang terletak di sana, ketika melihat anak harus mendorong sepeda teman-temannya dari belakang tanpa ditawari naik.
“Rul, maafkan Mak merepotkanmu lagi,” ucap Mak memegang tangan Irul.
Irul hanya membuang napas berat.
Ketika Irul berlalu, Mak Imah berusaha duduk dan membuka sebuah laci. Di tangannya kini terpegang sebuah benda yang unik. Benda yang membuat cahaya bening di matanya tercipta, bahkan butiran itu menetes jatuh tepat mengenainya. Terompah warna cokelat dengan desain klasik dan menarik menjadi kenangan terindah dengan suami. Sayangnya, terompah itu hanya tinggal sebelah saja, sepasang lagi hilang hanyut ke sungai.
Apakah dirirnya memang beban untuk Irul? Buktinya sampai sekarang permintaan Mak Imah untuk dibuatkan satu pasang terompah saja tak pernah jadi, padahal permintaan itu sudah tujuh tahun lamanya. Alasannya selalu saja nanti dan tak sempat ada waktu. Padahal Mak Imah keluar tak akan memakai alas kaki kecuali menggunakan terompah pemberian almarhum suami.
Mak akan menunggu, Rul.
Diletakknya terompah itu ke dalam laci sambil menyeka air mata. Perempuan renta kini harus tetap menunggu waktu pertemuan dengan suami. Menurutnya ketika benda itu sudah untuh, dia seakan melihat wajah suaminya di sana.
Diletakknya terompah itu ke dalam laci sambil menyeka air mata. Perempuan renta kini harus tetap menunggu waktu pertemuan dengan suami.
Esoknya, Irul berkeliling kampung, tujuannya tidak lain untuk menambah utang. Tapi siapa yang mau membantunya jika utangnya saja ada di mana-mana. Dia pulang dengan selembar kertas di tangan, sebuah brousur lomba yang diberikan sahabatnya. Sebuah lomba lari sebagai salah satu kegiatan untuk memperingati ulang tahun kampung kelahiran. Tapi sayang, lombanya khusus untuk usia 50-55 tahun. Lomba yang bergengsi.
Irul menggeleng membaca usia peserta lomba yang terbilang unik. Besok pasti akan ramai, apalagi jika hadiah lombanya keren.
“Mas, aku sudah gak tahan lagi. Hari ini kamu harus usir Mak dari rumah!”
“Kamu ngomong apa, mana mungkin aku mengusir Mak!”
“Terserah, aku gak peduli yang penting dia harus pergi dari rumah. Entah kamu buang atau taruh di panti jompo terserah, yang penting Mak harus keluar,” desaknya. “Sekarang terserah kamu, pilih Mak atau aku sama Tomi yang keluar dari rumah ini!”
“Din, kamu kenapa ngomong seperti itu?”
“Aku sudah banyak bersabar selama ini, Mas. Aku capek! Tadi, kamu tahu? Lagi-lagi Mak buang air sembarangan, kamar mandi bau amis, dan piring bekas makan gak pernah dicucinya. Gimana bisa aku tahan?”
“Kamu tahu dari dulu Mak memang begitu, kenapa akhir-akhir ini baru dipermasalahkan?”
“Kamu kira aku diam berarti tidak terbebani? Aku tertekan, Mas.”
“Dulu kamu berjanji akan setia bagaimana pun keadanku, sekarang aku meminta kamu untuk bertahan sejenak saja, apakah tak bisa?”
“Kalau kamu paham arti capek, kamu pasti tahu jawabannya!”
Pria itu mengeram dan menghantam tembok.
Pria itu mengeram dan menghantam tembok.
Malamnya, Irul benar-benar berpikir keras. Di antaranya tak ada yang bisa dipilih atau ditukar tambah. Tetapi sepertinya pasanganlah yang akan menemani sampai akhir hidup. Di sini mungkin dia bisa mengambil keputusan.
Ketika matahari sudah bersinar, Irul menghampiri kamar Mak. Namun dirinya tak menemukan siapa pun. Segera dia mencari ke dapur, kamar mandi, taman belakang, tapi tetap saja nihil. Akhirnya lelaki itu mencoba bertanya ke tetangga terdekat.
“Rul, kok kamu ada di sini?” Tetangga bertanya.
“Kenapa?”
“Kamu gak nonton Mbah Imah di tempat lomba?”
Irul terperanjat hebat, “Ngapain Mak di sana?”
“Kok kamu antara gak tahu atau lupa, kan Mbah Imah ikut lomba lari, Rul.”
Mata Irul terbelalak. Gerakannya melesat menuju tempat pertandingan. Dan benar, di area lomba Mak Imah berada di urutan ketiga dari peserta yang terbilang masih bertubuh gemuk dan sehat. Di antara yang lain, Mak Imah yang paling loyo dan mamakai tongkat kayu. Padahal dia sudah berusia 68 tahun, mana bisa mengikuti lomba.
“Awalnya panitia menolak, tetapi Mbah Imah terus memaksa sampai nangis-nangis di depan panitia. Akhirnya diterima.”
“Hadiahnya apa?”
“Juara satu dapat sepeda, juara dua uang tunai, dan juara tiga tiket liburan.”
Irul mendadak histeris. Firasat lelaki itu benar.
“Eeh, kamu mau ke mana?”
“Aku mau menghentikan Mak, lihat saja lawan-lawannya gimana bisa menang! Dan aku gak bisa melihat Makku ada di sana, Mat. Aku gak bisa.”
“Tapi pertandingannya sudah dimulai. Tuh!”
Irul menatap linglung. Keramaian di sana seakan tak berarti. Fokus matanya hanya pada perempuan tua nan renta yang sedang mulai berjalan meski tertatih. Kini Mak Imah tertinggal jauh dari lawan.
Wajah letihnya memberikan keibaan para penonton. Lihat saja tongkat kayu itu sama sekali tak membantu banyak. Tapi usaha Mak Imah harus diacungi jempol.
“Mak,” rintihnya pilu.
Perempuan tua terus berjalan. Di kepalanya hanya terngiang sang cucu yang terus merengek meminta sepeda. Di mata Mak Imah pun terus tergambar bagaimana ekpresi Irul yang tak berkutik mendengar permintaan anaknya. Mungkin dengan cara itu Mak Imah bisa berguna untuk anaknya sendiri. Dia tidak apa-apa dibentak, dihina, atau diejek, yang penting bukan Irul yang mengalaminya.
Di tengah perlombaan, Mak Imah terjatuh tak kuat lagi. Tetapi berusaha bangkit. Beberapa langkah, terjatuh lagi. Dan terus berkali-kali. Adegan itu membuat peserta lain terdiam penuh iba. Mereka perlahan melambatkan larinya bahkan ada seseorang yang membantu Mak Imah berdiri.
Dari tengah keributan, terdengar Irul menyebut nama Mak Imah. Mak Imah melihat lambaian tangan anaknya.
Dari tengah keributan, terdengar Irul menyebut nama Mak Imah. Mak Imah melihat lambaian tangan anaknya. Teringat memori masa kecil mereka berdua. Kalah hanya untuk mereka yang tak mau berusaha. Ketika itu dia pun mencapai finis dengan keringat bercucucran. Irul yang melihatnya langsung berlari memeluk maknya.
“Makkkk, maafkan Irul. Maafkan anakmu yang durhaka ini,” tangisnya di tengah keramaian.
“Ini hadiah untuk cucu Mak.”
Mak Imah menunjuk sepeda warna biru, hadiah menang lomba.
Beberapa hari setelah itu, Irul menemui maknya dengan satu hadiah yang cantik. Tidak disangka setelah dibuka, sebuah terompah yang begitu indah terpancar berkilau. Mata perempuan tua berbinar bahagia. Sekarang dia memiliki terompah buatan suami dan anaknya.
“Rul, hari ini kuburkan Mak bersama terompah ini!”
Simthud ad-Duror, Kitab Maulid Nabi Bertabur Keindahan
Tulisan dalam kitab ini dirangkai dengan bahasa-bahasa pilihan dalam bentuk qasidah
SELENGKAPNYASiapakah Shahib Simthud ad-Duror?
Kitab Simthu ad-Duror ditulis oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi
SELENGKAPNYAHikmah di Balik Air Mata
Dua ilmuwan pernah melakukan penelitian disertasi tentang air mata.
SELENGKAPNYA