
Analisis
Calvo Pricing
Dalam literatur ekonomi moneter hal seperti ini lebih dikenal sebagai Calvo pricing model.
Oleh IMAN SUGEMA
OLEH IMAN SUGEMA
Pengalaman dalam hal subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah banyak menunjukkan tentang perlunya memformulasikan skema subsidi yang lebih inovatif. Skema yang berlaku saat ini merupakan warisan Orde Baru yang tidak pernah kita perbaharui. Skema ini sangat rawan menciptakan gejolak politik dan berpotensi mengganggu ketahanan fiskal.
Ketika harga minyak dunia naik, beban fiskal menjadi membengkak. Tentang angka berapa pembengkakan sesungguhnya yang terjadi, silakan Anda berdebat dengan pemerintah. Tetapi yang jelas hukumnya adalah bahwa subsidi akan membengkak sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia.
Harap diingat bahwa kita adalah negara pengimpor minyak sehingga peningkatan anggaran subsidi BBM akan dengan sendirinya menggerus ketahanan fiskal.
Ada dua isu fiskal yang perlu kita pikirkan secara matang ketika harga minyak dunia melonjak tajam. Pertama, bagaimana cara menutupi kekurangan anggaran apakah dari utang atau dari sumber penerimaan negara di bidang lainnya. Ini sangat situasional.
Bisa jadi, pada situasi di mana pemerintah juga mendapatkan rezeki nomplok dari kenaikan harga komoditas lainnya maka pemerintah secara sadar mau menanggung semua beban. Dalam situasi lainnya mungkin kita harus menutupnya dengan cara berutang.
Ini berarti kita mengalihkan beban sekarang menjadi beban di masa yang akan datang. Konsekuensinya, ketahanan fiskal dalam jangka menengah dan panjang menjadi tercederai.
Bisa jadi, pada situasi di mana pemerintah juga mendapatkan rezeki nomplok dari kenaikan harga komoditas lainnya maka pemerintah secara sadar mau menanggung semua beban.
Isu fiskal yang kedua lebih menyangkut aspek keadilan dan efisiensi anggaran. Pertanyaannya selalu menyangkut apakah tidak lebih baik uang subsidi yang dibakar itu dibelanjakan ke hal lain yang lebih adil dan efisien. Misalnya untuk bisa lebih banyak membantu perekonomian masyarakat termiskin.
Namun hal seperti ini tentunya sangat bergantung pada preferensi sosial dan politik. Nah di sinilah letak permasalahan yang paling rumit.
Ketika harga BBM bersubsidi dinaikkan, interferensi aspek keadilan dengan kepentingan politik menjadi lebih kental. Setiap orang memandang keadilan dari perspektif politik masing-masing. Pergolakan antar kepentingan politik menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.
Kalau sudah seperti ini, takaran untuk memutuskan kenaikan harga bukan lagi berada di ranah fiskal. Ukurannya hanya satu, yaitu apakah pemerintah punya nyali untuk menanggung beban politik. Kalau preferensinya sangat akomodatif maka aspek fiskal akan cenderung diabaikan.
Dari uraian di atas, tampaknya kita perlu merumuskan sebuah skema subsidi yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan politik dan kepentingan menjaga fiskal secara lebih sehat, adil, dan efisien. Secara politik, baik ketika harga BBM bersubsidi dinaikkan atau diturunkan maka tidak ada satu pihak pun yang bisa secara efektif menjadikannya sebagai komoditas politik.
Tampaknya kita perlu merumuskan skema subsidi yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan politik dan kepentingan menjaga fiskal secara lebih sehat, adil, dan efisien.
Maklum, ketika harga diturunkan maka partai pemerintah biasanya menerima suara tambahan dalam pemilu. Sebaliknya, ketika harga dinaikkan, maka giliran pihak oposisi yang mendapat simpati dari masyarakat. Itu hukum alam yang pernah kita lalui berkali-kali.
Untuk itu kita harus mendefinisikan skema subsidi yang membiasakan masyarakat bahwa fluktuasi harga BBM bersubsidi merupakan hal yang lumrah seperti yang terjadi pada komoditas lainnya. Artinya, naik turunnya harga harus dilakukan dalam frekuensi yang sangat sering.
Misalkan, penyesuaian harga dilakukan setiap minggu atau setiap bulan. Dengan cara ini setiap pihak tidak bisa melakukan klaim politik atas kenaikan atau penurunan harga. Kalau hari ini harga naik, maka seminggu kemudian bisa saja turun lagi. Klaim politik atas itu hanya menjadi isu mingguan yang cepat berganti arah.
Bisa jadi cara seperti ini akan mengekspos masyarakat terhadap gejolak harga. Namun hal ini bisa kita hindari dengan cara price smoothing yang umum dilakukan oleh para pelaku di industri manufaktur. Tentu hal ini membutuhkan keahlian dalam menentukan bobot tentang perubahan harga yang sudah terjadi dengan ekspektasi perubahan harga di masa yang akan datang.
Bisa jadi cara seperti ini akan mengekspos masyarakat terhadap gejolak harga.
Dalam literatur ekonomi moneter hal seperti ini lebih dikenal sebagai Calvo pricing model.
Ide dasarnya sih sederhana saja yaitu kekakuan harga sengaja dibentuk melalui bobot secara forward dan backward looking. Beberapa teman saya bilang itu terlalu rumit untuk diterapkan di tataran praktis karena melibatkan estimasi forward looking.
Memang cukup sulit, tetapi per hari ini hal tersebut sangat mungkin untuk dilakukan karena di bidang-bidang tertentu estimasi ekspektasi sudah merupakan pekerjaan yang rutin dilakukan.
Misalnya saja Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia sudah terbiasa dengan survei mengenai ekspektasi tingkat kepercayaan konsumen. Bahkan untuk data harga yang memiliki frekuensi harian, kita juga bisa memformulasikan ekspektasi dengan metoda ekonometrika deret waktu. Tinggal kita lakukan pembobotan saja antara dua jenis ekspektasi tersebut.
Lagi pula, teknologi komputasi sudah cukup mumpuni untuk selalu bisa melakukan revisi dan pengkinian ekspektasi. Kata guru saya, nothing is more practical than a theory.
Menggugat Daerah Pemilihan
Perludem mendapati banyak permasalahan dalam penyusunan dapil DPR dan DPRD.
SELENGKAPNYABoikot Bollywood dan Sentimen Agama
Problem di Bollywood sebetulnya bukan sentimen agama semata.
SELENGKAPNYAMenjaga Mood di Tengah Kemelut
Patut diwaspadai berapa lama respons emosi dan pikiran negatif muncul pada individu.
SELENGKAPNYA