
Opini
Masjid Kekuatan Pemersatu
Peran tokoh agama di negara Pancasila mestinya penting.
NASARUDDIN UMAR, Imam Besar Masjid Istiqlal
Kita sebagai warga bangsa harus bersyukur karena atas perkenan-Nya, tahun ini bisa menyelenggarakan upacara HUT Ke-77 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia lintas agama di Masjid Istiqlal. Ini pertama dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia.
Terasa sangat tepat pelaksanaan acara tersebut di halaman masjid yang diberi nama “Istiqlal”, yang berarti “kemerdekaan”. Kita juga patut bersyukur, Indonesia berhasil mengatasi Covid-19 yang kini melemah, inflasi terjaga masih di bawah lima persen.
Ketahanan pangan kita terkendali, bahkan swasembada beras tiga tahun terakhir, stabilitas keamanan terpelihara, masih bisa menjadi negara paling tinggi menyubsidi bahan bakar dan energi di atas Rp 500 triliun, pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini 5,44 persen.
Di samping itu, tentu masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi, seperti pertumbuhan ekonomi belum berbanding lurus dengan keadilan sosial. Monopoli dan oligopoli masih menjadi tantangan besar pada masa depan.
Di samping itu, tentu masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi, seperti pertumbuhan ekonomi belum berbanding lurus dengan keadilan sosial. Monopoli dan oligopoli masih menjadi tantangan besar pada masa depan.
Model pengembangan ekonomi spekulatif nonribawi masih perlu kerja serius pengelola bangsa dan dunia swasta, angka kriminalitas cukup tinggi, pengangguran masih cukup tinggi, dan masih banyak lagi PR yang harus diselesaikan bersama.
Di sisi lain, peran tokoh agama terbatas dilibatkan dalam urusan akibat di hilir, belum sepenuhnya dilibatkan dalam urusan sebab di hulu. Faktanya, tokoh agama lebih banyak diundang kementerian teknis seperti Kementerian Sosial untuk ikut menanggulangi masalah.
Namun, belum pernah atau jarang diundang kementerian strategis semisal Bappenas, yang merumuskan perencanaan pembangunan. Jangan sampai ada kesan tokoh agama hanya sebagai pemadam kebakaran atau pendorong mobil mogok.
Peran tokoh agama di negara Pancasila mestinya penting. Bahasa agama bisa jadi lebih efektif daripada bahasa birokrasi dalam menggaet partisipasi masyarakat. Tantangan ke depan beragam, di antaranya mengeliminasi politik identitas, terutama di Pemilu 2024.
Jangan sampai ada kesan tokoh agama hanya sebagai pemadam kebakaran atau pendorong mobil mogok.
Dalam agama Islam, menarik untuk dikaji, bukan hanya urusan politik praktis tidak banyak disinggung dalam Alquran, melainkan kata politik (al-siyasah) itu sendiri sama sekali tak pernah disebutkan dalam Alquran.
Ini isyarat, Islam membuka diri untuk memberikan pengakuan kepada berbagai pola suksesi di setiap masyarakat. Pola suksesi atau pergantian pemimpin sejak masa permulaan Islam, yakni pada masa Nabi dan sahabat sampai sekarang, tidak tunggal, tetapi beragam.
Alquran tak memberikan penjelasan dan arahan dalam bentuk sistem tata cara pemilihan, penentuan, dan penetapan pemimpin umat atau kepala pemerintahan. Nabi Muhammad SAW tak pernah memberi wasiat atau petunjuk soal proses pergantian kepemimpinan.
Yang ditemukan dalam Alquran dan hadis adalah etika politik bukan sistem politik. Demikian pula, di bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan lainnya. Pengenalan substansi ajaran agama yang lebih komprehensif perlu berbagai sarana.
Yang ditemukan dalam Alquran dan hadis adalah etika politik bukan sistem politik. Demikian pula, di bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan lainnya.
Upacara bersama tokoh lintas agama diharapkan memperkuat sinergi bangsa.
Agama dalam suatu negara tidak selamanya tampil sebagai faktor independen. Agama sering tampil sangat dependen terhadap negara dan bahkan agama terkadang menjadi alat legitimasi para penguasa, tentu demikian pula sebaliknya.
Persoalan lebih rumit jika persepsi "negara" yang dianut suatu bangsa (baca: penguasa) mengikuti pola Hegel (1776-1831), yang menganggap negara penjelmaan jiwa mutlak dan dalam upaya mencapai tujuannya, tidak peduli harus mengorbankan maslahat-maslahat pribadi.
Bagi Hegel, negara adalah tujuan, bukan cara. Pribadi, keluarga, dan masyarakatlah yang menjadi cara. Atas dasar ini, Hegel menyusun falsafah nasionalisme, bahwa loyalitas seseorang adalah untuk negara nasional yang tersusun di atas kondisi objektif suatu bangsa.
Rasa nasionalisme lebih kuat dari rasa cinta pada kemerdekaan. Nasionalisme mengadopsi apa yang disebut dengan inner werkende krafte, 'kekuatan dalam' yang bisa menggilas para penentangnya.
Rasa nasionalisme lebih kuat dari rasa cinta pada kemerdekaan. Nasionalisme mengadopsi apa yang disebut dengan inner werkende krafte, 'kekuatan dalam' yang bisa menggilas para penentangnya.
Pola dialektik Hegel lebih mengedepankan principle of negation, ketimbang principle of identity, yang mengedepankan titik temu di antara perbedaan. Jika nasionalisme semacam ini diterapkan negara, benturan antara negara dan agama-agama besar, khususnya yang berasal dari luar, tidak bisa dihindarkan.
Tantangan lain yang kita hadapi bersama bangsa ini ialah bagaimana mengajak warga kita masing-masing untuk memahami agamanya lebih dalam dan komprehensif. Makin dalam pemahaman keagamaan seseorang, diharapkan semakin moderat pula orang itu.
Moderat di sini dalam arti kemampuan mengartikulasikan ajaran agama sesuai kondisi objektif umatnya.
Saat Liga Arab Perjuangkan Kemerdekaan RI
Ada peranan diplomat Mesir dalam peristiwa bersejarah itu.
SELENGKAPNYAMerah Putih Pertama Berkibar di Cianjur?
Upacara pengibaran Merah-Putih disebut telah dilakukan di Cianjur pada 16 Agustus 1945.
SELENGKAPNYAJangan Lupa Soal Kebersamaan
Para pendiri bangsa ini telah memberikan teladan untuk bahu-membahu, saling membantu menghadapi tekanan penjajah.
SELENGKAPNYA