
Tokoh
Hoegeng, Jenderal Polisi yang Menyejukkan
Hoegeng berani menolak sogokan dan membongkar ketidakbenaran.
Nama Imam Santoso mungkin kurang familiar. Tapi, kalau menyebut nama Hoegeng saja, pasti ditujukan kepada mantan kapolri yang terkenal jujur, sederhana, disiplin, bersih, tak mempan sogokan.
Nama Hoegeng Imam Santoso pemberian ayahnya sejak lahir pada 1921. Waktu kecil perawakan dia bugel (gemuk) seperti ubi, lama-kelamaan dia dipanggil Bugeng, akhirnya berubah Hugeng. Tapi, setelah dewasa hingga akhir hayat tubuh Hoegeng tidak pernah gendut.
Kejujuran Hoegeng dalam keseharian maupun di lingkungan Polri tak diragukan lagi. Semua tercatat dalam buku yang diterbitkan Bentang Pustaka, Yogyakarta, Hoegeng (2009). Saat bertugas di Medan, Sumatra Utara (Sumut), banyak peristiwa mencengangkan dilakukan ayah tiga anak ini.
Dia mengeluarkan secara paksa perabotan di rumah dinasnya. Perabotan mahal-mahal itu ditaruh di pinggir jalan. Kelakuan itu bukan tanpa alasan. Barang-barang itu sebagai pelicin dari cukong agar bisnis ilegalnya berjalan mulus.
Hoegeng juga pernah marah-marah sambil melemparkan berbagai hadiah (parsel) ke luar jendela. Walaupun nilainya kecil, tetap saja itu sogokan, dan pasti ada maunya. "Peristiwa itu seperti baru terjadi kemarin sore dan hingga kini melegenda di Kepolisian RI, khususnya di Medan," kata Kuntarto yang menjadi kapolda Sumut tahun 1987-1988.
Hoegeng juga pernah marah-marah sambil melemparkan berbagai hadiah (parsel) ke luar jendela. Walaupun nilainya kecil, tetap saja itu sogokan, dan pasti ada maunya.
Kehadiran Hoegeng di Sumut untuk menumpas bisnis ilegal, penyelundupan, dan judi. Bisnis itu berjalan lancar karena saat itu ada backing dari oknum tentara dan oknum polisi.
Hoegeng kemudian merunut jejak praktik kongkalikong itu. Ia menemukan, ujung-ujungnya adalah 'Cina Medan'. Sedangkan oknum aparat tak lebih sebagai kacungnya. "Sebuah kenyataan yang amat memalukan," gumam Hoegeng dengan geram di halaman 50 buku karya Aris Santoso, Ery Sutrisno, Hasudungan Sirait, dan Imran Hasibuan, itu.
Di tangan pria kelahiran Pekalongan ini, para penjudi dan penyelundup tak bisa berkutik. Semua ditangkap, termasuk para backing diproses secara hukum.
Sukses di Sumut, Hoegeng mendapat tugas memberantas KKN di Jawatan Imigrasi, lalu menjadi menteri Iuran Negara. Dia pun berhasil menjalankan tugasnya. Lalu dikembalikan ke kepolisian sebagai kapolri menggantikan Soetjipto yang mundur. Hoegeng dilantik oleh Presiden Soeharto pada 15 Mei 1968.
Sebelumnya, Soeharto mengingatkan kepada Hoegeng agar polisi tidak memikirkan tugas angkatan lain yang memiliki fungsi tempur. Hendaknya polisi menjalankan tugas sesuai fungsinya, dan jangan ada lagi faksi di kalangan perwira yang membuat persaingan tidak sehat.

Hoegeng setuju. Namun, dia juga meminta agar angkatan lain pun tidak mencampuri urusan intern Kepolisian. Soeharto hanya diam. Bahkan hingga berhenti sebagai kapolri, Hoegeng tidak tahu bagaimana sikap Soeharto yang sebenarnya.
Selama menjadi kapolri, Hoegeng sangat disiplin. Sebelum jam tujuh pagi sudah datang di kantor. Dari rumah dinasnya di Menteng menuju Mabes Polri di Kebayoran Baru selalu ditempuh dengan rute berbeda. Cara ini dilakukan agar kapolri mengetahui kondisi lalu lintas, termasuk kesiagaan polisi lalu lintasnya.
Jika terjadi kemacetan di jalan, ia tak ragu turun dari kendaraannya mengatur lalu lintas. Hoegeng menjalankan dengan ikhlas, seraya memberi contoh kepada anak buahnya di lapangan.
Sebagai pucuk pimpinan Kepolisian, Hoegeng pun dekat dengan masyarakat. Baginya tidak perlu ada gardu penjaga di halaman rumah agar setiap orang tidak merasa takut atau enggan bertamu ke rumahnya. Dia menjadikan rumahnya sebagai 'rumah komando' yang terbuka 24 jam untuk urusan dinas kepolisian.
Selama ia menjabat sebagai kapolri ada dua kasus menggemparkan masyarakat. Pertama kasus Sum Kuning, yaitu pemerkosaan terhadap penjual telur, Sumarijem, yang diduga pelakunya anak-anak petinggi teras di Yogyakarta.
Ironisnya, korban perkosaan malah dipenjara oleh polisi dengan tuduhan memberi keterangan palsu. Lalu merembet dianggap terlibat 'kegiatan ilegal PKI'.
Sebagai pucuk pimpinan Kepolisian, Hoegeng pun dekat dengan masyarakat. Baginya tidak perlu ada gardu penjaga di halaman rumah agar setiap orang tidak merasa takut atau enggan bertamu ke rumahnya.
Nuansa rekayasa semakin terang ketika persidangan digelar secara tertutup. Wartawan yang menulis kasus Sum harus berurusan dengan Dandim 096 di Yogyakarta.
Hoegeng bertindak. "Kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak. Geraklah the sooner the better," tegas Hoegeng di halaman 95.
Kasus lainnya yang menghebohkan adalah penyelundupan mobil-mobil mewah bernilai miliaran rupiah oleh Robby Tjahjadi. Berkat jaminan 'seseorang', pengusaha ini hanya beberapa jam mendekam di tahanan Komdak. Sungguh berkuasanya si penjamin sampai Kejaksaan Jakarta Raya pun memetieskan kasus ini. Siapakah si penjamin itu?
Tapi, Hoegeng tak gentar. Di kasus penyelundupan mobil mewah berikutnya, Robby tak bisa berkutik. Pejabat yang terbukti menerima sogokan ditahan polisi. Rumor yang santer, gara-gara membongkar kasus ini pula yang menyebabkan Hoegeng dipensiunkan, 2 Oktober 1971 dari jabatan kapolri. Kasus ini ternyata melibatkan sejumlah pejabat dan perwira tinggi ABRI (halaman 118).
Bayangan banyak orang, memasuki masa pensiun orang pertama di kepolisian pasti menyenangkan. Tinggal menikmati rumah mewah berikut isinya, kendaraan siap pakai. Semua itu diperoleh dari sogokan para pengusaha.
Pria yang pernah dinobatkan sebagai The Man of the Year 1970 ini pensiun tanpa memiliki rumah, kendaraan, maupun barang mewah.
Ternyata masa menyenangkan itu tidak berlaku bagi Hoegeng yang anti disogok. Pria yang pernah dinobatkan sebagai The Man of the Year 1970 ini pensiun tanpa memiliki rumah, kendaraan, maupun barang mewah. Rumah dinas menjadi milik Hoegeng atas pemberian dari Kepolisian. Beberapa kapolda patungan membeli mobil Kingswood, yang kemudian menjadi satu-satunya mobil yang ia miliki.
Selanjutnya, kegiatan masa pensiun suami dari Merry ini menyanyi, mengisi acara musik hawai di TVRI, melukis, dan obrolan di radio. Dia pun tetap peduli dengan Kepolisian. Jika ada hal-hal yang menyimpang, ia akan mengirim memo atau melaporkan ke petinggi Polri.
Seperti pada tahun 1977, dia menerima laporan ada perwira polisi mempunyai rumah mewah di Kemang. Hoegeng gerah. Hasil penyelidikannya, ternyata terjadi korupsi mencapai Rp 6 miliar di bagian keuangan. Kasus ini melibatkan deputi kapolri, polisi bintang tiga, dan tiga perwira polisi.
Ruang gerak dan hak ayah tiga anak ini terbelenggu sejak bergabung dengan tokoh-tokoh Petisi 50. Dia tidak boleh menghadiri HUT kepolisian, undangan dari pejabat akan dicoret jika dihadiri oleh Soeharto. Namun, semua itu dijalani dengan sabar.
Kisah Hoegeng menjadi oase yang menyejukkan di tengah perilaku kolutif dan koruptif. Andaikan kepribadian Hoegeng bisa ditiru oleh banyak orang, betapa bahagianya menjadi rakyat Indonesia. Hoegeng meninggal dalam usia 82 tahun karena stroke.
Namanya tetap harum dan tak tergantikan. Sisa-sisa pemikiran Hoegeng yang berlaku hingga kini di antaranya membuat lambang Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) karena kemahirannya melukis.
Keinginannya memisahkan antara TNI dan Polri kini sudah terlaksana. Ia pula yang mengganti sebutan panglima Angkatan Kepolisian menjadi kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (kapolri), dan ia pula yang mencetuskan perlunya penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor.
Disadur dari Harian Republika edisi 07 Juni 2009
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Saat Indonesia Menggugat
Sebagai imbalan penyerahan kedaulatan, Belanda mendapat bayaran 4,5 miliar gulden dari Indonesia.
SELENGKAPNYAAda Harapan Ekonomi Indonesia di Zona Hijau
Banyak negara gagal menjaga fundamental ekonomi mereka.
SELENGKAPNYA