Ilustrasi gulungan ganja yang tengah ditakar di salah satu toko di New Jersey, Amerika Serikat, pada 2019 lalu. | AP

Nasional

Pakar Farmasi UGM tak Rekomendasikan Ganja untuk Medis

Yang dapat dilegalkan atau diatur merupakan senyawa turunan ganja.

YOGYAKARTA -- Polemik usulan wacana legalisasi ganja untuk tujuan medis menguat beberapa waktu terakhir. Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Zullies Ikawati, tidak setuju terhadap upaya-upaya legalisasi ganja meski dengan alasan untuk medis.

Sebab, ganja yang dipakai dalam bentuk belum murni seperti simplisia atau bagian utuh dari ganja masih mengandung senyawa utama tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif. Artinya, sangat bisa mempengaruhi kondisi psikis pengguna.

Kemudian, bagian utuh dari ganja menyebabkan ketergantungan dan berdampak kepada mental pengguna. Ia menekankan, ganja sebagai tanaman serta bagian-bagiannya itu mestinya tetap tidak bisa dilegalisasi untuk ditanam apalagi diperjualbelikan.

"Karena masuk dalam narkotika golongan satu," kata Zullies dalam webinar ‘Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis Fakultas Farmasi dan Kagama Farmasi UGM’, Jumat (8/7).

Ia menyampaikan, yang dapat dilegalkan atau diatur merupakan senyawa turunan ganja seperti cannabidiol yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif. Senyawa ini dapat digunakan sebagai obat dan bisa masuk narkotika golongan satu atau tiga.

Misalnya, penggunaan ganja medis dari obat-obatan golongan morfin. Morfin berasal dari tanaman opium yang jadi obat legal melalui resep dokter. Biasanya dipakai dalam pengobatan nyeri kanker yang sudah tidak merespon obat analgesic lainnya.

Meski begitu, morfin tetap masuk dalam narkotika golongan satu karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, demikian pula tanaman ganja. Sedangkan, senyawa ganja lain cannabidiol (CBD) yang memiliki efek anti kejang tidak bersifat psikoaktif.

Zullies menekankan, ganja medis bukan jadi obat satu-satunya yang bisa mengatasi kejang tubuh seseorang. Karenanya, ganja medis disarankan sebagai sebuah obat alternatif atau bukan obat utama bila obat lain sudah tidak berefek bagi pasien.

photo
Orang Tua dari Anak yang mengidap cerebral palsy Santi Warastuti (kiri) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Rapat tersebut mendengar aspirasi dari masyarakat terkait legalisasi ganja untuk medis.Prayogi/Republika. - (Prayogi/Republika.)

"Jadi, saya pribadi 'say no' untuk legalisasi ganja walau dengan alasan memiliki tujuan medis. Komponen ganja yang bersifat obat seperti cannabidiol bisa digunakan sebagai obat, namun jadi alternatif terakhir," ujar Zullies.

Proses legalisasi menjadi obat, lanjut Zullies, harus dilakukan mengikuti kaidah pengembangan obat. Legalisasi harus didukung dengan adanya data-data uji klinis terkait, dalam bentuk obat yang terukur dosisnya, serta didaftarkan ke BPOM.

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini berpendapat, ke depan perlu koordinasi semua pihak terkait untuk membuat regulasi pengembangan dan pemanfaatan obat berasal dari ganja. Seperti cannabidiol dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.

photo
Dokter menunjukkan botol berisi minyak ganja ntuk pengobatan yang dijual bebas di Thailand pada 2019 lalu. - (AP Photo/Sakchai Lalit)

"Lalu, riset-riset ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan dengan tetap membatasi akses guna menghindari penyalahgunaan," ujar Zullies.

Pakar Herbal UGM, Prof Suwijiyo Pramono menyampaikan pemaparan soal penelitian dan pengembangan tanaman ganja Indonesia. Ada tiga jenis spesies tanaman ganja yaitu Cannabis sativa L atau marijuana biasa tumbuh di daerah beriklim panas.

Kemudian, Cannabis indica Lam atau Hemp yang tumbuh di daerah empat musim. Terakhir Cannabis ruderalis Janisch yang tidak begitu banyak dijamah karena ketersediaannya terbatas. Ada perbedaan antara hemp dengan marijuana.

Dalam hemp mengandung THC lebih rendah dari marijuana. Kandungan THC dalam Hemp kurang dari 0,3 persen, sedangkan marijuana mengandung THC lebih dari 20 persen. Hemp mengandung CBD 20 persen lebih, sedangkan marijuana kurang dari 10 persen.

"Hemp merupakan ganja serat yang tidak mengakibatkan ketagihan. Sedangkan, marijuana masuk dalam ganja narkotik/rekreasi yang menyebabkan ketagihan," kata Suwijiyo. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

'Riset Ganja Medis Perlu Diberi Ruang'

Wacana terkait legalisasi ganja, khususnya untuk kepentingan medis, kembali digaungkan.

SELENGKAPNYA

BNN Tetap Tolak Ganja Meski untuk Medis

Penggunaan ganja medis saat ini masih memerlukan pengkajian yang mendalam.

SELENGKAPNYA

Kemenkes Fasilitasi Aturan Ganja untuk Medis

Posisi ganja yang masuk kategori narkotika golongan I dalam UU tersebut tak perlu diubah untuk keperluan riset.

SELENGKAPNYA