
Teraju
Tumpang Tindih di Indo-Pasifik
Stabilitas ekonomi dan keamanan di Indo-Pasifik memang saling terkait, sehingga terkesan tumpang tindih.
OLEH AGUNG P VAZZA
Amerika Serikat (AS) semakin agresif menorehkan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik. Washington agaknya paham betul sektor ekonomi merupakan kelemahan terbesar AS di kawasan, setelah diabaikan pemerintahan sebelumnya.
Berbarengan dengan itu, AS juga semakin menguatkan gagasan keamanan di kawasan. Keamanan dinilai perlu guna membantu terpenuhinya kebutuhan sektor-sektor ekonomi.
Pemerintahan Joe Biden, presiden AS, dalam berbagai forum kerap menunjukkan sektor ekonomi masih menjadi prioritas. Begitu pula dengan banyak negara di Asia dan Indo-Pasifik. Masalahnya, saat ini terjadi tumpang tindih antar beragam hubungan multilateral sehingga terkesan kusut. Dalam hubungan multilateral tersebut, negara-negara terlibat seringkali sama. Negara-negara itu bergabung dalam berbagai grup multilateral, dari terkait keamanan sampai ekonomi.
Dalam perspektif Asia, konsep stabilitas ekonomi dan pertahanan memang saling terkait, sehingga terkesan tumpang tindih. Sejumlah perisitiwa, dari pandemi sampai konflik Rusia dan Ukraina membuktikan itu. Pandemi dan konflik Rusia-Ukraina memperlihatkan bagaimana terganggunya jaringan pasokan global, mulai dari obat-obatan, minyak mentah, serta agrikultur, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi global.
"Saat yang sama, AS butuh menguatkan daya saingnya di Asia," ungkap Ali Wyne, analis senior di Global Macro, Eurasia Group, dikutip CNBC
Sementara, dalam upaya penguatan daya saing tersebut, AS harus menghadapi tantangan dari kuatnya pengaruh Cina di kawasan. Sampai saat ini, Cina masih menjadi mitra ekonomi terbesar bagi banyak negara di kawasan, dibanding AS.
Bahkan, termasuk juga negara anggota Quad (AS, India, Australia, Jepang), yang dimotori AS. Pengaruh AS di kawasan semakin memudar sejak beberapa tahun lalu, ketika pemerintahan Donald Trump menarik diri dari kesepakatan perdagangan di Asia.

Di era Trump, AS menarik diri Trans-Pacific Partnership (TPP) yang disebut-sebut bertujuan mengimbangi pengaruh Cina di Asia. Namun, karena menarik diri dari TPP juga tak terlibat dalam penggantinya Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), AS seperti kehilangan pengaruhnya di kawasan. Kini, pemerintahan Joe Biden berupaya keras menanamkan kembali pengaruh AS di kawasan melalui kerangka Indo-Pasifik, yang tidak melibatkan Cina.
Biden kini harus bekerja keras untuk mengembalikan pengaruh ekonomi AS di kawasan. Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah dengan meluncurkan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) beberapa pekan lalu. Pemerintahan Biden secara terbuka mengumumkan IPEF, yang mencakup 13 negara; AS, Australia, Jepang, Korea Selatan, India, Selandia Baru, dan tujuh negara anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN); Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapora, Vietnam, dan Thailand.
Pendekatan ekonomi di kawasan sesungguhnya merupakan gerakan kedua yang dimainkan AS. Gerakan pertama sudah lebih dulu dimainkan tahun lalu ketika AS bersama Australia dan Inggris, membentuk pakta keamanan trilateral AUKUS. Pakta yang dikenal sebagai AUKUS itu mencakup kawasan Indo-Pasifik.
Berdasar pakta ini, Australia untuk pertama kalinya mendapat kesempatan membangun kapal selam bertenaga nuklir, menggunakan teknologi yang disuplai AS dan Inggris. Pakta yang mencakup pula teknologi Artificial Intelligence, disebut-sebut menjadi kerja sama pertahanan terbesar bagi Australia. Meski tak secara eksplisit dikatakan, namun mudah dipahami gerakan ini tak lain bertujuan mengimbangi pengaruh maritim Cina di kawasan, terutama di Laut Cina Selatan.
Tertkait IPEF, Gedung Putih sudah menyatakan keberadaan IPEF bakal mengembalikan pengaruh ekonomi AS di Asia, tidak hanya bagi kepentingan AS tapi juga negara-negara di kawsan. Apalagi, investasi AS di kawasan mencapai sekitar 969 miliar dolar AS selama 2020. Ini jelas membuktikan AS merupakan kekuatan ekonomi utama di Indo-Pasifik.
Dengan kata lain, IPEF bakal menjadi andalan AS di untuk menghadapi kuatnya pengaruh Cina di kawasan, mulai dari isu perubahan iklim sampai perekonomian pasca pandemi.
AS memang belum secara rinci mengungkapkan cakupan IPEF. Namun secara umum, disebutkan IPEF mencoba menggariskan aturan main internasional terkait ekonomi digital, rantai pasokan, dekarbonisasi, dan regulasi pekerja.
Selain itu, dijelaskan juga IPEF mengusung pilar-pilar seperti ketahanan perdagangan, infrastruktur, energi bersih, perpajakan, dan anti-korupsi. Intinya, IPEF bakal menentukan standar dan aturan main, termasuk ekonomi digital dan jaringan pasokan di kawasan.
Keamanan dan Ekonomi
Hanya saja, upaya tersebut agaknya juga harus menghadapi tantangan yang muncul dari AS sendiri. IPEF bukanlah kesepakatan perdagangan bebas, dan tidak mencakup pula komponen sekuriti. Dan yang paling penting,
IPEF tidak memberikan akses pasar yang signifikan ke AS bagi negara-negara berkembang di Asia seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Ini berarti, IPEF hanya berupaya menyusun standar dan aturan main normal sejumlah sektor ekonomi, termasuk perdagangan. Tanpa akses pasar ke AS.
Kondisi seperti itu terjadi lantaran Biden sedang tersandera tekanan politik dalam negeri. Secara politis, Bideng sedang menghadapi tekanan-tekanan domestik untuk menghindari kesepakatan perdagangan bebas, termasuk kesepakatan perdagangan multilateral.
Dengan kata lain, AS kemungkinan besar tidak akan menandatangani kesepakatan perdagangan bebas apapun. Menandatangani kesepakatan perdagangan bebas berarti membuka akses pasar dalam negeri. Inilah yang rasanya cukup menyandera AS dalam menguatkan upayanya mengembalikan pengaruh ekonomi di Asia.
Setiap negara dalam IPEF bisa saja menandatangani sejumlah aturan main baru, tapi ini tak lebih hanya bertujuan menyesuaikan kebijakan perekonomian masing-masing. Pasalnya, negara-negara penandatangan tidak akan mendapat akses pasar ke AS.
Padahal, akses pasar ke suatu negara menjadi jantung dari kesepakatan perdagangan bebas. Situasi tersebut mengindikasikan Biden tersandera komitmennya untuk menempatkan pekerja AS sebagai pusat kebijakan ekonomi dan luar negeri.
Di sisi lain, sejumlah negara di Asia sudah pula memiliki kesepakatan perdagangan bebas alias keterbukaan akses pasar. Salah satunya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), antara sepuluh negara Asia Tenggara, Selandia Baru, Australia, Cina, Korea Selatan, dan Jepang.
Kehadiran IPEF sangat mungkin mengurangi peran kunci RCEP, namun AS tetap harus bekerja keras untuk menanamkan kembali pengaruhnya di kawasan. Pasalnya, muncul sebuah kondisi yang sulit pula dibantah.
Dalam konteks tersebut, upaya AS menanamkan pengaruhnya di kawasan melalui IPEF sebagai platform ekonomi kemungkinan besar akan dibarengi dengan AUKUS, sebagai platform sekuriti bagi negara-negara di kawasan.
Keberadaan RCEP dan Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), bentuk baru TPP setelah ditinggalkan AS, cukup mencerminkan bagaimana globalisasi dan multilateral di Asia terus bergulir. Maka, dapat dikatakan, akan menjadi lebih sulit bagi AS untuk memicu deglobalisasi di kawasan.
Gejala ini bahkan sudah terlihat sejak AS memulai perang dagang dengan Cina beberapa tahun lalu. Sampai saat ini, banyak negara di kawasan, menolak untuk berpihak pada salah satunya. Presiden Indonesia Joko Widodo, yang memegang presidensi G20 tahun ini, bahkan tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menghadiri pertemuan puncak G20 November mendatang di Indonesia. Presiden Joko Widodo juga mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Dalam konteks tersebut, upaya AS menanamkan pengaruhnya di kawasan melalui IPEF sebagai platform ekonomi kemungkinan besar akan dibarengi dengan AUKUS, sebagai platform sekuriti bagi negara-negara di kawasan. Rivalitas dua negara raksasa ekonomi itu boleh jadi belum akan mereda.
Dalam persaingan merebut pengaruh di Asia, AS dan Cina mendorong negara-negara di Asia untuk menerima standard, aturan main, bahkan norma-norma yang diinginkan. Keduanya juga mencoba mengeratkan hubungan dengan negara-negara Asia dengan tujuan menghentikan kerja sama keamanan maupun ekonomi dengan salah satunya. Konon, penggunaan istilah Indo-Pasifik versi AS bertujuan mengganti sebutan Asia Pasifik sehingga tak melibatkan Cina.
Strategi Indo-Pasifik AS dengan mengusung isu keamanan (sekuriti) melalui AUKUS dan isu ekonomi melalui IPEF diperkirakan menghadapi situasi yang rumit. AS seperti sedang mempersenjatai isu-isu ekonomi dengan tujuan merebut keberpihakan negara di kawasan.
Sementara, meski tak dilibatkan dalam IPEF, Cina cenderung memainkan prinsip-prinsip 'tanpa syarat' bagi negara-negara di kawasan dalam setiap kerjasama ekonomi. Stabilitas keamanan dan ekonomi di kawasan jelas saling melengkapi, dan karenanya prinsip keterbukaan dan kerja sama, lebih penting dihadirkan ketimbang konfrontasi. Kehadiran IPEF tak seharusnya mengganggu apalagi merusak arsitektur kerjasama regional yang sudah efektif.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Penguatan Mitigasi Bencana
Penanggulangan bencana harus dikelola dengan baik karena mendorong keberhasilan tanggap darurat.
SELENGKAPNYAMerunut Sejarah Ide Nasionalisme Bung Karno
Sikap dan semangat juang tinggi Sukarno itu dilatarbelakangi oleh sosok Tjokroaminoto dan kota kelahirannya Surabaya.
SELENGKAPNYAWHO Siap Kaji Status Cacar Monyet
Vaksin untuk cacar biasa diperkirakan efektif 85 persen terhadap cacar monyet.
SELENGKAPNYA