Pengendara motor antre untuk mengisi bahan bakar di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Malang, Jawa Timur, Rabu (11/5/2022). | ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Tajuk

Beleid BBM untuk Rakyat

Pemerintah kini berada di persimpangan. Apakah mau menaikkan harga BBM jenis pertalite dan solar bersubsidi?

Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Ma’ruf Amin semakin kencang memberi sinyal pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Dalam dua pekan terakhir, Dewan Energi Nasional dan Badan Pengatur Hilir Migas tercatat, memberi pernyataan yang sama tentang hal itu.

Bahwa saat ini sedang tahap penyusunan beleid pembatasan pembelian BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar bersubsidi. Kapan peraturan itu bakal rampung? Kedua lembaga memberi kode, kemungkinan pembahasan selama tiga bulan.

Argumen pemerintah jelas. Kita pun sudah tahu garis besarnya. BBM di Indonesia ada dua jenis. BBM yang tidak disubsidi dan BBM yang disubsidi pemerintah. Subsidinya pun cukup besar. Mencapai puluhan hingga ratusan triliun di APBN. Persoalan klasiknya adalah: BBM bersubsidi dikonsumsi oleh orang orang yang tidak berhak. Gas LPG ukuran 3 kilogram misalnya. Gas yang kerap disapa gas melon ini sejatinya diperuntukkan rakyat miskin.

Namun, kita melihat warga memilih untuk membeli LPG melon ketimbang LPG ukuran 8 kilogram dan 12 kilogram yang harganya sudah dilepas ke harga pasar.

BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar bersubsidi pun demikian. Perang Rusia-Ukraina mengerek harga minyak ke ratusan dolar AS per barel. Pemerintah karena tidak memperkirakan adanya perang, mematok harga minyak dunia di APBN di bawah 100 dolar AS per barel.

Begitu harga minyak naik maka BBM merek Pertamax pun menyesuaikan, begitu juga Solar Dex yang tak disubsidi. Ini membuka celah peralihan konsumsi ke pertalite dan solar bersubsidi, yang selisih harganya nyaris dua kali lipat. Pertamina tekor, karena menjual BBM di bawah harga pembeliannya. Pemerintah yang menalangi uang pembelian Pertamina pun pusing. Tekor juga!

 
Pemerintah kini berada di persimpangan. Apakah mau menaikkan harga BBM jenis pertalite dan solar bersubsidi? 
 
 

Pemerintah kini berada di persimpangan. Apakah mau menaikkan harga BBM jenis pertalite dan solar bersubsidi? Tapi ini pun terbentur persoalan lain. Pemulihan ekonomi di tengah pagebluk Covid-19. Menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah roda perekonomian baru agak kencang punya efek dahsyat. Akan terjadi koreksi daya beli lagi.

Menaikkan harga BBM bersubsidi berdampak ke seluruh sektor produksi dan konsumsi. Juga memengaruhi lapangan pekerjaan. Beranikah pemerintah mengambil risiko tersebut? Apakah pemerintah sudah berhitung sejauh mana kekuatan kelompok menengah dan kelompok bawah menghadapi dampak kenaikan itu? Apakah efek pelemahan ekonomi itu bisa ditebus lewat penghematan APBN dari pos subsidi BBM?

Masalah lain yang muncul adalah teknis pembatasan. Amat tidak mudah mencari solusi yang pas untuk membatasi publik, yang berhak menikmati BBM bersubsidi. Kita ingat, rencana pemerintah membatasi konsumsi LPG melon untuk rakyat miskin pun sudah bertahun-tahun tidak ada keberanian menerapkan.

Apalagi, ini ditambah ingin mengontrol pembelian pertalite dan solar bersubsidi. Kabar terakhir terdengar pemerintah ingin mencoba pembelian BBM bersubsidi menggunakan aplikasi di ponsel. Bisakah pemerintah menemukan solusi jitu? Dari rekam jejak pembatasan konsumsi, selalu berakhir dengan kontroversi dan celah-celah yang dimanfaatkan oleh publik.

 
Kalau begitu, apa kabar rakyat negara ini? Paling mentok, seperti yang disampaikan Presiden Jokowi pekan lalu, rakyat agar kencangkan ikat pinggang.
 
 

Akan muncul pula argumen lama, soal kedaulatan manajemen BBM bersubsidi negara ini. Mengapa harga BBM di Indonesia kurang kompetitif dibandingkan negara lain di ASEAN, misalnya. Satu hal karena pemerintah tidak pernah serius membangun kilang pengolahan sendiri.

Akibatnya, Indonesia harus membeli BBM di Singapura, yang padahal bahan bakunya berasal dari Indonesia sendiri. Persoalan investasi kilang BBM ini sudah amat berlarut-larut, tidak bisa dituntaskan sejak presiden Megawati Soekarnoputri, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Presiden Jokowi karena sudah bercampung dengan geopolitik Asia Tenggara, kepentingan bisnis kelompok tertentu, dan renten perdagangan yang menggurita. Terasa sekali negara ini tidak dibiarkan untuk memiliki kilang pengolahan sendiri.

Kalau begitu, apa kabar rakyat negara ini? Paling mentok, seperti yang disampaikan Presiden Jokowi pekan lalu, rakyat agar kencangkan ikat pinggang. Ini tentu saja paradoks. Rakyat di bawah ikat pinggangnya sudah teramat kencang, tapi kelompok yang menguasai perekonomian negeri ini, ikat pinggangnya makin longgar karena perutnya kian buncit. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Cara Hebat Meminta Maaf

Mudah meminta maaf dan mudah memberi maaf.

SELENGKAPNYA

Khansa binti Khadzdzam, Saksi Islam Muliakan Kaum Hawa

Khansa jadi saksi hidup betapa ajaran Islam yang disebarkan Nabi Muhammad SAW sangat memuliakan perempuan.

SELENGKAPNYA

Dangdut Lahir dari Imigran Hadramaut

Gambus makin dikenal dan digemari ketika pada awal 1950-an RRI membuat siaran tetap orkes gambus.

SELENGKAPNYA