Sejumlah warga mengikuti tradisi Ngagubyag Balong atau menangkap ikan di Desa Utama, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Ahad (27/3/2022). | ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Opini

Kongres Kebudayaan Desa

Dibutuhkan kearifan lokal agar budaya data hidup dan selaras dengan budaya desa.

A HALIM ISKANDAR; Menteri Desa PDT dan Transmigrasi

Desa sejatinya lokus yang membudaya. Warga bukan sekadar tinggal di dalamnya, melainkan sekaligus menghidupinya dengan mencipta makna-makna kegiatan sehari-hari. Keterlekatan budaya desa lebih terasa manakala seorang warga menapaki wilayah lain, apalagi menjamah kota.

Baginya terasa lain ladang, lain ilalang. Rasa lokal yang terkristal menjadi peribahasa ini, tidak hanya terasa kala berpijak di atas lokus spasial berbeda, tetapi juga mengemuka kala berkomunikasi dengan arena lain yang lebih abstrak.

Pembangunan, korporasi raksasa, perubahan iklim mondial, algoritma media sosial, menjadi beberapa contoh arena yang teguh dalam mode berkomunikasi dengan budaya desa.

Bahasan yang pelik dan berkelindan lintas desa, sekabupaten, se-Indonesia, hingga komunikasi desa dengan dunia global ini membutuhkan wahana kebudayaan. Wahana tempat ide, refleksi, hingga aksi budaya membahana sebagai diskursus publik.

 
Waktu yang panjang untuk kegiatan riset desa, menggali kembali pengetahuan lokal, bermusyawarah, serta merumuskan aksi berbudaya. 
 
 

Di sinilah Kongres Kebudayaan Desa II tegak di atas titik relevansi. Dimulai 26 Maret 2022 di seantero nusantara, termasuk musyawarah antarseluruh desa pada Agustus 2022, hingga puncak kongres nanti pada Oktober 2022.

Waktu yang panjang untuk kegiatan riset desa, menggali kembali pengetahuan lokal, bermusyawarah, serta merumuskan aksi berbudaya. Namun, jelas ini masih periode yang sangat pendek untuk meringkas pengalaman 74.960 desa sejak kelahiran masing-masing.

Syukurlah, Kongres Kebudayaan Desa I pada 2020  merumuskan langkah mewujudkan kedaulatan desa kontemporer. Hendaknya, dimulai dari daulat desa atas pengetahuan lokal dan kompilasi data mandiri kemudian, merengkuh kedaulatan ekonomi, diikuti kedaulatan politik.

Budaya desa dinamis

Kongres Kebudayaan Desa I diselenggarakan secara mandiri oleh kepala desa, perangkat desa, pegiat desa, termasuk akademisi, wartawan, bahkan LSM. Karena, basisnya dilekatkan pada asas subsidiaritas sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

 
Sementara itu, penduduk desa mencapai 43 persen warga negara Indonesia sehingga pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan mereka pasti meningkatkan derajat kesehatan nasional hingga 43 persen.
 
 

Ini asas perundangan yang mendasari desa merumuskan kewenangannya secara mandiri. Semangat kongres kebudayaan desa, senapas dengan SDGs Desa yang digagas Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, menunjukkan posisi pada diskursus yang sama.

SDGs Desa bukan program, melainkan arah kebijakan pembangunan desa yang dikerjakan siapa pun, yang memiliki mimpi kebangkitan, kemajuan, sekaligus kemandirian desa. Ini strategis, karena memadati 74 persen pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan.

Sebab, 91 persen wilayah pemerintahan Indonesia berwujud desa, sehingga membangun desa pasti memajukan 91 wilayah wilayah memenuhi kebutuhan energi, mengembangkan ekonomi wilayah, infrastruktur, lingkungan, hingga kelembagaan sosial.

Sementara itu, penduduk desa mencapai 43 persen warga negara Indonesia sehingga pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan mereka pasti meningkatkan derajat kesehatan nasional hingga 43 persen.

SDGs Desa secara berurutan meliputi tujuan desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat dan sejahtera, pendidikan desa berkualitas, keterlibatan perempuan desa, desa layak air bersih dan sanitasi.

Berikutnya, desa berenergi bersih dan terbarukan, pertumbuhan ekonomi desa merata, infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan, desa tanpa kesenjangan, kawasan permukiman desa aman dan nyaman, konsumsi dan produksi desa sadar lingkungan.

 
SDGs Desa menyoroti kapasitas budaya untuk adaptif terhadap sudut pandang baru, memberanikan warga berhadapan dengan entitas asing, serta membuka pintu dialog terhadap sudut pandang berbeda.
 
 

Tujuan selanjutnya, desa tanggap perubahan iklim, desa peduli lingkungan laut, desa peduli lingkungan darat, desa damai berkeadilan, kemitraan untuk pembangunan desa, kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.

Menambah inovasi dari SDGs yang dirumuskan PBB pada 2016, SDGs Desa sejak 2020 juga mencakup tujuan budaya desa adaptif. Budaya memberikan rasa tenteram, rasa di rumah, rasa nyaman ketika berpikir dan melakukan tindakan.

SDGs Desa menyoroti kapasitas budaya untuk adaptif terhadap sudut pandang baru, memberanikan warga berhadapan dengan entitas asing, serta membuka pintu dialog terhadap sudut pandang berbeda. Ini juga membuka kesadaran akan data dan informasi terbaru.

Tujuan SDGs Desa ke-18 ini memastikan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati, selaras perkembangan zaman dan peradaban. Desa memajukan kebudayaan dengan menjamin kebebasan masyarakat memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Demikian pula, desa memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya bangsa. Bahkan, Badan Usaha Milik Desa  menjaga kebudayaan melalui meningkatnya pendapatan warga, membuka sebagian ritual kepada turis, memasarkan makanan dan minuman tradisional.

 
Adagium “data oleh desa” dipraktikkan 1.622.861 relawan pendataan desa dengan mengumpulkan informasi tetangganya, kondisi rukun tetangga, dan desa.
 
 

Dari pengetahuan dan data

Pascamodernisme meningkatkan pengakuan berbagai pengetahuan lokal di hadapan ilmu pengetahuan formal. Karena itu, sejak tahun ini, Kementerian Desa, PDTT menyediakan loker desa sebagai wahana penyimpanan elektronik.

Di dalamnya, bisa disimpan seluruh dokumen desa, yang disetel agar tidak bisa dihapus. Tulisan sejarah desa, foto-foto bersejarah, hingga lembar-lembar administrasi tersimpan di dalamnya.

Ketika Kongres Kebudayaan Desa 2020, mendeklarasikan kedaulatan data sebagai sumber kekuasaan baru di tengah warga desa,  penguasaan warga atas data menjadi energi demokrasi terbaru.

Kementerian Desa, PDTT mulai menjalankannya, kala langkah pencapaian tujuan SDGs Desa dimulai Maret 2021, sensus partisipatoris berlangsung serentak untuk menggali informasi wilayah desa, rukun tetangga, kondisi keluarga, dan kondisi warga desa.

Adagium “data oleh desa” dipraktikkan 1.622.861 relawan pendataan desa dengan mengumpulkan informasi tetangganya, kondisi rukun tetangga, dan desa.

 
Dengan data ini, aksi komunikasi antarwarga berbasis kekuasaan, siap berubah menjadi dialog berbasis data masalah, potensi, dan kebutuhan.
 
 

Adagium “data dari desa” terwujud dengan terkompilasinya informasi 87.419.870 data warga, 24.179.851 data keluarga, 314.417 data kondisi rukun tetangga, dan 59.074 data kondisi desa.

Mulai 2022, algoritma yang disusun Kementerian Desa, PDTT mengejawantahkan kelengkapan adagium demokrasi data desa, yaitu “data untuk desa”.

Sistem informasi SDGs Desa otomatis menyediakan olahan data hingga terbaca nilai SDGs Desa, capaian masing-masing 18 tujuan SDGs Desa, hingga capaian perincian sasaran dari setiap tujuan pembangunan desa.

Sebagai wujud kedaulatan data desa, hanya admin desa, yaitu kepala desa dan sekretaris desa, yang berhak mengunduh daftar warga yang perlu mendapatkan dukungan pemberdayaan, juga daftar rukun tetangga prioritas pembangunan.

Alhasil, dialog dan adu argumen dalam cangkrukan di warung-warung kopi di desa, musyawarah dusun dan desa, hingga perumusan pembangunan desa level kabupaten/kota, provinsi, dan nasional kini terarah pada data dan olahan informasi SDGs Desa, yaitu data kreasi desa sendiri.

Inilah sumber klaim kebenaran rasional; bukan klaim berbasis kuasa ataupun emosi belaka. Dengan data ini, aksi komunikasi antarwarga berbasis kekuasaan, siap berubah menjadi dialog berbasis data masalah, potensi, dan kebutuhan.

Namun, perlu dicermati, jika lepas dari akar budaya, budaya data mudah jatuh ke jurang teknoratisme. Di kedalaman ini, SDGs Desa bisa berbalik menjadi mesin pengarah desa yang dingin. Maka itu, dibutuhkan kearifan lokal agar budaya data hidup dan selaras dengan budaya desa.

Kepala desa, sesepuh adat, tokoh masyarakat harus kreatif memaknai data sebagai informasi kepentingan warga, memaknai kegiatan  pembangunan berkesesuaian dengan ritual setempat hingga menambahkan informasi baru SDGs Desa ke dalam tradisi setempat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Patuh Prokes Selama Ramadhan

Jamaah diminta menghindari kegiatan berkumpul di masjid terlalu lama.

SELENGKAPNYA

Republika Raih Empat Penghargaan SPS Award 2022

Tiga penghargaan dari kategori IPMA dan satu penghargaan lain kategori IYRA.

SELENGKAPNYA