Pengunjuk rasa melakukan demonstrasi menentang serangan Rusia ke Ukraina di Istanbul, Turki, Senin (7/3/2022). | AP/Francisco Seco

Internasional

Ukraina Berharap Capai Kesepakatan Gencatan Senjata

Rusia tak mempertimbangkan gunakan senjata nuklir dalam operasi militer di Ukraina.

ISTANBUL -- Delegasi Ukraina menyatakan harapan bahwa perundingan dengan Rusia dapat tercapai kesepakatan untuk gencatan senjata. "Program minimum adalah pertanyaan kemanusiaan dan program maksimum adalah mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata," kata Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba di televisi nasional.

"Kami tidak memperdagangkan orang, tanah, atau kedaulatan," katanya. Juru runding Rusia dan Ukraina bertemu di Istanbul, Turki untuk melanjutkan perundingan damai pada Selasa (29/3) waktu setempat.

Presiden Turki Tayyip Erdogan menyambut para delegasi dari kedua pihak di istana Istanbul. Dia pun menyatakan bahwa "menghentikan tragedi ini" tergantung dari dua belah pihak. Akan tetapi, televisi Ukraina melaporkan bahwa pembicaraan dimulai dengan "sambutan yang dingin" dan tidak ada jabat tangan.

Sebelumnya, menteri luar negeri kedua negara sempat bertemu di sela-sela forum diplomatik di Antalya yang digelar awal bulan ini. "Mereka (pembicaraan antara delegasi) akan diadakan di kantor kepresidenan Dolmabahce. Pertemuan akan diadakan secara tertutup," kata kantor kepresidenan Turki dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Sementara itu, menurut seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, Presiden Rusia Vladimir Putin tampaknya tidak siap berkompromi untuk mengakhiri perang. Begitupun penasihat kementerian dalam negeri Ukraina Vadym Denysenko yang meragukan akan ada terobosan terkait isu-isu utama.

photo
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melakukan pertemuan di Istanbul, 2019 lalu. - (Kantor Kepresidenan Turki)

Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, pembicaraan sejauh ini belum menghasilkan terobosan substansial tetapi penting untuk dilanjutkan secara langsung. Dia menolak memberikan informasi lebih lanjut karena hal itu dapat mengganggu proses.

Peskov juga mengungkapkan, Rusia tidak mempertimbangkan menggunakan senjata nuklir dalam operasi militernya di Ukraina. Rusia baru akan menggunakan senjata tersebut jika eksistensinya memang terancam.

Dalam sebuah wawancara dalam dengan PBS, Peskov diminta mengklarifikasi komentar dari mantan presiden yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev. Medvedev telah membuat daftar skenario yang menyebut Rusia berhak menggunakan senjata nuklir jika menghadapi ancaman eksistensial.

Peskov tidak menyangkal pernyataan Medvedev. "Kami memiliki konsep keamanan yang sangat jelas menyatakan bahwa hanya ketika ada ancaman bagi eksistensi negara di negara kami, kami dapat menggunakan dan kami akan benar-benar menggunakan senjata nuklir untuk melenyapkan ancaman atau eksistensi negara kami," ucapnya, Senin.

Kendati demikian, Peskov meminta agar dua hal itu dipisahkan. "Maksud saya, eksistensi negara dan operasi militer khusus di Ukraina, mereka tidak ada hubungannya satu sama lain," ujarnya.

Dalam wawancara dengan PBS, Peskov pun sempat ditanya perihal komentar Putin yang menyebut, Rusia akan beralih ke senjata nuklir jika pihak ketiga terlibat dalam konflik di Ukraina. "Tidak, saya rasa tidak. Tapi dia (Putin) cukup berani mengatakan itu, jangan ikut campur," jawab Peskov.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan, setiap kesepakatan damai dengan Rusia tidak boleh "menjual" Ukraina. Kesepakatan pun harus mencakup ketentuan tentang penerapan sanksi secara otomatis jika Moskow kembali bertindak agresif.

"Putin baru saja kembali untuk meminta lebih. Itulah mengapa kita tidak bisa membiarkan dia menang dari agresi yang mengerikan ini. (Sebaliknya), kita perlu memastikan bahwa setiap pembicaraan pada masa mendatang tidak berakhir dengan menjual Ukraina," kata Truss saat berbicara di parlemen Inggris, Senin (28/3).

photo
Warga mengungsi di stasiun kereta api yang difungsikan sebagai tempat berlindung dari pemboman oleh militer Rusia di Kharkiv, Ukraina, Senin (28/3/2022). - (EPA-EFE/ROMAN PILIPEY)

Dia berpendapat, kesepakatan jangka panjang apa pun dengan Rusia memerlukan ketentuan sanksi otomatis jika negara tersebut kembali melakukan agresi. "Kita perlu memastikan bahwa Putin tidak akan pernah bisa bertindak agresif lagi," ujarnya.

Turki merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Kendati demikian, mereka menjadi salah satu negara yang aktif melakukan mediasi antara Rusia dan Ukraina.

Putaran pertama pembicaraan antara delegasi Rusia dan Ukraina digelar di wilayah Gomel, Belarusia, pada 28 Februari lalu. Pembicaraan tersebut berlangsung selama lima jam. Kala itu, Moskow dan Kiev tak berhasil menyepakati gencatan senjata.

Delegasi kedua negara menggelar pembicaraan lanjutan di Belovezhskaya Pushcha, Belarusia, pada 3 Maret lalu. Hingga pembicaraan putaran ketiga yang digelar di Brest, Belarusia, pada 7 Maret lalu, Rusia dan Ukraina belum berhasil menyepakati gencatan senjata. Setelah negosiasi tiga putaran, pembicaraan selanjutnya digelar secara daring atau virtual.

Pada 10 Maret lalu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov bertemu Menlu Ukraina Dmitry Kuleba di forum diplomatik Antalya di Turki. Itu merupakan pertemuan perdana kedua menlu sejak Rusia melancarkan serangan ke Ukraina pada 24 Februari.

Sebelum bertemu Lavrov di Antalya, Kuleba telah meredam ekspektasi tentang keberhasilan menyepakati kesepakatan gencatan senjata. Menurut Kuleba, prospek tersebut "terbatas" karena Moskow masih terus melakukan serangan dan pemboman ke Ukraina.

Pemerintah Rusia sebenarnya telah menyatakan siap melakukan pembicaraan dengan Ukraina. Akan tetapi mereka menghendaki semua tuntutannya, termasuk soal Ukraina mengambil posisi netral dan membatalkan aspirasinya bergabung dengan NATO, dipenuhi. Jika Kiev setuju memenuhi tuntutan tersebut, Moskow akan menghentikan agresinya.

Ekspresi kemarahan

Presiden Amerika Serikat Joe Biden menegaskan tidak pernah sama sekali mengumumkan perubahan kebijakan Negeri Paman Sam terkait ucapan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tidak boleh dibiarkan berkuasa lagi. Mengenai komentarnya, Biden mengakui hanya mengekspresikan kemarahan moralnya.

Komentar Biden soal Putin disampaikan saat presiden AS mengunjungi Warsawa, Polandia akhir pekan lalu. Biden menghadapi tekanan untuk berbicara tentang komentar itu setelah menimbulkan banjir pertanyaan apakah AS telah mengubah kebijakan yang mencari perubahan rezim di Moskow.

Akan tetapi, Biden menegaskan tidak berupaya menarik ucapannya mengenai Putin tersebut. "Saya saat itu atau sekarang tidak sedang mengartikulasikan perubahan kebijakan. Saya mengungkapkan kemarahan moral yang saya rasakan, dan saya tidak meminta maaf," katanya kepada wartawan di Gedung Putih, Senin waktu setempat.

Biden mengatakan, komentar di Warsawa muncul atas dorongan emosional karena melihat keluarga terlantar akibat invasi Rusia ke Ukraina. Pada akhir pidatonya di Warsawa, Biden menambahkan kalimat tanpa naskah.

Dia mengatakan, bahwa Putin tidak dapat tetap berkuasa. Pejabat pemerintah bergegas untuk mengklarifikasi setelah itu bahwa Gedung Putih tidak mengadvokasi perubahan rezim di Rusia.

Kendati begitu, Biden tatap menyarankan agar Putin tidak memimpin Rusia. "Jika Putin melanjutkan jalurnya, dia akan menjadi pariah di dunia dan siapa yang tahu akan menjadi apa dia di rumah dalam hal dukungan," kata Biden.

Peran Roman Abramovich

Miliarder asal Rusia Roman Abramovich ikut menghadiri pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina di Istanbul pada Selasa (29/3). Menurut Istana Kremlin, sosoknya merupakan penyambung antara kedua negara yang melakukan pembicaraan.

"Untuk melakukan kontak antara kedua belah pihak, Anda perlu mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak, dan dalam kasus Abramovich, persetujuan ini ada dari kedua belah pihak," ujar juru bicara Istana Kremlin Dmitry Peskov.

Istana Kremlin mengatakan, Abramovich memang bukan anggota resmi tim Rusia yang berunding dengan Ukraina. Hanya saja dia hadir dalam pembicaraan untuk memungkinkan kontak tertentu antara kedua belah pihak.

"Dia bukan anggota resmi delegasi ... tetapi dia juga hadir hari ini di Istanbul dari pihak kami," kata Peskov dan menegaskan akan menjadi jelas jika pembicaraan damai itu menjanjikan usai pembicaraan dilakukan.

Abramovich mendapat sanksi dari Barat atas invasi Moskow ke Kiev karena hubungannya dengan Presiden Vladimir Putin. "Roman Abramovich terlibat dalam memungkinkan kontak tertentu antara pihak Rusia dan Ukraina," kata Peskov.

Menurut Istana Kremlin, Abramovich juga memainkan peran awal dalam pembicaraan damai. Rusia pun menolak laporan bahwa dia telah diracuni dan menegaskan berita tersebut tidak benar serta bagian dari perang informasi.

Menurut Wall Street Journal dan Bellingcat, mengutip orang-orang yang mengetahui masalah ini, Abramovich dan negosiator perdamaian Ukraina menderita gejala dugaan keracunan awal bulan ini setelah pertemuan di Kiev. Pejabat Ukraina juga telah menyanggah laporan tersebut.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Patuh Prokes Selama Ramadhan

Jamaah diminta menghindari kegiatan berkumpul di masjid terlalu lama.

SELENGKAPNYA

Republika Raih Empat Penghargaan SPS Award 2022

Tiga penghargaan dari kategori IPMA dan satu penghargaan lain kategori IYRA.

SELENGKAPNYA

Perang Rusia-Ukraina, Anda Pro Siapa?

Pemihakan Anda dan saya tak berpengaruh pada jalannya perang Rusia-Ukraina..

SELENGKAPNYA