
Opini
Produk Impor
Membangun kecintaan pada produk domestik tak efektif jika lewat kebijakan instan tanpa internalisasi makna mendalam.
BAGONG SUYATNO, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
Batas kesabaran Presiden Joko Widodo tampaknya sudah nyaris habis. Dalam acara ‘Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia’, di Bali, Jumat (25/3), Presiden mengutarakan kegundahan sekaligus kejengkelannya tentang kebiasaan belanja produk impor oleh kementerian/lembaga ataupun pemda.
Terlebih, barang-barang itu sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri. Beberapa barang yang diimpor, menurut Presiden, di antaranya seragam dan sepatu tentara/polisi, CCTV, tempat tidur untuk rumah sakit, dan traktor pertanian.
Presiden dalam kesempatan sama mengancam me-reshuffle menteri bila masih mengimpor untuk pengadaan barang dan jasa di kementerian mereka.
Di Indonesia, kebiasaan berbelanja barang impor sebetulnya bukan hal baru. Tidak hanya di kalangan aparatur birokrasi, tetapi juga masyarakat secara umum. Daya tarik produk impor sering lebih kuat meski harganya tak murah.
Presiden dalam kesempatan sama mengancam me-reshuffle menteri bila masih mengimpor untuk pengadaan barang dan jasa di kementerian mereka.
Pemerintah, termasuk Presiden, tidak sekali dua kali mendorong tumbuhnya kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri. Kampanye agar masyarakat lebih memilih produk dalam negeri dan tidak silau mereka terhadap barang luar negeri terus dilakukan.
Padahal, kalau mau dilacak lebih teliti, tak sedikit produk bermerek dari luar negeri yang dijual di pasaran lokal, dibuat produsen dalam negeri.
Ketika Indonesia masuk era perdagangan global, memang tak mungkin membendung arus masuk berbagai produk luar negeri.
Di tengah kepungan produk impor yang berkelas dan membanjirnya produk dari luar negeri yang impresif, harus diakui tidak mudah menepis godaan mengonsumsi produk impor daripada produk domestik.
Masyarakat Indonesia, termasuk kementerian dan lembaga pemerintahan, selama ini pangsa pasar yang menjadi bidikan pemasaran produk impor.
Ketika Indonesia masuk era perdagangan global, memang tak mungkin membendung arus masuk berbagai produk luar negeri.
Mengonsumsi produk impor terbaru bahkan sering memuja produk kapitalis global yang bermerek, acapkali dikonstruksi sebagai bagian simbol status yang penting, dan selayaknya dikonsumsi sehari-hari masyarakat.
Bagi masyarakat yang tumbuh menjadi dandy society (masyarakat pesolek), apa yang mereka konsumsi adalah bagian dari ekspresi dan representasi gaya hidup yang hendak mereka tampilkan ke hadapan publik.
Membeli berbagai produk terbaru fesyen, gawai, dan lain sebagainya adalah bagian dari cara masyarakat menampilkan siapa mereka dan dari kelas sosial mereka berasal. Sikap lebih memilih produk impor bermerek adalah salah satu ciri pergeseran gaya hidup masyarakat.
Dari segi kepentingan bangsa, gaya hidup dan konsumsi masyarakat brand import minded tentu kontraproduktif di tengah keinginan pemerintah, agar masyarakat Indonesia mencintai produk dalam negeri dan mendorong kemajuan usaha-usaha domestik.
Untuk mendorong tumbuhnya perekonomian nasional, bagaimana juga butuh dorongan dan keberpihakan negara. Selama ini, jika dana masyarakat, APBN dan APBD, serta dana BUMN lebih banyak untuk membeli produk impor, peluang pengusaha domestik jadi terbatas.
Dengan mengalokasikan 40 persen untuk membeli produk dalam negeri, diperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional dapat terkerek 1,71 persen.
Presiden menginstruksikkan agar sekitar 40 persen dari dana pengadaan barang dan jasa di berbagai lembaga dimanfaatkan untuk membeli produk lokal buatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Pemerintah menargetkan hingga Mei 2022 dari total APBN sebesar Rp 526 triliun, APBD sebesar Rp 535 triliun, dan BUMN senilai Rp 420 triliun, sebanyak Rp 400 triliun di antaranya dapat digunakan untuk pembelian berbagai produk dari dalam negeri.
Dengan mengalokasikan 40 persen untuk membeli produk dalam negeri, diperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional dapat terkerek 1,71 persen.
Nasionalisme konsumsi
Tugas Presiden memfasilitasi agar masa depan pelaku UMKM lebih prospektif. Dengan menginstruksikan sekitar 40 persen anggaran belanja di lembaga pemerintahan dan BUMN untuk membeli produk UMKM, itu menjadi jalan keluar menjanjikan.
Membangun kecintaan pada produk domestik tak efektif jika lewat kebijakan instan tanpa internalisasi makna mendalam.
Namun, untuk memastikan produk UMKM dibeli karena disukai bukan karena paksaan, butuh lebih dari sekadar keberpihakan negara. Membangun kecintaan pada produk domestik tak efektif jika lewat kebijakan instan tanpa internalisasi makna mendalam.
Pengembangan kebanggaan kelas menengah terhadap produksi dalam negeri harus dilakukan, dengan cara menemukan dan menawarkan apa yang disebut Theodor W Adorno sebagai ersatz.
Yakni, “nilai pakai kedua” dari berbagai produk industri dan budaya yang hendak direvitalisasi—agar dalam praktik gairah dan perilaku konsumsi serta kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negeri, benar-benar didasari alasan yang jelas dan kuat.
Meminta lembaga pemerintahan, BUMN, dan masyarakat mengonsumsi produk nasional tak akan berkelanjutan jika tidak diimbangi peningkatan mutu, standardisasi produk, dan kelebihan produk UMKM itu sendiri.
Mengantisipasi Gelombang Kenaikan Harga
Konstelasi geopolitik akan menjadi faktor penambah bagi gelombang kenaikan harga komoditas.
SELENGKAPNYAPerang Rusia-Ukraina, Anda Pro Siapa?
Pemihakan Anda dan saya tak berpengaruh pada jalannya perang Rusia-Ukraina..
SELENGKAPNYAHarga dan Ketersediaan Pangan
Pemerintah idealnya mampu mengantisipasi persoalan ketersediaan pangan jika muncul di tengah jalan.
SELENGKAPNYA