Perawatan Lambang Kejaksaan AgungPekerja melakukan perawatan lambang Kejaksaan Agung di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. | republika/agung fatma putra

Nasional

Status Tersangka Nurhayati Dibatalkan oleh Kejakgung

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diminta mengevaluasi kerja Kapolres Kota Cirebon.

JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) memastikan untuk menghentikan proses hukum dan penuntutan terhadap Nurhayati terkait kasus pelaporan dugaan korupsi penggunaan anggaran desa di Citemu, Cirebon, Jawa Barat.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah menegaskan, dari proses penelusuran perkara, Nurhayati memang tak patut ditetapkan sebagai tersangka. Febrie mengatakan, tim penuntutannya di Jampidsus sudah melakukan evaluasi terhadap para jaksa peneliti dan penuntutan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Cirebon yang menangani kasus itu.

Hasil evaluasim kata Febrie, menunjukkan adanya ‘simpang siur’ penanganan hukum dalam penetapan Nurhayati sebagai tersangka yang dilakukan oleh Polres Kota Cirebon. Termasuk keputusan kejaksaan menyatakan perkara tersebut lengkap (P-21).

Padahal, kata Febrie, dari penelusuran kasus, Nurhayati, selaku Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu adalah sebagai pelapor kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Supriyadi. “Setelah kita cek ke penuntut umum di Kejari Cirebon, mereka (jaksa penuntut) sama sekali tidak mengetahui bahwa Nurhayati ini adalah pelapornya dalam perkara tersebut,” ujar Febrie saat ditemui Republika, di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejakgung, Jakarta, Selasa (1/3).

Akan tetapi, penetapan tersangka yang sudah dilakukan penyidik Polres Kota Cirebon tak bisa serta merta digugurkan. Sebab itu, kata Febrie, koordinasi dengan Bareskrim Polri, setuju memerintahkan Polres Kota Cirebon segera melimpahkan berkas perkara, dan barang bukti terkait kasus Nurhayati ke Kejari Cirebon. Dari pelimpahan berkas perkara tersebut, Febrie mengatakan, kejaksaan berhak untuk tak melanjutkan perkara itu ke penuntutan di pengadilan.

“Karena perkaranya ini sudah P-21 (berkas perkara lengkap), maka kami dari sini (Kejaksaan Agung) akan meminta untuk segera dilakukan tahap dua (pelimpahan tersangka). Kemudian kami dari Kejaksaan Agung, akan mengeluarkan SKP2 (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan),” ujar Febrie.

Penerbitan SKP2 merupakan kewenangan kejaksaan terkait penanganan kasus yang dinilai tak sesuai prosedur. “SKP2 juga selanjutnya akan menggugurkan status hukum, dan penghentian perkara terhadap yang bersangkutan (Nurhayati),” terang Febrie.

Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Agus Andrianto juga mengatakan, sudah memerintahkan Polres Kota Cirebon untuk segera melimpahkan tersangka Nurhayati ke kejaksaan agar segera diterbitkan SKP2. “Kejaksaan sudah menyampaikan surat permintaan untuk segera dilakukan tahap dua terhadap tersangka N (Nurhyati). Dan sudah dinyatakan untuk tidak dilakukan penuntutan,” kata Agus kepada wartawan, Selasa (1/3).

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengevaluasi kerja Kapolres Kota Cirebon, Jawa Barat terkait penetapan tersangka Nurhayati. Lembaga swadaya antikorupsi itu juga meminta agar Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri untuk memeriksa para penyidik kepolisian di Kota Cirebon terkait penetapan tersangka dugaan korupsi penggunaan anggaran desa oleh Kepala Desa.

Desakan ICW menyusul sudah adanya pernyataan dari Menteri Kordinator Politik Hukum dan Kemanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, juga dari Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, serta Kabareskrim Komisaris Jenderal (Komjen) Agus Andrianto. Peneliti Hukum ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, tiga kepala otoritas terpisah tersebut terang mengakui adanya kesalahan proses hukum dalam penetapan Nurhayati sebagai tersangka oleh kepolisian.

Evaluasi, dan pemeriksaan tersebut, Ramadhan harapkan, berlanjut pada pemberian sanksi tegas terhadap Kapolres, maupun tim penyidikan yang menetapkan Nurhayati sebagai tersangka. “Para peyidik Polres Kota Cirebon berpotensi melanggar kode etik Polri,” ujar Kurnia, dalam siaran pers yang diterima Republika, di Jakarta, Selasa (1/3).

Dugaan pelanggaran etik tersebut, terutama menyangkut Pasal 10 ayat (1) a dan d, soal Perkapolri 7/2006 yang mengatur soal etika dalam hubungan dengan masyrakat. “Divisi Profesi dan Pengamanan Polri harus segera memanggil, dan memeriksa penyidik Polres Kota Cirebon,” sambung Kurnia.

Atas dugaan pelanggaran etik para penyidik di Polda Kota Cirebon itu, menurut Kurnia, harus berdampak pada teguran dan pemberian sanksi terhadap Kapolres Kota Cirebon sebagai pemimpin tim penyidikan. Karena itu, kata Kurnia, sudah sepatutnya Jenderal Listyo mememberikan teguran. “Kapolres Cirebon sudah terbukti tidak profesional dalam mengawasi tugas bawahannya saat menangani perkara korupsi di Desa Citemu,” ujar Kurnia.

Nurhayati, seorang Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kota Cirebon. Penetapan tersangka itu menuai kritik publik. Nurhayati, dalam kasusnya itu mulanya adalah sebagai saksi, dan pelapor terkait dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu. Kurnia melanjutkan, penetapan tersangka terhadap seorang pelapor dugaan korupsi, adalah bentuk dari pelanggaran keras atas Pasal 41 UU Tindak Pidana Korupsi. 

Pasal tersebut memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap pelapor ataupun saksi atas kasus korupsi. Jaminan itu adalah bentuk dari perlindungan atas peran dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. “Maka dari itu, sejak awal kasus ini, ICW menyerukan dan desakan agar LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk memberikan perlindungan kepada Nurhayati,” ujar Kurnia melanjutkan.

Menjawab desakan publik tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD, Senin (28/2) memerintahkan agar Polri dan Kejaksaan berkordinasi untuk menerbitkan Surat Perintah penghentian Penyidikan (SP-3) ataupun Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) terhadap Nurhayati.

Jaksa Agung Burhanddin pun sudah memerintahkan agar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menyelesaikan kasus Nurhayati tersebut dengan meminta Polres Kota Cirebon menyerahkan tanggungjawab tersangka dan barang bukti, untuk segera diterbitkan SKP2.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat