Petugas menyapu area replika kabah di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Rabu (1/12). Kementerian Agama menyiapkan Asrama Haji Pondok Gede sebagai tempat karantina jamaah umrah dan akan menerapkan kebijakan satu pintu pemberangkatan jamaah. Republika/Putra | Republika/Putra M. Akbar

Khazanah

MUI: Haji Secara Virtual tak Penuhi Syarat

Tidak semua aktivitas ibadah bisa digantikan dengan teknologi, terlebih haji yang memiliki nilai sejarah sangat tinggi.

JAKARTA – Arab Saudi menginisiasi pembuatan Ka'bah versi virtual di metaverse. Proyek ini telah diluncurkan pada akhir 2021 oleh Imam Besar Masjidil Haram Syekh Abdurrahman Sudais dan dibentuk oleh Badan Urusan Pameran dan Museum Arab Saudi, bekerja sama dengan Universitas Ummul Qura.

Metaverse Ka'bah memungkinkan umat Islam melihat secara virtual Hajar Aswad. Namun, Ka'bah versi metaverse ini menjadi kontroversial di kalangan Islam di seluruh dunia. Banyak yang kemudian bertanya seputar hukum berhaji secara virtual lewat metaverse.

Terkait hal ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menyampaikan, platform untuk kunjungan Ka'bah secara virtual melalui metaverse bisa bermanfaat untuk mengenali lokasi yang akan dijadikan tempat pelaksanaan ibadah.

"Ini sangat bermanfaat bagi persiapan pelaksanaan ibadah. Tetapi, pelaksaan ibadah haji dengan mengunjungi Ka'bah secara virtual tidaklah cukup, dan tidak memenuhi syarat," ujar dia kepada Republika, Rabu (9/2).

Sebab, Kiai Niam menjelaskan, aktivitas ibadah haji merupakan ibadah mahdlah dan bersifat taukifi yang berarti bahwa tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan. Hal ini sama seperti ibadah shalat, zakat, dan puasa. Dia mengatakan, ada beberapa ritual yang memang membutuhkan kehadiran fisik.

"Haji itu merupakan ibadah mahdlah, bersifat dogmatik, yang tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi SAW. Aktivitas manasik haji itu pelaksanaannya juga terkait dengan tempat tertentu, misalnya thawaf," ujarnya.

Tata cara thawaf, terang Kiai Niam, yaitu dengan mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali putaran dimulai dari sudut Hajar Aswad secara fisik, dengan Ka'bah berada di posisi kiri. Karena itu, manasik haji dan umrah tidak bisa dilaksanakan di dalam hati, angan-angan, virtual, atau dengan mengelilingi gambar maupun replika Ka'bah.

"Kunjungan virtual bisa dilakukan untuk mengenalkan sekaligus juga untuk persiapan pelaksanaan ibadah, atau biasa disebut sebagai latihan manasik haji dan umrah, sebagaimana latihan manasik di Asrama Haji Pondok Gede atau tempat lainnya," katanya.

Kiai Niam juga menuturkan, metaverse merupakan bagian dari inovasi teknologi yang perlu disikapi secara proporsional. "Teknologi yang mendorong pemudahan, tapi pada saat yang sama harus paham, bahwa tidak semua aktivitas ibadah bisa digantikan dengan teknologi," ujar dia.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, KH Mahbub Maafi juga berpandangan, ibadah haji adalah ibadah fisik yang tidak bisa divirtualkan.  

“Ka'bah di metaverse itu hanya sebagai latihan seperti manasik haji. Kalau haji yang sebenarnya harus tetap hadir secara fisik di Tanah Suci,” ujar dia.

Meskipun pandemi Covid-19 telah membatasi umat Islam dari seluruh dunia untuk menunaikan ibadah haji, Kiai Mahbub mengingatkan bahwa segala ritual dalam ibadah haji mengharuskan pelaksananya untuk menjalankan ibadah tersebut secara langsung (fisik), bukan melalui dunia maya, seperti metaverse.

“Ibadah haji itu ibadah fisik, ada thawafnya, Arafahnya, sai, lalu kalau lewat metaverse, thawaf atau sai-nya gimana?” ujar dia.

Semua ibadah dalam haji dan umrah menuntut kehadiran secara fisik. Konsekuensinya, kata dia, kalau jamaah tidak hadir secara fisik, yang dia lakukan di metaverse itu tidak bisa dihitung sebagai ibadah. Hal itu sekedar latihan sebelum melakukan ibadah yang sesungguhnya.

Ibadah haji dan umrah, kata dia, merupakan momen luar biasa dan penting dalam hukum Islam. Sebab, selain beribadah, haji dan umrah merupakan sarana untuk lebih mendekatkan hubungan spiritual manusia dengan Sang Pencipta.

“Itu sesuatu yang menggetarkan dan menghadirkan pengalaman spiritual yang tidak mungkin didapat melalui haji atau umrah di metaverse,” ujarnya.

Maka, selama ibadah haji masih bisa dilakukan secara fisik, masih ada wujudnya dan masih bisa didatangi secara langsung, maka haji dan umrah harus dilakukan secara fisik. “Karena itu, jika kita melihat Ka’bah, melakukan sai atau menyentuh Hajar Aswad secara virtual itu tidak bisa disebut ibadah haji, tapi latihan ibadah haji. Harus dipahami nalar pikirnya.” 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat