Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. | DOK ANTARA HAFIDZ MUBARAK

Hiwar

Gus Yahya: Visi NU untuk Peradaban

Intinya, NU tidak boleh diperalat sebagai senjata politik.

Oleh Wawancara Eksklusif

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memiliki nakhoda baru untuk periode 2021-2026, yakni KH Yahya Cholil Staquf. Melalui Muktamar ke-34 NU di Lampung pada akhir Desember lalu, dirinya terpilih menggantikan KH Said Aqil Siroj.

Gus Yahya, demikian sapaan akrabnya, mengajak seluruh warga Nahdliyin untuk tidak sekadar memaknai NU sebagai identitas. Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini menjelaskan, organisasi tersebut berdiri sebagai rintisan model peradaban baru bagi umat. “Itulah yang saya maksudkan bahwa NU lahir dengan mandat peradaban,” ujar alumnus Fisipol UGM Yogyakarta itu.

Ada berbagai wujud konkret dari visi peradaban yang diusung NU. Cendekiawan kelahiran Rembang, Jawa Tengah, itu mengatakan, Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan salah satu contohnya. Dokumen itu digagas oleh para pendiri bangsa, yang di dalamnya termasuk tokoh NU.

“Ini harus menjadi elemen penting dari visi peradaban NU ke depan,” ucap jebolan Pesantren Krapyak Yogyakarta itu.

Bagaimana visi mandat peradaban diterapkan untuk memajukan NU? Berikut perbincangan eksklusif wartawan Republika, Muhyiddin, bersama sosok yang pernah menjadi juru bicara presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid, itu.

photo
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf. - (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

 

Pertama-tama, kami mengucapkan selamat atas terpilihnya Anda sebagai ketua umum PBNU. Bagaimana nuansa Muktamar ke-34 pada Desember 2021 lalu?

Alhamdulillah, Muktamar berlangsung dengan lancar, efisien, dan bersih. Begitu keluar hasilnya, tidak ada alasan untuk menolak karena berlangsung terbuka.

Saya ini kan muridnya Kiai Said (ketua umum PBNU 2015-2021). Muktamar atau tidak, saya tetap cium tangan sama beliau. Dalam situasi yang melibatkan emosi seperti (Muktamar) itu, kita lalu berangkulan, biasa saja.

 

Beberapa pihak memandang, terpilihnya Anda menandakan regenerasi kepemimpinan di struktural NU. Benarkah demikian?

Mungkin. Sebab, Kiai Said sendiri sudah dua periode. Sementara, jajaran kepengurusan sampai ke daerah itu memang didominasi kader-kader yang kira-kira seusia saya. Jadi, mungkin ada sentimen generasi.

Namun, yang lebih penting dari itu adalah sebetulnya ini. Soal identifikasi terhadap masalah-masalah yang dihadapi NU. Kemudian, gagasan-gagasan untuk memecahkan masalah-masalah itu.

Saya memang lama sekali punya kegelisahan tentang NU. Ada banyak hal mendasar yang harus dicarikan jalan keluarnya di dalam NU. Mulai tahun 2019, saya berusaha menuliskan pikiran-pikiran saya. Setelah selesai, pada Maret 2020 saya kemudian luncurkan buku. Judulnya, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama.

Lalu ada satu atau dua teman dekat. Mereka berkata, “Kamu sudah menulis begini harus ada konsekuensi. Jangan cuma bisa ngomong. Kamu harus maju sebagai ketua umum. Kalau jadi ketum, laksanakan itu supaya ketahuan gagasanmu valid dan tidaknya.”

Kemudian, saya berbicara dengan lingkaran teman-teman yang lebih luas. Akhirnya, saya putuskan untuk maju sebagai calon. Itu prosesnya lumayan panjang. Saya betul-betul bicara dengan orang tua dan paman saya, Kiai Musthofa Bisri (Gus Mus), pada Agustus.

Saya diizinkan untuk maju. Sesudah itu, saya juga sowan kepada Kiai Said pada awal September. Saya sampaikan kepada beliau, mohon restu, saya maju sebagai ketum. Dan, beliau mempersilakan.

photo
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf (tengah) didampingi Rais Aam PBNU Miftachul Akhyar (kanan) dan Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (kiri) bersiap menyampaikan keterangan pers di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (12/1/2022). Yahya Cholil Staquf memperkenalkan jajaran pengurus PBNU masa bakti periode 2022-2027. - ( ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/YU)

Kami mengingat, Anda dari arena Muktamar mengajak seluruh Nahdliyin untuk tidak sekadar memahami NU sebagai identitas, tetapi juga pembawa mandat peradaban. Mengapa demikian?

Ya, itu keyakinan saya. Menjelang berdirinya NU itu, ada suatu momentum sejarah luar biasa, runtuhnya Turki Utsmani, yang selama 700 tahun berfungsi sebagai tulang punggung dan representasi peradaban Islam.

Kemal Attaturk waktu itu menyatakan, Turki sudah bubar. Lantas, umat Islam berpikir bagaimana ke depannya. Termasuk para ulama kita di Indonesia. Sebab, konstruksi peradaban yang sudah tujuh abad ini telah hilang.

Nah, rangkaian peristiwa sesudah itu, didirikanlah Komite Hijaz. Kiai A Wahab Hasbullah berangkat ke Saudi menemui Raja Abdul Azis. Setelah kembali, ia mengusulkan kepada para kiai untuk mendirikan organisasi baru, yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama. Bagi saya, logikanya adalah logika aspirasi untuk menemukan model peradaban baru.

 
Dunia kini sudah menjadi manunggal setelah globalisasi, berarti masa depan peradaban juga (begitu) bagi seluruh manusia. Itulah yang saya maksudkan bahwa NU lahir dengan mandat peradaban.
 
 

 

Jadi, seruan yang Anda sampaikan itu berangkat dari refleksi sejarah?

NU itu didirikan sebagai rintisan pergulatan untuk menemukan model peradaban baru bagi umat Islam di seluruh dunia. Karena dunia kini sudah menjadi manunggal setelah globalisasi, berarti masa depan peradaban juga (begitu) bagi seluruh manusia. Itulah yang saya maksudkan bahwa NU lahir dengan mandat peradaban.

Nah, kita sebenarnya sudah memiliki modal gagasan-gagasan fundamental bagi visi peradaban itu sendiri. Misalnya, sebagaimana yang ditulis para bapak pendiri bangsa Indonesia, dan dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Itu disepakati semua pemimpin kita waktu itu, termasuk para pendiri NU.

Saat ini, bagaimana menjadikan NU model peradaban di masa depan?

Bukan NU-nya, melainkan cita-cita peradabannya. Kita menginginkan peradaban yang menjamin kemerdekaan dan kesetaraan di antara sesama umat manusia. Itu persis disebut dalam paragraf pertama Pembukaan UUD 1945.

Peradaban yang kita inginkan—yang menjadi aspirasi juga dari para pendiri NU dan para pendiri bangsa Indonesia—adalah yang menjamin kemerdekaan dan kesetaraan, hak dan martabat, di antara sesama umat manusia.

Peradaban itu mewujud dalam suatu tatanan. Maka tatanan global (yang diinginkan) berarti yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, didasarkan pada penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat antara sesama manusia.

 

Berbicara tentang peradaban, tentu tidak lepas dari pendidikan. Bagaimana PBNU ke depannya mengembangkan ranah ini?

Kita sekarang memasuki suatu era yang di dalamnya dinamika masyarakat berlangsung sangat intens. Perubahan-perubahan yang terjadi sangat cepat. Maka, model pendidikan yang perlu kita kembangkan adalah yang punya kemampuan untuk merespons cepat perubahan-perubahan. Ini supaya kita tidak ketinggalan. Harus ada agility (kelincahan) sebagai watak utama sistem pendidikan.

Saya sangat mengapresiasi gagasan Menteri Pendidikan, Pak Nadiem, tentang pendidikan merdeka. Di situ, ditekankan pembentukan karakter peserta didik agar mereka lebih mampu, kreatif, dan sigap menanggapi dinamika lingkungan hidupnya.

 
Kita harus mengembangkan model pendidikan tinggi yang luwes dan lincah.
 
 

 

Dalam mengembangkan pendidikan, di perguruan-perguruan tinggi NU, misalnya, nanti juga sama. Kita harus mengembangkan model pendidikan tinggi yang luwes dan lincah.

Memang, pada suatu titik kita memerlukan eksperimen-eksperimen. Karena itu, kita akan berbicara lebih intens dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan sejumlah pakar yang relevan.

Generasi muda turut menentukan wajah peradaban. Bagaimana PBNU mengembangkan potensi mereka?

Generasi saya sebetulnya “terlambat tua.” Sebab, kami baru bisa masuk ke (tataran) elite atau mendapatkan peran yang signifikan dalam dinamika organisasi ini setelah terlalu tua. Mestinya, kita mendorong supaya anak-anak muda bisa lebih dipercaya dalam mendapatkan peran yang lebih signifikan.

Dulu, sudah begitu sebetulnya. Para inisiator dan pemimpin adalah anak-anak muda. Misalnya, KH A Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur, yang menjadi ketum PBNU pada usia kira-kira 28 atau 30 tahun. KH Hasyim Asy’ari ketika mendirikan NU berusia sekitar 50 tahun. Beliau sudah punya keberanian untuk melakukan inisiatif-inisiatif berskala peradaban.

Nah, kalau sekarang ini yang main masih orang-orang seusia ini, sebetulnya itu merupakan suatu kemunduran. Karena itu, kita harus mendorong supaya ini (elite organisasi) lebih muda lagi dan lebih segar lagi. Karena, tantangan ke depan lebih berat sehingga perlu gerakan yang lebih cepat dan efektif. Jadi, NU harus lebih banyak mencurahkan perhatian pada generasi milenial.

 
NU harus lebih banyak mencurahkan perhatian pada generasi milenial.
 
 

 

Sebelum memimpin PBNU, Anda tercatat aktif di pelbagai forum dialog internasional. Bagaimana kemudian membawa ormas Islam ini agar berperan lebih global?

Sederhana saja. Seperti yang saya katakan, NU ini membawa mandat peradaban. Bahan-bahan untuk mengartikulasikan gagasan-gagasan peradaban NU sudah ada sejak awal. Termasuk di dalamnya, dokumen-dokumen fondasi yang menjadi dasar negara-bangsa ini, yakni UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Di lingkungan NU, ajaran tentang ukhuwah basyariah (persaudaraan kemanusiaan) juga ditekankan. Ini menjadi tanggung jawab kita, selain persaudaraan bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan Islam (ukhuwah Islamiyah).

Yang saya lakukan selama ini juga tidak jauh-jauh dari artikulasi itu semuanya. Jadi, saya tidak menciptakan sendiri artikulasi saya, tetapi hanya menyuarakan apa-apa yang memang sudah ada. Sudah menjadi keputusan muktamar, konsensus bangsa, dan sebagainya.

Sebetulnya, sekarang juga sudah punya jaringan internasional yang relatif optimal. Tinggal meningkatkan intensitas keterlibatan saja dalam berbagai panggung internasional. Insya Allah, dengan posisi sebagai ketum, lebih besar untuk mengartikulasikan wawasan NU dan Indonesia tentang masa depan peradaban dan kemanusiaan.

 
Tidak boleh lagi orang nanti ngomong, “Ini calon NU, lawannya calon bukan NU". Itu namanya memperalat NU. Kita nanti berpolitik rasional saja.
 
 

 

Salah satu pernyataan Anda sebagai ketum PBNU ialah “tidak mau ada calon presiden dan calon wakil presiden RI dari PBNU". Apakah itu berarti NU akan berjarak dengan ranah politik praktis?

Kita melaksanakan keputusan-keputusan Muktamar. Itu sudah diambil sekian kali sejak tahun 1979. Konsisten isinya bahwa NU harus mengambil jarak dari politik praktis. Itu prinsip.

Nah, sekarang ketambahan dengan kebutuhan-kebutuhan riil. Kita butuh mengobati polarisasi yang kemarin sudah terjadi, bahkan sampai pada level warga bangsa. Maka kita memang harus mengambil jarak dari politik praktis.

Intinya, NU tidak boleh diperalat sebagai senjata politik. Tidak boleh lagi orang nanti ngomong, “Ini calon NU, lawannya calon bukan NU". Itu namanya memperalat NU. Kita nanti berpolitik rasional saja.

photo
Ketua Umum PBNU terpilih Yahya Cholil Staquf (tengah) melambaikan tangan usai pemilihan Ketua Umum PBNU pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 di Universitas Lampung, Lampung, Jumat (24/12/2021). Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum PBNU periode 2021-2026 pada Muktamar NU ke-34 mengalahkan Said Aqil Siroj. - (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.)

Hidupkan Legasi Gus Dur

Sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf bertekad menghidupkan warisan Gus Dur. Menurut dia, presiden RI keempat itu telah meninggalkan banyak pemikiran berharga yang sepatutnya dirawat generasi kini dan nanti.

Gus Yahya, demikian sapaan akrabnya, pernah menjadi juru bicara presiden RI pada era Gus Dur. Ia mengamati, cucu pendiri NU Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari itu memiliki idealisme dan visi yang luar biasa.

“Yang saya ingin hidupkan kembali, terutama idealisme dan visi Gus Dur,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, itu kepada Republika beberapa waktu lalu.

Adapun idealisme Gus Dur ialah kemanusiaan universal. Pokok pikirannya tentang itu adalah, bagaimana manusia dapat bermanfaat bagi sesamanya. Gus Yahya meyakini, pemikiran humanis ketua umum PBNU tiga periode itu masih relevan hingga kini.

“Sebab, dunia ini akan mengarah kepada peradaban yang manunggal, tidak bisa dipisah satu sama lain. Sehingga kita tidak mungkin lagi berpikir parsial tentang peradaban,” kata salah seorang penggagas institut keagamaan Bait ar-Rahmah di Kalifornia, AS, itu.

Selanjutnya, visi yang digagas putra KH Abdul Wahid Hasyim itu adalah transformasi. Maknanya, perubahan yang menghadirkan kebaikan bagi semua orang. Dengan mewujudkan visi tersebut, seluruh Nahdliyin diajaknya untuk memperjuangkan hal yang lebih besar ketimbang kepentingan pribadi dan golongan.

“Semua yang yang dihadirkan oleh Gus Dur itu sebetulnya sari pati dari risalah Islam itu sendiri, saripati dari ajaran dan dakwah Islam itu sendiri,” katanya.

Awal kedekatan Gus Yahya dengan Gus Dur dijembatani pamannya, KH Musthofa Bisri. Kepadanya, Gus Mus sering bercerita mengenai sosok yang bernama asli Abdurrahman ad-Dakhil itu.

“Kebetulan, paman saya dekat dan sering cerita, bahkan sampai hal-hal yang pribadi dengan Gus Dur. Kemudian saya keranjingan belajar tentang Gus Dur sejak dini,” kenangnya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Nahdlatul Ulama, dari Khittah Hingga Keberagaman

Kembali kepada Khittah itu membuat jarak yang sama dengan berbagai macam partai politik.

SELENGKAPNYA

Jelang 1 Abad Nahdlatul Ulama

Berdirinya Nahldatul Ulama tidak lepas dari situasi umat dan bangsa pada awal abad ke-20.

SELENGKAPNYA