Pembeli memilih kitab di Toko Kitab dan Alquran.Kauman Putra, Yogyakarta. Syekh Sadi Abu Habieb menerangkan dengan sangat detail dan bernas perihal ijmak.. | Wihdan Hidayat / Republika

Kitab

Memahami Seluk-Beluk Ijmak

Ijmak mendapatkan kedudukan dari Alquran dan hadis.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Bagi setiap Muslim, Alquran merupakan pedoman utama. Begitu pula dengan contoh teladan dari Nabi Muhammad SAW.

Keduanya tidak terpisahkan. Jika salah satu atau bahkan semuanya diabaikan, kehidupan seseorang akan terjerumus pada kesesatan. Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan dua perkara yang apabila berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, (kedua hal itu adalah) Kitabullah dan sunnah Rasul.”

Syariat atau hukum Islam selalu merujuk pada Alquran dan Sunnah. Bagaimanapun, seorang ahli fikih dapat menggunakan dasar lain yang berupa ijtihad, yakni pengerahan segenap daya upaya untuk menemukan hukum atas suatu perkara secara perinci.

Dalam berijtihad, fakih haruslah tetap berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah ditunjuk Alquran dan hadis. Kalangan yang melakukannya disebut sebagai mujtahid.

Di samping itu, ada mekanisme lainnya, yaitu ijmak. Itu diartikan sebagai kesepakatan para mujtahid terhadap suatu permasalahan dalam rangka menetapkan hukumnya. Ijmak mendapatkan kedudukan dari Alquran dan hadis.

Sebuah buku yang ditulis Syekh Sa’di Abu Habieb menerangkan dengan sangat detail dan bernas perihal ijmak. Judul karya itu ialah Mausuu’atul Ijma’. Buah tangan dari ulama besar Damaskus, Suriah, itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yakni Ensiklopedi Ijmak, terbitan Pustaka Firdaus.

Edisi terjemahan itu cukup mengesankan. Penerjemahnya merupakan duet ulama yang masyhur di tengah Muslimin Indonesia, yakni KH A Sahal Machfudz dan KH Mustofa Bisri. Adapun kalam pembukanya diberikan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Seperti tampak pada judulnya, karya Syekh Sa’di itu dimaksudkan sebagai sebuah kompendium. Sifatnya ilmiah sehingga sangat layak menjadi rujukan. Di samping itu, uraian yang disampaikan tokoh Rabithah ‘Alam Islamy tersebut begitu lengkap dan padat. Maka buku setebal 997 halaman itu tidak akan menyulitkan pembaca yang hendak mencari acuan, pengetahuan, atau sekadar informasi tentang ijmak.

 
Karya Syekh Sa’di itu dimaksudkan sebagai sebuah kompendium. Sifatnya ilmiah sehingga sangat layak menjadi rujukan.
 
 

Dalam kata pengantar edisi terjemahan bahasa Indonesia, Gus Dur mengingatkan tentang reaktualisasi ajaran Islam di hadapan perubahan yang terus-menerus terjadi dalam kehidupan masyarakat. Reaktualisasi berarti penafsiran kembali. Dalam hal ini, Alquran dan hadis adalah sumber tekstual yang ditafsirkan kembali.

Adanya reaktualisasi menunjukkan vitalitas nilai-nilai normatif Islam. Penafsiran ulang ajaran agama itu juga membawa implikasi bagi ijmak atau konsensus. Sumber ini semula muncul dalam bentuk kesepakatan para sahabat Nabi SAW di Madinah. Bagi Mazhab Maliki, ijmak selalu diartikan demikian.

Anggapan itu dikritisi oleh Mazhab Syafii yang kemudian mencari bentuk lain dari konsensus. Gus Dur menjelaskan, metode yang dikembangkan Syafii ialah mempertemukan antara ketentuan eksplisit dari sumber tekstual dan analogi rasional dari manusia.

Sejak zaman sahabat hingga masa kini, telah muncul banyak ijmak mengenai beragam persoalan. Maka dari itu, ensiklopedi yang dihimpun Syekh Sa’di ini merupakan sebuah upaya besar yang sangat patut diapresiasi. Menurut mantan presiden RI itu, Mausuu’atul Ijma’ bagaikan kaca pembanding untuk melakukan reaktualisasi ajaran Islam.

photo
Terjemahan bahasa Indonesia atas karya Syekh Sadi Abu Habieb ini merupakan rujukan lengkap untuk soal ijmak. - (DOK PRI)

Isi buku

Mausu’ah (ensiklopedia) ini dibuka dengan bagian pendahuluan atau mukaddimah. Di sana, Syekh Sa’di pertama-tama menjelaskan perihal definisi ijmak, berdasarkan pendapat para ulama klasik. Adapun secara kebahasaan, ijmak (ijma’) berarti ‘kesepakatan'. Secara istilah, kata itu memiliki pengertian yang beragam.

Sebagai contoh, Imam al-Ghazali mendefinisikan ijmak sebagai “kesepakatan umat Nabi Muhammad SAW khususnya atas suatu persoalan kegunaan". Sementara itu, mayoritas ulama memberikan pengertian tentang ijmak sebagai “kesepakatan para mujtahid umat Rasulullah SAW setelah wafatnya beliau, pada suatu kurun waktu tertentu, atas hukum agama dalam suatu kejadian".

Syekh Sa’di menekankan, ijmak yang terjadi dengan kesepakatan para mujtahid wajib diikuti. Sebab, hal itu merupakan ijmak yang berlaku, baik pada masa kaum ahli ijtihad itu masih hidup maupun telah berlalu. Inilah pendapat umumnya atau jumhur ulama.

Setelah memaparkan sejarah ijmak sejak zaman sahabat, tabiin dan tabi’ut tabi’in, sang penulis kemudian menjelaskan kerangka tulisan dalam kitab Mausuu’atul Ijma’. Buku itu meliputi pembahasan tentang 9.588 perkara. Terdapat banyak ijmak yang menyoroti semua perkara itu.

Adapun keseluruhan ijmak yang termaktub dalam karya ini dapat dipilah ke dalam enam jenis ijmak, yakni yang diajukan kaum Muslimin (654 perkara); sahabat Nabi SAW (210 perkara); ahli ilmu (1.550 perkara); umum (4.468 perkara); pendapat seorang sahabat Rasul SAW yang tidak diketahui ada yang menentangnya dari sesama kalangan sahabat (548 perkara); dan penafsiran khilaf terhadap pendapat seorang alim (1.148 masalah).

 
Syekh Sa’di dengan rendah hati mengatakan, karyanya itu masih jauh dari kesempurnaan dalam memotret seluruh ijmak di sepanjang sejarah.
 
 

Sekitar 9.000 masalah yang dibahas dalam kitab ini mungkin terbilang banyak. Namun, Syekh Sa’di dengan rendah hati mengatakan, karyanya itu masih jauh dari kesempurnaan dalam memotret seluruh ijmak di sepanjang sejarah. Ia mengutip perkataan Abi Ishaq al-Isfirayiny, “Masalah ijmak ada lebih dari 20 ribu soal.”

Di antara kelebihan buku ini adalah penyajian perkara-perkara ijmak ditampilkan secara alfabetis. Dimulai dari huruf A dan berakhir pada masalah-masalah yang berhuruf awal Z.

Sebagai contoh, salah satu perkara yang dibahas ialah adab. Dalam hal interaksi antarsesama umat Islam, para ulama sudah bersepakat bahwa tidak boleh seorang Muslim meninggalkan berbicara Muslim lainnya selama lebih dari tiga hari jika mereka bertemu. Namun, apabila salah satu pihak khawatir bahwa pertemuan itu dapat merusak akidahnya, maka diperbolehkan untuk tidak berbicara.

Permisalan lainnya berkenaan dengan Ahlul Kitab. Mereka ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Para ulama bersepakat, boleh bagi seorang lelaki Muslim untuk menikah dengan perempuan yang Ahlul Kitab.

Daging hewan yang disembelih Ahlul Kitab pun halal bagi orang Islam. “Sembelihan tadi halal meskipun tidak diketahui (apakah) mereka menyebut asma Allah pada penyembelihannya,” demikian sang syekh meringkas ijmak para ulama tentang hal ini.

Contoh lainnya ialah tentang kisas atau pembalasan yang setimpal. Menurut Syekh Sa’di, para ulama bersepakat bahwa orang yang membunuh orang lain secara licik, kemudian wali si korban merelakan pembunuh itu untuk dibunuh, maka darah pembunuh itu halal untuk ditumpahkan.

Diterangkan pula penyebab wajibnya qisas demikian. Qisas hanya wajib dalam masalah pembunuhan yang disengaja. Qisas tidak berlaku apabila pelakunya ialah anak kecil, orang gila, dan orang yang hilang kesadarannya ketika tindakan itu terjadi.

 
Bagi masyarakat awam, dengan membacanya insya Allah akan lebih mempertajam kepekaan untuk hidup selaras dengan tuntunan Islam
 
 

Demikian beberapa gambaran tentang kandungan buku Mausuu’atul Ijma’. Karya monumental dari seorang alim abad ke-20 M itu masih relevan dibaca hingga saat ini.

Bagi masyarakat awam, dengan membacanya insya Allah akan lebih mempertajam kepekaan untuk hidup selaras dengan tuntunan Islam. Adapun untuk kalangan pemerhati atau pembelajar syariat, kitab itu dapat menjadi bahan yang menarik untuk didiskusikan.

Terlebih lagi, edisi bahasa Indonesianya sangat enak dibaca. Kualitas penerjemahan dari kedua tokoh Nahdliyin itu tidak perlu diragukan adanya.

DATA BUKU

Judul: Ensiklopedi Ijmak (terjemahan bahasa Indonesia atas Mausuu’atul Ijma’)

Penulis: Syekh Sa’di Abu Habieb

Penerjemah: KH A Sahal Machfudz dan KH Mustofa Bisri

Kata Pengantar: KH Abdurrahman Wahid

Penerbit: Pustaka Firdaus

Tebal: 997 halaman

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat