Petugas KPK menunjukan barang bukti berupa uang saat konferensi pers terkait operasi tangkap tangan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi di gedung KPK, Jakarta, Kamis (6/1/2022). | ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Opini

OTT Kepala Daerah

Tanpa kontrol masyarakat terhadap kinerja kepala daerah, bisa terjadi power abuse yang sangat besar.

BAGONG SUYANTO; Dekan FISIP Universitas Airlangga

Belum usai perbincangan masyarakat tentang operasi tangkap tangan (OTT) KPK  atas Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, masyarakat kembali disuguhi berita OTT Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud yang diduga terlibat gratifikasi dan tindak pidana korupsi.

Selama satu dekade terakhir, korupsi yang melibatkan kepala daerah menjadi tantangan bagi KPK. Berdasarkan data KPK, sejak 2004 hingga 2015 ada 77 kasus korupsi yang melibatkan 59 orang kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan wali kota.

Alih-alih berkurang, selama ini kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah terus naik.

KPK menyebut, 25 gubernur dan 274 bupati dari 34 provinsi terjerat kasus korupsi sejak 2004 hingga 2019. Pada 2020, enam kepala daerah ditangkap KPK karena terlibat korupsi dan pada 2021 bertambah lagi tujuh orang.

Di awal 2022, kasus kepala daerah terlibat korupsi bertambah dua orang. Hingga saat ini, ratusan kepala daerah diproses secara hukum akibat ulah culasnya. Namun, kenapa masih banyak kepala daerah sepertinya mengulang kesalahan sama?

 
Di awal 2022, kasus kepala daerah terlibat korupsi bertambah dua orang. Hingga saat ini, ratusan kepala daerah diproses secara hukum akibat ulah culasnya.
 
 

Sejumlah faktor

Bisa dipastikan, ada banyak faktor melatarbelakangi praktik korup kepala daerah. Secara umum, biaya politik yang tinggi saat proses pencalonan hingga terpilih, merupakan faktor utama yang mendorong korupsi kepala daerah.

Namun, lebih dari sekadar persoalan ekonomi, korupsi di kalangan kepala daerah juga bertali-temali dengan faktor nonekonomi.

Dengan kekuasaan dan kewenangannya, kepala daerah berpeluang besar menelikung peraturan dan melanggar kode etik yang seharusnya mengedepankan kejujuran dan transparansi.

Selama ini, modus yang sering dikembangkan kepala daerah untuk mengeruk keuntungan pribadi, antara lain terlibat penyuapan, penyalahgunaan anggaran, penyelewengan dalam pengadaan barang/jasa, dan perizinan.

Jual-beli jabatan dan pemberian gratifikasi, kerap dilakukan kepala daerah untuk memperoleh pemasukan ilegal, selain gaji resmi. Secara garis besar, beberapa faktor menyebabkan kepala daerah terlibat korupsi.

 
Jual-beli jabatan dan pemberian gratifikasi, kerap dilakukan kepala daerah untuk memperoleh pemasukan ilegal, selain gaji resmi.
 
 

Pertama, terkait transparansi layanan publik dan perkembangan sikap kritis masyarakat. Di era revolusi informasi saat ini, sebetulnya masyarakat bisa mengakses dan memahami prosedur pengurusan perizinan dan berkas lain yang dibutuhkan dari aparatur birokrasi.

Namun, pemahaman tata laksana layanan publik ini tak berarti jika tak didukung SOP sebagai acuan bersama secara transparan.

Seorang kepala daerah yang berkomitmen meningkatkan layanan masyarakat dan tak mengharapkan setoran dari bawahannya, salah satunya bisa dilihat dari seberapa jauh dia  memastikan dan melaksanakan SOP secara konsisten.

Ruang bagi aparatur birokrasi di bawahnya untuk korupsi demi menghimpun uang setoran ke atasan, niscaya bisa diperkecil jika SOP layanan publik diumumkan dan diberlakukan secara konsisten.

Kedua, terkait seberapa jauh good system terbangun dan saluran penyampaian kritik dari masyarakat diakomodasi. Seberapa pun baiknya karakter personal kepala daerah, tetap membutuhkan kontrol masyarakat dan lembaga sosial-politik.

Banyak bukti menunjukkan, godaan kepala daerah menyimpang dipengaruhi ada tidaknya kontrol dan kekuatan kritis masyarakat. Ketika pers kuat, kontrol dan partisipasi masyarakat tumbuh, kemungkinan kepala daerah terlibat korupsi  bisa dikurangi.

 
Banyak bukti menunjukkan, godaan kepala daerah menyimpang dipengaruhi ada tidaknya kontrol dan kekuatan kritis masyarakat.
 
 

Ketiga, terkait praktik kolusi antara kepala daerah dengan berbagai pihak yang membiayai kebutuhan selama proses pilkada.

Sudah rahasia umum, akibat tingginya biaya pencalonan yang ditanggung kepala daerah, saat terpilih mereka memiliki beban membayar utang biaya kampanye sekaligus memupuk biaya kampanye pilkada berikutnya.

Selama ini, boleh dikata kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena mengambil jalan pintas mengumpulkan dana politik sekaligus pundi-pundi untuk memperkaya diri.

Menurut kajian Badan Litbang Kemendagri (2015), untuk menjadi wali kota/bupati perlu Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar, menjadi gubernur Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar lebih. Ini lebih besar daripada biaya menjadi anggota dewan, Rp 300 juta-Rp 6 miliar.

Kontrol masyarakat

Memberantas politik uang dalam pilkada dan korupsi kepala daerah harus diakui tak mudah. Aspinal & Barenschot (2019) menulis, Indonesia adalah kelompok negara yang sarat praktik politik uang karena bermula dari tingginya biaya politik.

Untuk mengurangi kemungkinan praktik korupsi kepala daerah, yang dibutuhkan bukan saja perbaikan sistem partai politik yang masih menghalalkan mahar politik, tetapi juga sikap kritis masyarakat dan pengawasan kelompok madani yang kuat.

Tanpa kontrol  masyarakat terhadap kinerja kepala daerah, jangan kaget jika kemungkinan terjadinya power abuse sangat besar.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Abdul Gafur Diduga Terima Suap

KPK menangkap Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Masud, terkait dugaan korupsi

SELENGKAPNYA