Branding baru ekonomi syariah yang diresmikan Presiden Joko Widodo. | KNEKS

Opini

Langkah Bank Syariah 2022

Perbankan syariah hanya akan menunggu waktu dari dahsyatnya libasan disrupsi digitalisasi.

RONALD RULINDO; Dosen Program Studi Bisnis Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Tahun 2021 berlalu. Walaupun Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19 tetapi ekonomi nasional tetap tumbuh termasuk industri perbankan syariah. Aset perbankan syariah tumbuh mencapai 12,21 persen pada September 2021.

Bahkan lebih tinggi dari periode sama pada 2019 ketika pandemi belum melanda. Tahun 2021 juga ditandai berbagai hal monumental bagi pengembangan industri perbankan syariah ke depan.

Dua kejadian besar yang perlu di highlight antara lain merger tiga bank syariah milik BUMN menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Selain itu, penyelesaian permasalahan Bank Muamalat Indonesia (BMI) menemukan titik terang.

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) masuk menjadi pemegang saham pengendali setelah pemerintah melalui Kementerian BUMN membantu menyelesaikan penanganan aset bermasalah BMI melalui PT Perusahaan Pengelolaan Aset.

Setelah dua berita baik ini, progres positif apa lagi yang akan terjadi pada 2022? Tentu, kita masih menunggu gebrakan lebih lanjut BSI. BMI tentu masih memiliki pekerjaan rumah. Lalu, bagaimana bank syariah lain, termasuk unit usaha syariah?

Perkembangan mereka tetap harus diperhatikan. Hanya saja dukungan seluruh stakeholder masih diperlukan agar bank syariah tumbuh lebih besar. Jika tidak, terjadi ketimpangan di mana industri perbankan syariah hanya dikuasai satu bank syariah besar.

 
Paling tidak, terdapat tiga hal besar yang perlu segera diwujudkan tahun ini.
 
 

Paling tidak, terdapat tiga hal besar yang perlu segera diwujudkan tahun ini. Pertama, sinergi perbankan syariah dan industri halal. Perlu dibentuk skema yang tepat berupa platform kerja sama yang menghubungkan langsung industri halal dan perbankan syariah.

Platform ini harus menjadi quick win pada 2022 karena diskusi terkait hal ini sudah cukup panjan bahkan  masuk dalam peta jalan pengembangan industri perbankan syariah yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pimpinan bank syariah perlu berkumpul dengan pelaku industri halal merumuskan mekanisme kolaborasi dan integrasi antara perbankan syariah dan industri halal.

Industri halal sangat menjanjikan. Pada 2019 saja, konsumsi produk halal mencapai 114 miliar dolar AS. Hanya saja, sejauh ini kita menjadi konsumen bukan produsen sehingga peluang besar tersebut terlewat begitu saja.

Kedua, platform kolaborasi layanan keuangan syariah juga harus segera diwujudkan. Ini menjadi salah satu rencana Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) untuk mendorong inklusi sistem keuangan.

Diharapkan, dengan ditawarkannya layanan keuangan syariah, baik itu simpanan, pembiayaan, takaful, reksadana syariah, dan lainnya dalam satu aplikasi serta ditawarkan dengan sistem agency, berbagai elemen masyarakat di pelosok daerah bekerja sama dengan BMT, koperasi syariah, BUMDES, bahkan takmir masjid sekalipun.

Layanan kolaborasi seperti ini, akan membuka sekat pasar yang tak mampu ditembus keuangan syariah secara sendiri-sendiri. Apalagi, dengan hadirnya digitalisasi, BMT dan koperasi syariah akan sulit bersaing dengan fintech yang menjamur saat ini.

 
Dengan hadirnya digitalisasi, BMT dan koperasi syariah akan sulit bersaing dengan fintech yang menjamur saat ini.
 
 

Turun tangannya lembaga keuangan syariah melalui mekanisme integrasi bersama jasa keuangan syariah lainnya, sangat membantu perkembangan ekosistem ekonomi syariah secara keseluruhan.

Last but not least, inovasi produk yang menonjolkan karakter spesifik bank syariah dinantikan. Salah satu produk utama yang harus disegerakan, Sharia Restricted Intermediary Account (SRIA) yang pernah dikaji OJK tetapi belum terealisasi aturan khususnya hingga saat ini.

Selain berbasis profit-loss sharing murni yang menjadi idealisme ekonomi syariah, SRIA dapat menjadi solusi spin-off UUS yang harus dilakukan tahun depan. Walaupun ada usulan menundanya tetapi dibutuhkan amanat UU agar kewajiban tersebut dapat dianulir.

Dengan hanya satu tahun tersisa, perlu rencana cadangan menyiasati hal tersebut seandainya usaha menunda spin-off gagal dan SRIA salah satu solusinya.

Belajar dari pengalaman di Malaysia, dengan menempatkan dana induk pada bank syariah melalui mekanisme serupa, Maybank, salah satu bank terbesar di Asia Tenggara memiliki 60 persen kredit dari pembiayaan syariah Maybank Islamic selaku anak usaha syariahnya.

Ini mungkin dapat ditiru di Indonesia, walaupun kedua anak dan induk memiliki legalitas usaha berbeda. Masih banyak peluang inovasi dan inisiatif lain yang perlu dilakukan.

Inovasi harus segera dilalukan. Jika tidak, perbankan syariah hanya akan menunggu waktu dari dahsyatnya libasan disrupsi digitalisasi seperti yang telah dialami berbagai produk dan perusahaan ternama, yang dahulu tak pernah kita sangka akan hilang begitu saja.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat