cerpen KERANDA DI PESAKITAN MALAM | Daan Yahya/Republika

Sastra

Keranda di Pesakitan Malam

Cerpen Damay Ar-Rahman

Oleh DAMAY AR-RAHMAN

 

Jam alarm tua milik ayah berdering kencang hingga pengeras suara terdengar pecah menembus jaring-jaringnya. Jam itu telah menjadikanku pemuda yang rajin meski dipaksa oleh suara mengerikan hingga membuatku buyar dari mimpi indah sepanjang malam. Sudah coba kupaksakan bangun sebelum subuh, dan tidur sebelum pukul sepuluh malam. Tapi, tetap saja  kasur adalah tempat ternyaman daripada keluar rumah. Semenjak tragedi tiga tahun yang lalu, aku adalah seorang anak laki-laki hobi bermain game dan duduk berlama-lama bersama mereka yang kuanggap sebagai saudara dibandingkan kakak dan kedua orangtua. 

Bermain gitar hingga menjelang subuh, disertai kacang dan kopi hitam lebih menenangkan daripada berkumpul dengan keluarga. Apa yang akhirnya aku dapatkan, sehari sebelum ajal menjemput lelaki itu, aku melihat wajahnya yang lesu karena tidak tidur demi mencari pelanggan yang entah berada di mana. Lokasi rumah jauh, belum lagi ramainya masa demo menuntut hak masyarakat yang diakibatkan keserakahan pemerintah dalam menaikkan gaji besar tanpa memikirkan nasib rakyat, membuat semua orang turun ke jalan dan akhirnya ricuh tanpa tanggapan.

Persoalan ini, tanggungjawab mereka bukan, bahkan adikku yang kakinya lumpuh sejak kecil juga tidak mendapatkan dana bantuan apapun. Pernah suatu hari, saat ia mengeluh karena betisnya terluka akibat mengesot, lalu ayah dan ibu panik segera membawanya ke rumah sakit. Bukan perawatan dan mendapatkan pelayanan baik dari mereka, alih-alih ayahku disibukkan dengan mengisi biodata dari mereka di saat adikku sedang sekarat. Berlembar-lembar ayah mengisinya ternyata itu belum cukup, ia juga harus membayar administrasi terlebih dahulu sebagai uang muka.

“Berapa yang harus saya bayar Buk?”

“Karena kartu jaminan kesehatan anak bapak belum ada, jadi tiga ratus ribu harus dibayar terlebih dahulu.”

Ayah terlihat bingung orderannya hari ini sedang surut. Kecuali ia harus mengambil dari tabungan untuk sehari-hari. Ia adalah seorang ayah, tidak mungkin ia meninggalkan anaknya sendiri dalam kondisi sakit. Ia langsung membayar namun sayang, luka itu telah menjadi infeksi yang dibiarkan terbuka selama tiga jam. Ayahku sangat ingin menuntut, tetapi juga harus memakai uang. Daripada membayar uang ke pihak berwajib, lebih baik ia membawa putrinya berobat agar sembuh. Mana sanggup ia melihat adikku menangis kesakitan. 

Lagi-lagi karena masalah uang, akhirnya ayah berhutang ke mana-mana. Seseorangpun memberikan pinjaman tanpa bunga. Adikku akhirnya sembuh dan dapat pulang. Sejak saat itu, ia trauma dan lebih berhati-hati. Ia tidak mau kembali menyusahkan ayah dan ibu. Lalu bagaimana aku? Tidak ada rasa dengki atau apapun, aku hanya benci pada orang-orang yang menghambat semua akses pelayanan masyarakat. 

Mana yang katanya ingin membantu rakyat? Mana yang katanya akan membuka lapangan pekerjaan. Tahukah, aku lulusan terbaik di kampus, nilaiku di atas rata-rata belum lagi dilengkapi dengan skor bahasa Inggrisku. Tetapi, apa yang terjadi, semua berkasku ditolak karena mereka yang memiliki orang dalam. Aku hanya mengandalkan kemampuan,  ijazah, dan pengalaman, tapi ini negeri zalim, orang-orang yang duduk di kursi pejabat pemerintah itu rata-rata adalah mafia. Penikmat pajak rakyat. Keringat ibu sebagai seorang guru kontrak dengan upah tiga ratus ribu selama dua puluh tahun juga dianggap beban negara. Sakit hati apalagi yang harus dirasakan. Aku menyerah dengan situasi mengerikan ini. Tetapi, ibu dan ayah maklum denganku. Walau  menganggur aku memilih mengamen di jalan. Lebih bagus itu kulakukan, dibandingkan bergabung menjadi pendukung partai.

Aku buka pintu rumah di pertengahan malam. Tak kulihat wajah ayah seperti biasa. Ia tertidur di kasur dengan seragam hijaunya yang penuh dengan air keringat. Ayah tidak mau membangunkan ibu yang telah tertidur. Pasti ayah tidak ingin membangunkan istrinya karena ia tahu, betapa lelahnya menjadi seorang istri sekaligus ibu, belum lagi ia juga sebagai pendidik bangsa harus menyelesaikan tugas mengajar dan menyelesaikan administrasi pembelajaran yang menurutku di luar batas kemampuan pada usia senjanya. Ia juga tidak sanggup mandi, kelelahan di tubuhnya ingin membuat langsung tertidur. Wajah itu akhirnya menunjukkan kekhawatiran di benakku. Aku merasa hal-hal ganjil akan terjadi. Entah esok, lusa, atau beberapa hari ke depan. 

Aku bangun pukul sepuluh pagi, ayah kulihat sudah tidak ada di rumah. Pasti subuh-subuh tadi ia telah berangkat,  hanya aku sendiri di rumah dan adikku pergi sekolah kecil khusus anak-anak sepertinya. Rudi menelponku agar aku segera menuju ke pangkalan. Katanya ada pesta pernikahan di kampung sebelah yang sedang membutuhkan tenaga kerja. Aku langsung menuju ke dapur untuk mengecek sarapan. Segelas teh dan pisang goreng terjaja di meja. Nasi di panci dan tempe balado juga kulihat di lemari atas kompor. Alangkah lebih baiknya jika aku makan daripada lambungku kumat. Jangan sampai ayah kerepotan nantinya. Walau aku jarang berbicara dengannya, ia adalah garda terdepan bagiku. Suatu hari nanti, aku berjanji walau saat ini aku masih malas menagih atau mengemis pekerjaan. 

“Iwan cepatlah jangan kau lama-lama, nanti disambet orang kerjaan kita.” Ucap Rudi dari voice note melalui WhatsApp. 

“Kau sabar dulu, berapa kira-kira bayaran yang aku terima?” 

“Dengar-dengar sekitar tiga ratusan sampai tuntas acara we.”

Lumayan, ucapku dalam hati. Usai bersiap-siap kupanaskan motor dan menuju lokasi. Terlihat orang mulai angkut mengangkut membangun tenda, dan aku yang baru tiba langsung bergerak melakukan apa yang aku bisa. Di televisi terlihat berita demo besar-besaran di ibu kota juga beberapa wilayah terutama di kantor dewan. Aku sangat masa bodo dengan peristiwa ini. Penjabat-penjabat itu mana peduli, bahkan mereka menonton dari balik jendela kamar pribadi mereka. 

Saat itu, pukul 21.00 malam. Aku duduk di tangga pelaminan menikmati teh dan kue bolu dari pemilik rumah. Pikiranku terasa was-was. Ada yang aneh tetapi aku tidak tahu apa itu. 

Aku tiba-tiba dipanggil, disuruh pulang oleh Rudi yang berlari terbirit-birit menghadapku. Aku menelpon ibu dan adikku, tetapi tidak direspon. Karena diburu, aku langsung pulang saja. Kulihat orang telah ramai berkerumunan di rumah. Seorang mantan pejabat di kotaku duduk di samping keranda hijau yang tak kutahu itu siapa. 

Orang semua menatapku dengan pandangan tajam. Ada apa ini, teman-teman ayah dengan jaket hijaunya juga memandangiku. Ibu tersedu sedan memeluk keranda itu. 

“Ayah Bu...ayah....” Tanyaku gagap.

“Sabar nak....ayahmu wafat di tengah demonstrasi. Sebuah mobil milik aparat menabraknya saat ayahmu mengambil pesanan milik pelanggannya yang terjatuh di tengah jalan.” Perkataan teman ayah membuat kakiku bergetar dan akhirnya pandanganku gelap. 

 

Damay Ar-Rahman atau Damayanti staf edukasi di Museum Tsunami Aceh. Asal Lhokseumawe dan alumni Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Malikussaleh. Buku-bukunya adalah Aksara Kerinduan, Bulan di Mata Airin, Musafir, Di Bawah Naungan Senja, Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu, dan buku terbaru Hati yang Kembali. Puisi dan cerpennya telah tersebar di berbagai media dan surat kabar. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat