Sejumlah narapidana berdiri di depan selnya di Lapas Kelas II B Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (18/2/2021). | Oky Lukmansyah/ANTARA FOTO

Nasional

Pengguna Bisa Pilih Tempat Rehabilitasi Pecandu Narkotika

Program rehabilitasi pecandu narkotika, baik medis maupun sosial, memerlukan biaya cukup besar.

JAKARTA — Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 yang mengedepankan keadilan restoratif melalui rehabilitasi dalam penuntutan hukum terhadap pengguna narkotika akan berimbas terhadap kebutuhan tempat rehabilitasi. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, pengguna narkoba bisa memilih panti rehabilitasi dan tidak harus di BNN.

“Orang yang mau direhab itu tidak harus masuk ke BNN, mereka memilih masing-masing, (panti rehabilitasi) swasta ada ribuan, dari Papua sampai Aceh,” ujar Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono, saat dihubungi, Rabu (10/11).

Selain itu, kata Pudjo, BNN juga mendorong, pemerintah daerah (pemda), kementerian seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemenkes), dan juga swasta untuk memaksimalkan panti rehabilitasi yang ada. Kemudian juga rumah sakit jiwa sebagian fasilitasnya harus ada untuk pengguna narkoba. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) yang disahkan pada tahun 2014 silam.

Kendati demikian, menurut Pudjo, yang paling penting saat ini adalah sinkronisasi kementerian lebih dulu. Seperti kewenangan dari Kemenkes, Kemensos, dan sinkronisasi dari Polri, BNN, serta Kejaksaan. Kemudian jika semuanya sudah sinkron, langkah selanjutnya adalah memperkuat balai-balai rehabilitasi narkoba milik pemerintah.

“Kalau sudah sinkron baru kita bergerak, intinya ada kesepahaman dulu tentang uji pasal, peraturan perundang-undangan, kesepakatan ada,” ujarnya.

Jaksa Agung ST Burhanuddin telah mengeluarkan aturan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui proses rehabilitasi. Nantinya, aturan tersebut mengatur sejumlah syarat rehabilitasi tersangka narkotika yang bisa direhabilitasi, mulai dari tidak terlibat jaringan narkotika dan minim barang bukti.

Burhanuddin menyebut hal itu dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Aturan itu tertuang dalam Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang berlaku sejak tanggal 1 November 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.

Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Kejati Kalsel) juga mendorong peran pemda untuk menyokong biaya rehabilitasi bagi pecandu narkoba yang terjerat pidana. “Kami berharap pemda dapat ambil bagian terhadap biaya yang timbul, apabila rehabilitasi jadi keputusan terhadap tersangka,” kata Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati Kalsel, Indah Laila.

Dia mengakui, persoalan biaya rehabilitasi bagi pecandu narkoba memang masih menjadi diskusi kejaksaan bersama kepolisian dan juga BNN setempat, menindaklanjuti Pedoman Jaksa Agung 18/2021 sebagai acuan penuntut umum menangani kasus penyalahgunaan narkotika. “Karena negara belum meng-cover soal anggaran rehabilitasi, jadi pemda bisa membantu untuk suksesnya program penyembuhan bagi pecandu ini,” ujar dia.

Indah menegaskan, program rehabilitasi, baik medis maupun sosial memerlukan biaya cukup besar. Kemudian pascarehabilitasi, seorang mantan pecandu narkoba juga harus mendapat pendampingan agar dapat kembali ke masyarakat dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Dia mengatakan, Pedoman 18/2021 menjadi acuan penuntut umum agar mengedepankan keadilan restoratif di samping pemidanaan yang selama ini lebih banyak dijatuhkan. Semangatnya untuk mengatasi permasalahan over kapasitas di hampir seluruh lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia yang saat ini didominasi narapidana kasus narkotika.

Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga telah diatur di Pasal 127 untuk rehabilitasi seorang tersangka sebagai penyalahguna atau pecandu dengan sejumlah syarat yang wajib dipenuhi. Di antaranya barang bukti narkotika tidak lebih dari satu gram, belum pernah dihukum pidana, hanya sebagai penyalahguna alias tidak terlibat jaringan pengedar.

Indah mengakui, selama ini pihaknya sangat jarang menerapkan Pasal 127 lantaran seorang pecandu yang ditangkap polisi kebanyakan juga terlibat peredaran. Sehingga, diterapkan Pasal 112 atau 114 dengan ancaman minimal 4 tahun penjara dan maksimal hukuman mati.

“Per bulan perkara yang kami tangani sekitar 35 sampai 40 kasus didominasi tindak pidana narkotika. Khusus untuk Pasal 127 dalam setahun tidak sampai lima orang,” ujar mantan kajari Ponorogo itu.

Namun dengan adanya pedoman terbaru Jaksa Agung tersebut, kata Indah, diharapkan tidak ada lagi keragu-raguan dari penuntut umum untuk menerapkan Pasal 127 sepanjang semua unsur terpenuhi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat