Sejumlah narapidana berdiri di depan selnya di Lapas Kelas II B Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (18/2/2021) malam. Menurut pihak lapas, Lapas Slawi saat ini over kapasitas dan dihuni oleh 350 orang dari daya tampung yang hanya untuk 224 orang na | Oky Lukmansyah/ANTARA FOTO

Tajuk

Mengintip Celah Beleid Jaksa Agung

Kita berharap, beleid ini bisa jadi salah satu jalan keluar penuh sesaknya lapas..

Ada perkembangan menarik dari Kejaksaan Agung terkait penuntutan kasus narkoba di Tanah Air. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin baru-baru ini menerbitkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021.

Beleid ini berisi pedoman agar para jaksa dalam penuntutan kasus narkoba menerapkan konsep peradilan restoratif berupa rehabilitasi. Acuannya pada UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pedoman Jaksa Agung ini mulai berlaku pada 1 November.

Apa maksud dari pedoman ini? Secara sederhana, kasus penyalahgunaan narkotika, terutama Pasal 127 ayat 1 UU Narkotika, akan dituntut bukan hukuman pidana. Jaksa diarahkan untuk menuntut hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna narkoba. Sebelumnya, tuntutan jaksa dalam kasus-kasus yang mengacu pada ayat tersebut adalah pidana satu sampai empat tahun.

Keputusan ini menarik kita cermati. Karena akan berimplikasi besar pada penanganan kasus narkoba di Indonesia. Ada beberapa fakta kasus narkoba yang patut kita cermati. Pertama, kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia terus meningkat.

Polisi dan Badan Antinarkotika Nasional saban pekan terus menangkap para bandar, pengedar, dan pengguna narkoba. Polisi dan BNN juga terus menggelar jumpa pers kasus-kasus tersebut. Ada kecenderungan pada saat pagebluk Covid-19 ini, kasus-kasus narkoba justru makin meningkat.

 
Kita masih ingat kasus kebakaran Lapas Kelas 1 Tangerang beberapa waktu lalu, yang memakan korban jiwa 40-an narapidana? Itu terbakar di sel yang penuh sesak tahanan narkoba.
 
 

Kedua, pemidanaan penyalah guna narkoba berujung pada maraknya narapidana narkoba. Di seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia, napi narkoba bisa dibilang yang paling ramai. Efeknya, situasi lapas secara nasional kini sudah teramat penuh narapidana, terutama kasus narkoba.

Kita masih ingat kasus kebakaran Lapas Kelas 1 Tangerang beberapa waktu lalu, yang memakan korban jiwa 40-an narapidana? Itu terbakar di sel yang penuh sesak tahanan narkoba. Ketiga, selain para pengedar dan pengguna narkoba, bandar-bandar narkoba pun kini ‘nyaman’ di dalam lapas. Mereka bahkan bisa mengendalikan peredaran narkoba dari dalam sel.

Lewat beleid keadilan restoratif ini, artinya seluruh kasus narkoba yang melibatkan pengedar ataupun pengguna tidak berujung ke sel penjara. Dalam dua bulan ke depan, kemungkinan besar, kita akan mulai melihat berkurangnya terpidana narkoba di pengadilan. Sementara polisi tetap akan disibukkan dengan pengungkapan dan penangkapan kasus narkoba, apakah yang ditangkap itu penyalah guna atau pengedar atau bandar?

Namun di sisi lain, melonjaknya pasien pusat rehabilitasi narkoba. Tentu di sini butuh antisipasi tersendiri. Bagaimana pemantauan dan pengawasan BNN terhadap para terpidana rehabilitasi narkoba tersebut. Mengingat, begitu banyak napi kasus narkoba yang kembali lagi ke jalan narkotika.

Dalam jangka menengah, pedoman jaksa agung ini bisa membuat Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham sedikit bernapas lega. Pertambahan warga binaan kasus narkoba berpotensi berkurang. Tetap, Ditjen PAS harus membereskan situasi lapas yang sudah amat terlalu penuh agar bisa dijaga dengan maksimal.

 
Dalam jangka menengah, pedoman jaksa agung ini bisa membuat Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham sedikit bernapas lega.
 
 

Satu hal juga, Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 ini belum tentu akan membuat kasus peredaran narkoba di Indonesia berkurang. Sebaliknya, pertambahan kasus amat mungkin terjadi. Dengan hukuman pidana satu sampai empat tahun saja, kasus narkoba tetap banyak dan banyak eks napi narkoba kembali ke dunia haram itu, apalagi kini tidak dihukum pidana.

Memang harus diakui, belum ada jalan keluar yang tepat untuk menurunkan peredaran narkoba di Indonesia. Hukuman berat pun tidak menjamin peredaran melambat. Filipina adalah contoh terbaiknya. Presiden Duterte adalah sosok yang paling tegas dalam menghukum pelaku kasus narkoba, apakah itu bandar, pengedar, ataupun pengguna.

Sejak berkuasa 2016, Duterte langsung tancap gas. Pengedar narkoba boleh didor oleh aparat. Lebih dari 7.000 orang yang terkait narkoba tewas ditembak. Lebih banyak lagi, belasan ribu yang masuk bui karena takut. Penjara Filipina pun mengalami situasi yang sama dengan Indonesia.

Kita berharap, beleid ini memang bisa jadi salah satu jalan keluar persoalan penuh sesaknya lapas seantero Indonesia. Namun, beleid ini belum sepenuhnya bisa mengerem laju peredaran narkoba yang kian membahayakan. Itu persoalan lain lagi memang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat