Sejumlah siswa dan santri menandatangani spanduk saat aksi deklarasi antiseks bebas, hoaks, dan antinarkoba di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (29/3). Permendikbudristek No 30 dikhawatirkan melegitimasi perilaku seks bebas dengan dalih suka sam | ANTARA FOTO

Khazanah

MUI Soroti Permendikbudristek No 30

Permendikbudristek No 30 dikhawatirkan melegitimasi perilaku seks bebas dengan dalih suka sama suka.

JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), untuk mengkaji ulang regulasi yang baru-baru ini dikeluarkan. Beleid yang dimaksud ialah Peraturan Menteri Dikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Ikhsan Abdullah, Permendikbudristek No 30/2021 pada dasarnya tidak diperlukan. Sebab, kata dia, Indonesia sudah memiliki sejumlah aturan perundang-undangan mengenai hal itu.

Ia menjelaskan, secara substansial perkara kekerasan seksual telah diatur, antara lain dalam Undang-Undang (UU) No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, serta UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Segenap aturan tersebut dapat ditegakkan dan diberlakukan dengan baik oleh aparat penegak hukum di manapun, termasuk lingkungan kampus. Ia mempertanyakan, apakah Permendikbudristek No 30/2021 selaras dengan semangat sejumlah UU di atas. Terlebih, rancangan UU KUHP kini masih dibahas pemerintah dan DPR.

“Jadi, ini (Permendikbudristek No 30/2021) tidak diperlukan, lebih baik kembali saja aturannya kepada UU yang sudah ada,” ujar Ikhsan Abdullah saat dihubungi Republika, Ahad (7/11).

Ia menambahkan, tujuan kebijakan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim barangkali patut diapresiasi karena ingin mencegah terjadinya kejahatan seksual di ranah perguruan tinggi. Terlebih lagi, tindakan asusila tersebut belakangan ini marak dilakukan oleh oknum-oknum yang semestinya berperan sebagai pelindung atau panutan.

Namun, kata dia, Permendikbudristek No 30/2021 masih banyak kekurangan. Misalnya, Pasal 5 Ayat 2 dalam aturan demikian. Bagian tersebut mengulas berbagai pengertian tentang kekerasan seksual yang terjadi jika tanpa persetujuan (consent) korban.  

Menurut dia, poin itu berpotensi menciptakan modus baru dalam fenomena seks bebas, terutama yang mungkin terjadi di lingkungan kampus. Adanya Permendikbudristek No 30/2021 pun dikhawatirkan menjadi dalih bagi sivitas akademika untuk melakukan hubungan seks bebas, asalkan didasari suka sama suka, dengan individu yang beda maupun sesama jenis.

“Artinya, melegalkan atau melegitimasi atau membolehkan seksual atau hubungan seks manakala terjadi kesepakatan, consent, atau tidak terjadi adanya kekerasan,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) ini.

Sebelumnya, kalangan akademisi di kampus-kampus Islam mempersoalkan Permendikbudristek No 30/2021. Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Prof Dr Purwo Santoso mengkritik adanya prakondisi consent dalam aturan tersebut, yakni saat menjelaskan tentang definisi kekerasan seksual.

Menurut dia, logika yang dibangun dalam beleid itu cenderung liberal sehingga menjadi kontroversial. “Itu logika liberal, yang jadi acuan itu perasaan dipaksa dan tidak dipaksa. Consent, persetujuan,” ucap Purwo Santoso kepada Republika, Jumat (5/11).

Pada saat yang sama, kata dia, kalangan rektor diminta untuk menangani masalah kekerasan seksual sehingga tidak mengurus pembelajaran. Purwo pun mempertanyakan, di mana fungsi aparat penegak hukum dalam jabatan rektor. “Rektor itu disuruh menjadi asisten polisi,” katanya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengapresiasi terbitnya regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan, Permendikbudristek No 30/2021 terbit untuk merespons situasi yang ada.

“Kita melihat fakta bahwa kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan perguruan tinggi nyata adanya dan kerap tidak tertangani dengan semestinya,” ujar Menteri Bintang dalam siaran pers yang diterima Republika, kemarin.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat