Sejumlah Pegawai KPK (nonaktif) bersama Solidaritas Masyarakat Sipil, melakukan aksi damai di depan Gedung ACLC - KPK, Jakarta, Jumat (17/9/2021). Pegawai KPK yang dipecat masih berharap Presiden Jokowi membela mereka. | ANTARA FOTO/ Reno Esnir

Kabar Utama

Keputusan Presiden Soal Pemecatan Pegawai KPK Masih Ditunggu

Pegawai KPK yang dipecat masih berharap Presiden Jokowi membela mereka.

JAKARTA -- Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Harun Al Rasyid, masih menaruh harapan kepada Presiden Joko Widodo terkait pemecatan 57 pegawai lembaga antirasuah. Menurutnya, presiden akan bersikap bijak dengan mendengarkan semua masukan dari publik.

"Saya masih optimistis Presiden akan bersikap membela kami," kata Harun Al Rasyid kepada Republika di Jakarta, Jumat (17/9).

Dia optimistis bahwa Presiden Jokowi tentu akan menilai masukan dari masyarakat. Harun yang dijuluki si ‘Raja OTT’ itu meyakini kalau mantan gubernur DKI Jakarta itu akan mempertimbangkan dengan matang sebelum mengambil sikap.

"Beliau kan orangnya hati-hati, saya masih yakin beliau akan membela kawan-kawan yang tak lolos TWK (tes wawasan kebangsan)," katanya.

Di satu sisi, dia mengungkapkan bahwa rekan-rekan di tim 57 memang sudah membicarakan langkah hukum lanjutan menyusul pemecatan yang dilakukan pimpinan KPK. Namun, sambung dia, upaya hukum itu akan dilakukan setelah presiden mengambil sikap tegas terkait polemik yang terjadi.

"Kami semua masih menunggu sikap dari presiden, semoga dalam waktu yang tak terlalu lama Presiden akan bersikap tegas," katanya.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK nonaktif, Sujanarko mengatakan, tidak akan menyerah memperjuangkan haknya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia juga berharap Presiden Jokowi mengambil tanggung jawab atas hal ini.

"Iya memang seperti itu, kami dipecat. Kami juga disalurkan ke instansi lain. Ada format surat yang harus diisi untuk disalurkan ke BUMN. Terus ketahuan publik dan ada penolakan dari 57 pegawai yang tidak lulus TWK ini termasuk saya," katanya saat dihubungi Republika, Jumat (17/9).

photo
Pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Yudi Purnomo menunjukan kartu identitas pegawai saat meninggalkan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (16/9/2021). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memberhentikan sebanyak 56 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pada tanggal 30 September mendatang. - (Republika/Thoudy Badai)

"Kami tidak akan menyerah. Mudah-mudahan Presiden mengambil tanggung jawab ini," imbuhnya.

Sayangnya, Presiden Jokowi telah memberikan tanggapan atas pemecatan 57 pegawai KPK tersebut. Dalam pertemuan informal dengan Forum Pemred, pada Rabu (15/9) malam dikabarkan sudah memberikan isyarat bahwa dia tidak akan menganulir keputusan pimpinan KPK, meski pihak Istana belum memberikan keterangan resmi soal ini.

Seperti diketahui, KPK telah resmi memecat 57 pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti.

"Kepada pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak mengikuti pembinaan melalui diklat bela negara, diberhentikan dengan hormat dari pegawai KPK," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, Rabu (15/9).

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyindir sikap Presiden Jokowi dalam merespons pemecatan 57 pegawai yang tidak lulus TWK di KPK. Menurut Pangi, Presiden Jokowi seakan ‘cuci tangan’ atau tidak mau turut campur dalam masalah yang diketahuinya sendiri.

"Presiden dari dulu terkesan ‘cuci tangan’. Dan seolah olah tak mau terlihat intervensi proses hukum, padahal seharusnya presiden harus punya sikap yang jelas, adalah panglima yang langsung memimpin sendiri agenda pemberantasan korupsi, tapi presiden Jokowi tidak melakukan itu semua," kata Pangi kepada Republika, Jumat (17/9).

Atas dasar itulah, Pangi sulit mempercayai komitmen Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi bila aksi pelemahan KPK terus berulang dan dibiarkan di periode kepemimpinannya.

"Saya sangat kecewa dan prihatin dalam konteks komitmen Presiden dalam upaya pemberantasan korupsi," lanjut Pangi.

Transparency International Indonesia (TII) menilai, bahwa pimpinan KPK terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan pemberhentian puluhan pegawai tersebut. Seharusnya, masih ada kewenangan Presiden untuk memutuskan, sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Manajer Riset TII, Wawan Suyatmiko, pimpinan KPK juga mengabaikan temuan dan rekomendasi Ombudsman RI serta Komnas HAM. Kedua lembaga tersebut mendapati banyak kecacatan administrasi dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status kepegawaian KPK.

"Mestinya sebagai pimpinan sebuah lembaga negara harus menghormati rekomendasi lembaga negara lain yang berkompeten di bidangnya," kata Wawan, Jumat (17/9).  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat