Warga mendistribusikan daging kurban secara door to door di kawasan Jati Padang RT 013/RW02, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (20/7). Pembagian daging kurban secara door to door tersebut dilakukan sebagai antisipasi kerumunan pada masa PPKM Darurat m | Republika/Thoudy Badai

Opini

Kurban di Masa Pandemi

Kurban menjadi momentum sangat tepat untuk mengimplementasikan solidaritas sosial di masa pandemi.

SALIM SEGAF AL-JUFRI; Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Hari Raya Idul Adha atau Qurban memiliki makna dan sejarah panjang dalam kehidupan manusia, tak hanya bagi umat Islam di seluruh dunia. Sejarah tersebut tidak bisa dilepaskan dari risalah kenabian yang dibawa Ibrahim (bapak para Nabi) dan Ismail, putranya.

Keduanya mencapai puncak keimanan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala dalam sebuah ritus dramatis. Tidak seperti drama Korea atau sinetron domestik.

Peristiwa nyata itu kemudian diabadikan sebagai puncak prosesi ibadah haji, setelah wukuf di Padang Arafah, pada 10 Dzulhijjah. Jamaah haji dan kaum Muslimin di seluruh dunia menjalankan perintah berkurban sebagai bentuk ketakwaan hamba kepada Sang Khaliq, maha sutradara yang mengatur kehidupan manusia.

Kurban dalam praktiknya menjaga keseimbangan antara kesalehan vertikal (hablun minallah) dan kesalehan horisontal (hablun minnas).

Istilah kurban berasal dari bahasa Arab, dari kata qaruba-yaqrubu-urbaanan, yang berarti dekat, baik dalam dimensi spiritual maupun sosial. Kurban dalam Islam juga disebut sebagai al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing.

Bagi kalangan humanis sekuler atau pencinta hewan, tindakan Ibrahim alaihissalam yang hendak menyembelih putranya dan kemudian Allah gantikan dengan seekor hewan adalah perbuatan yang melanggar hak asasi manusia dan bukti kekerasan.

Tetapi cobalah kita memandang peristiwa dramatis itu dari perspektif spiritual-religius. Betapa ujian terberat bagi manusia adalah mengorbankan “aset paling bernilai” (most valuable). Ibrahim baru memperoleh anak dari istrinya Hajar pada usia 80 tahun lebih.

Kemudian anak itu harus ditinggalkan di padang pasir tandus bersama ibunya selama 13 tahun, demi menjalankan perintah Allah. Setelah bertemu kembali, anak itu harus dikurbankan. Sungguh mengharukan.

Bagi manusia di masa kini, aset paling berharga mungkin harta dan kuasa, maka berkurban berarti menyerahkan harta dan kuasa itu untuk kepentingan masyarakat. Kita menyaksikan sejumlah filantropis dunia mengalihkan hartanya untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan.

 
Kurban mengandung nuansa totalitas, bukan menyisihkan sebagian (infaq/shadaqah) yang bersifat kedermawanan.
 
 

Namun, harus dicatat bahwa kurban mengandung nuansa totalitas, bukan menyisihkan sebagian (infaq/shadaqah) yang bersifat kedermawanan. Kurban memutus hubungan kita dengan aset tersebut karena total diserahkan kepada Allah Ta’ala.

Apakah ada orang yang berani berkurban dengan kekuasaannya? Kita sering lupa dengan sejarah kita sendiri, bangsa Indonesia yang penuh dinamika dan hikmah.

Sebelum Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, sudah berdiri kerajaan dan kesultanan besar di Nusantara. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Republik Indonesia diserang lagi oleh kaum penjajah.

Pada saat genting itu, tampillah para Sultan dan Raja yang menyerahkan harta dan kuasanya untuk mendukung eksistensi Republik Indonesia, antara lain, Sultan Siak Sri Indrapura (Syarif Kasim II) dan Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta.

Tidak terbayangkan bagaimana nasib republik, apabila Sultan dan Raja bersikap apatis dan mengabaikan altruisme total. Mungkin ada yang berargumentasi itu tindakan politik nasionalistik yang tak ada hubungan dengan sikap religius.

Jangan lupa, Hamengkubuwono IX bergelar “Senapati in Alaga, Sayidin Panata Agama, Khalifatullah ing Tanah Jawi”. Sikap dan tindakan politiknya didasarkan keyakinan religius. Tidak pernah ada pengorbanan berskala agung dalam sejarah manusia, kecuali ditujukan sebagai bakti kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

 
Ibadah kurban juga memiliki makna sosial mendalam dalam wujud daging hewan sembelihan dibagikan kepada warga masyarakat yang miskin.
 
 

Ibadah kurban juga memiliki makna sosial mendalam dalam wujud daging hewan sembelihan dibagikan kepada warga masyarakat yang miskin dan kurang beruntung. Protein penting di masa pandemi, selain pangan sehat dan bergizi.

Berkurban harus diaktualisasikan dalam bentuk kepedulian sosial, semangat berbagi, dan sikap mengasihi sesama yang tidak mampu. Setiap Idul Adha, Nabi Muhammad SAW selalu menyembelih sendiri hewan kurbannya, kemudian mendistribusikan kepada kaum fakir dan miskin, dan sedikit disisakan untuk dimakan keluarganya.

Ibadah kurban sarat dengan nilai-nilai pemberdayaan ekonomi. Melalui kurban masyarakat dididik untuk mengembangkan ternak hewan kurban secara terprogram.

Proses merawat dan membudidayakan hewan kurban secara sehat dan layak agar dapat disembelih secara syar'i pada waktunya. Efek berganda tidak hanya bagi peternak, tetapi juga bisa dirasakan pembuat pakan ternak, pencari rumput, hingga penjual hewan kurban secara musiman, sehingga nilai ekonomis yang ditimbulkan ritual kurban sangat besar bagi perekonomian masyarakat.

 
Nilai ekonomis yang ditimbulkan ritual kurban sangat besar bagi perekonomian masyarakat.
 
 

Pelaksanaan ibadah kurban saat ini telah memasuki tahun kedua dalam kondisi penyebaran Covid-19. Pandemi memberikan efek domino sangat besar, berawal dari masalah kesehatan, hanya dalam waktu singkat merembet menjadi masalah ekonomi, bahkan krisis sosial yang sangat pelik bagi kehidupan umat manusia di seluruh dunia.

Kurban menjadi momentum sangat tepat untuk mengimplementasikan solidaritas sosial dan menunculkan inovasi dalam pemecahan masalah publik berskala nasional atau global. 

Wabah Covid-19 perlu dipandang sebagai bentuk ujian dari Allah Ta’ala, tidak hanya kepada umat Islam, tetapi juga bagi manusia. Sejak pertama kali ditemukan pada akhir Desember 2019 di Kota Wuhan, Republik Rakyat China, sudah banyak jatuh korban jiwa. Kondisi di beberapa daerah Indonesia, rumah sakit tidak lagi mampu menampung pasien terpapar, kelangkaan tabung oksigen dan obat-obatan.

Data terkini menunjukkan Covid-19 telah menginfeksi kurang lebih 189,68 juta orang di seluruh dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 173,12 juta kasus dinyatakan sembuh, tapi terdapat sekitar 4 juta orang meninggal dunia (Worldometers, 2021).

 
Kurban menjadi momentum sangat tepat untuk mengimplementasikan solidaritas sosial dan menunculkan inovasi dalam pemecahan masalah publik berskala nasional atau global.
 
 

Sedangkan di Indonesia, sejak Maret 2020 hingga hari ini wabah Covid-19 telah menginfeksi sekitar 2,7 juta orang. Dari jumlah itu terdapat 2,2 juta orang dinyatakan sembuh, sedangkan total kematian sekitar 71.390 orang.

Covid-19 berdampak signifikan bagi perekonomian dunia. Negara-negara telah mengeluarkan stimulus fiskal bahkan mengeluarkan surat utang sangat besar untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan pandemi.

Beberapa lembaga internasional memprediksikan kerugian akibat Covid-19 mencapai hingga 347 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.962 triliun (ADB, 2021), bahkan diperkirakan angka ini akan terus meningkat jika virus ini tidak bisa dikendalikan dalam waktu dekat.

 
Covid-19 telah menimbulkan ketidakpastian terhadap pemulihan ekonomi global.
 
 

Begitu pula dengan dampaknya bagi perekonomian Indonesia. Secara nominal perekonomian nasional diperkirakan kehilangan kesempatan menciptakan nilai tambah atau mengalami kerugian kurang lebih Rp 1.356 triliun (Kemenkeu, 2021). Covid-19 telah menimbulkan ketidakpastian terhadap pemulihan ekonomi global.

Dampak ekonomi yang ditimbulkan Covid-19 membuat jutaan orang kehilangan penghasilan dan pekerjaan, sehingga menyebabkan angka kemiskinan dan pengangguran meroket. Banyak orang kehilangan mata pencaharian, pabrik dan kantor tutup, tempat usaha sepi, tidak ada lagi penumpang angkutan umum. Bahkan data menyebutkan ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin makin lebar.

Data BPS mencatat, jumlah pengangguran pada Februari 2021 sebanyak 8,75 juta orang (6,26 persen). Bila dibandingkan dengan Februari 2020 yang 6,93 juta, jumlah ini meningkat 1,82 juta orang.

 
Kepasrahan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpun di semua level untuk selalu mementingkan perkara publik.
 
 

Begitu pula dengan angka kemiskinan, data BPS terbaru menunjukkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang (10,14 persen). Jumlah ini meningkat 1,12 juta orang jika dibandingkan Maret 2020. Dampaknya adalah tingkat ketimpangan semakin lebar menjadi 0,385 atau meningkat 0,005 poin dibandingkan Gini Ratio pada September 2019.

Kepasrahan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpun di semua level untuk selalu mementingkan perkara publik lebih besar ketimbang kepentingan diri dan keluarganya, meskipun itu harus mengorbankan diri sendiri.

Pemimpin harus memiliki keimanan yang kokoh untuk mengikis setiap ego dan nafsu pribadi yang berlebihan, jujur dalam setiap langkah, transparan dalam bersikap, sehingga kebijakan yang dibuatnya akan memberikan dampak positif pada kehidupan masyarakat luas. Keteladanan seperti ini yang bisa menjadi penawar terhadap krisis yang sedang kita hadapi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat