Faith Abbey memeluk Islam kira-kira sembilan tahun lalu. | DOK INSTAGRAM NURTURINGMYNIYAH

Oase

Faith Abbey, Kisah Haru Sang Mualaf

Ayah Faith Abbey, perempuan Inggris ini, sempat aktif dalam organisasi anti-Islam.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Ia sering mendoakan yang terbaik untuk sang ayah, termasuk berharap hidayah Allah menerangi hatinya.

Setiap insan pasti menginginkan ketenteraman dalam hidupnya. Maka dari itu, orang-orang pada umumnya akan berjuang untuk meraih kebahagiaan, baik secara lahir maupun batin. Menurut seorang mualaf Faith Abbey, agama merupakan sumber untuk menemukan kondisi yang ideal itu.

Sejak masih belia, perempuan ini meyakini bahwa manusia diciptakan untuk tujuan tertentu. Keyakinan itu bersandar pada intuisi kemanusiaan, yakni mempercayai adanya Sang Pencipta. Dengan mengenal-Nya, kita pada akhirnya mengetahui jati diri sendiri.

Warga Berkshire, Britania Raya, itu sejak kecil dididik dalam lingkungan yang cukup religius. Tiap akhir pekan, dirinya nyaris tidak pernah absen menghadiri ibadah di gereja. Saking taatnya beribadah, kawan-kawannya saat itu menyangkanya akan menjadi biarawati kelak ketika dewasa.

Namun, wanita tersebut menampik sangkaan para temannya. Baginya, tidak penting apakah menjadi rohaniawan atau tidak. Yang utama adalah tetap menjaga ketaatan kepada-Nya.

 
Baginya, tidak penting apakah menjadi rohaniawan atau tidak. Yang utama adalah tetap menjaga ketaatan kepada-Nya.
 
 

Gadis ini tumbuh besar dengan memendam cita-cita sebagai guru. Begitu lulus sekolah menengah, dia melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi. Di kampus, suasananya cukup berbeda dengan kampung halamannya. Sangat terasa nuansa keberagaman. Apalagi, universitas tempatnya belajar memiliki banyak mahasiswa dari pelbagai latar belakang.

Mahasiswi ini mempunyai beberapa teman yang berlainan agama. Ada yang memeluk Islam di antara mereka. Dengannya, ia membangun interaksi yang baik. Tidak jarang kawan-kawannya yang Muslim itu membantunya bila ada tugas-tugas di kampus atau sekadar menghabiskan waktu luang di kafe.

Lambat laun, muncul keinginan dalam dirinya untuk mengenal Islam. Terlebih lagi, ia melihat betapa besar dampak yang ditimbulkan agama ini pada keseharian teman-teman Muslimnya. Sebagai contoh, saat sedang asyik mengobrol, beberapa di antara mereka pamit sejenak untuk melaksanakan shalat.

Dalam pandangannya saat itu, ibadah ini cukup mengesankan. Sebab, orang tidak cukup dengan ritual tiap akhir pekan—bahkan per hari seorang pemeluk Islam harus berdoa sebanyak lima kali. Abbey pun pernah menyaksikan salah satu temannya sedang shalat. Gerakan-gerakan ibadah yang dilakukan Muslimah tersebut membuatnya terkesan.

 
Ia melihat betapa besar dampak yang ditimbulkan agama ini pada keseharian teman-teman Muslimnya.
 
 

Karena penasaran, ia pada suatu hari meminta teman Muslimnya untuk menerangkan tentang Islam. Yang diketahuinya hingga saat itu ialah bahwa agama ini dipeluk lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia. Dan, kebanyakan umat Islam adalah bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Karena itu, ada saja orang Eropa yang menyamakan Muslimin sebagai “Timur".

Temannya itu sangat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan Abbey mengenai Islam. Diskusi ringan pun berlangsung beberapa jam. Darinya, ia mendapatkan pengetahuan bahwa agama ini memiliki dasar pada Alquran dan Hadis. Yang pertama merupakan kitab yang suci karena diyakini sebagai firman Ilahi. Adapun yang kedua merujuk pada ucapan atau tindakan Nabi Muhammad SAW, sosok pembawa risalah agama tersebut.

Abbey lalu dipinjamkan terjemahan Alquran dan beberapa buku kisah-kisah Islam. Tiap ada waktu senggang, ia pun membaca-baca semua itu. Dari sana, yang membuatnya terkesima ialah cerita-cerita tentang keteladanan Nabi SAW.

Sejarah Rasulullah SAW sama sekali berbeda dari yang dituduhkan melalui stigma-stigma. Justru, ajaran yang dibawanya membawa perubahan fundamental yang positif. Dalam kehidupan sehari-hari pun, karakter sang nabi menunjukkan suri teladan universal. Misalnya, berbuat baik bahkan kepada mereka yang telah menyakiti.

Kepada kawan Muslimnya, Abbey mengaku tertarik untuk mengenal Islam lebih dalam. Kali ini, dia dipinjamkan buku tentang ketuhanan dalam Islam. Berhari-hari ia menyelami bacaan tersebut.

Satu hal yang membuatnya terpana ialah konsep tauhid. Menurut ajaran agama ini, Tuhan ialah Allah, Zat Yang Maha Esa. Dia tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Ia waktu itu kaget, ternyata teologi dalam Islam sangat sederhana dan masuk akal.

 
Ia waktu itu kaget, ternyata teologi dalam Islam sangat sederhana dan masuk akal.
 
 

Sejak saat itu, Abbey tidak hanya terpanggil untuk mengenal Islam. Ia bahkan ingin menjadi seorang pemeluk agama ini. Kawannya berkata bahwa panggilan hati itu adalah hidayah. Allah telah memilihnya untuk berada di jalan-Nya, beriman kepada-Nya.

Pada 2012, keputusannya sudah bulat untuk memeluk Islam. Di sebuah masjid di Inggris, dia pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Persaksian ini dilakukannya dengan bimbingan seorang imam setempat serta di hadapan sejumlah jamaah.

Resmi sudah Abbey menjadi seorang Muslimah. Mengenang momen tersebut, ia merasa saat itu dirinya seperti terlahir kembali. Perasaan bahagia menyelimutinya.

Dengan berislam, hatinya menjadi lebih tenteram. Perempuan ini lalu memilih nama baru yang menandakan keislamannya: Faith. Nama itu mengambil makna dari arti kata iman dalam bahasa Arab.

photo
Faith Abbey (kedua dari kiri) bersama dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya. - (DOK INSTAGRAM NURTURINGMYNIYAH)

Momen terbaik

Kepada jurnalis Metro.co.uk, Faith Abbey menuturkan momen terbaik yang dialaminya sejak menjadi mualaf. Saat-saat itu adalah ketika dia kembali menyambung silaturahim dengan ayahnya. Ya, begitu mengetahui kabar keislamannya, sang ayah seperti menghukumnya.

Keadaan sempat memburuk sejak orang tuanya itu bergabung dengan English Defence League (EDL). Organisasi itu bukanlah tentang pertahanan dalam arti sipil atau militer.

EDL mengeklaim diri sebagai pembela Britania Raya dari pengaruh-pengaruh Islam, yang dipandangnya “pendatang". Dengan memakai lambang salib merah, pergerakan sayap-kanan ekstrem itu kerap menggembar-gemborkan selaku pelindung rakyat Inggris dari “upaya Islamisasi".

"Dia mengirimi saya pesan di tengah malam menanyakan pertanyaan, seperti ‘apa yang terjadi di Suriah atau Afghanistan’. Yang jelas, ia menyindir orang-orang Muslim pada umumnya atau mungkin saya sendiri," kata Faith Abbey, seperti dikutip Republika dari laman Metro beberapa waktu lalu.

"Dan kemudian saya menyadari dia sudah terlalu jauh (terlibat) dengan EDL. Pernah dia bermasalah dengan polisi untuk berbagai insiden terkait EDL," sambungnya.

 
Faith bersedih hati begitu mendapatkan kabar bahwa ayahnya telah menjadi aktivis EDL.
 
 

EDL didirikan bersama oleh seorang aktivis politik bernama Tommy Robinson. Salah satu kekhasan kelompok ini ialah mengeklaim adanya “Islamisasi Inggris” dan, karena itu, bersikap sangat antipati terhadap Islam. Robinson sendiri pada 2013 lalu sudah berlepas dari EDL.

Tentu saja, Faith bersedih hati begitu mendapatkan kabar bahwa ayahnya telah menjadi aktivis EDL. Lima tahun lamanya perempuan ini tidak bisa menghubungi sang ayah. Pernah suatu kali ia mengunjungi rumah, tetapi yang didapat hanya respons dingin.

Keajaiban terjadi pada tahun 2021 ini. Suatu hari, Faith mendapati panggilan suara di ponselnya. Dan, itu membuatnya gembira karena ternyata sambungan telepon itu dari ayahnya.

Keduanya lalu berbicara melalui telepon. Ayahnya kemudian mengajaknya untuk makan siang bersama. Faith menyarankannya untuk memilih sebuah kafe di London yang menjual sajian khas Turki. Tidak disampaikannya secara gamblang bahwa alasannya adalah di sana ada makanan halal. Bagaimanapun, ayahnya tidak keberatan.

photo
Faith Abbey berharap, ia dapat menjadi istri dan ibu yang baik untuk keluarganya. - (DOK INSTAGRAM NURTURINGMYNIYAH)

Maka terjadilah pertemuan bapak-anak itu. Keduanya yang telah berjarak sekian tahun kini kembali bertegur sapa dalam suasana hangat dan ramah. Yang sangat membahagiakan Faith, ayahnya sudah berubah. Lelaki itu tidak lagi memandang sempit agama Islam dan orang-orang Muslim.

Ayahnya juga menuturkan pengalamannya bersosialisasi dengan orang-orang Islam. Maka, ia pun menyadari betapa mereka ternyata menjadi yang paling baik kepadanya, murah hati dan pemaaf. Kesalehan yang ditunjukkan orang-orang baik itu mengisyaratkan bahwa Islam mengajarkan cinta kasih, bukan kebencian.

"Akhirnya, ayah saya sadar tentang keyakinan ekstrem yang diyakini EDL tentang Muslim. Ya, stigma-stigma (anti-Islam) itu sesungguhnya tidak benar," katanya.

Momen ketika Abbey memeluk ayahnya dan makan siang bersama lalu diunggah dalam akun Facebook pribadinya. Tak disangka, berbagai respons positif muncul di media sosial itu.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Amirah teaches (nurturingmyniyah)

Seorang follower menulis komentar, “Kisah ini sangat indah untuk didengar. Semoga Allah membimbingnya dan melindungimu selalu." Ada pula yang berkomentar, "Ceritamu sangat menyentuh hatiku. Aku sangat berharap bahwa hubungan Anda dengan Ayah Anda semakin kuat dari hari ke hari."

Abbey berharap, pengalamannya memberikan dampak bagi orang-orang di luar sana yang masih menaruh kecurigaan terhadap Islam. Ia sendiri berjanji untuk lebih mencintai ayahnya. Sudah dilupakannya semua perkataan kasar atau apa pun itu ketika sang ayah masih terserap dalam EDL. Kini, ia sering mendoakan yang terbaik untuk sang ayah, termasuk berharap hidayah Allah menerangi hatinya.

"Saya mendapat pesan dari komentar-komentar (di media sosial) orang-orang. Harapannya, keluarga kami bisa terus menjaga toleransi," ujarnya.

Kini, Faith Abbey telah menikah. Perempuan ini merupakan ibu dari tiga anak. Salah satu impian yang hendak diwujudkannya ialah menjadikan putri-putrinya sebagai penghafal Alquran.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat