Ilustrasi mengaji kitab Sirrul Asrar Syekh Abdul Qadir al Jailani. | Republika/Putra M. Akbar

Kitab

Sirrul Asrar Kitab Rahasia Segala Rahasia. Apa Isinya?

Sirrul Asrar mengungkap berbagai misteri kehidupan baik di dunia maupun akhirat yang selalu relevan dengan kehidupan masa kini.

ERDY NASRUL; Wartawan Republika

Sejak lama manusia selalu membicarakan tentang perjumpaan dengan Allah. Apa mungkin manusia berjumpa dengan Tuhan dalam kehidupan ini. Bagaimana caranya. Ini menjadi misteri yang sulit terpecahkan. William James pada abad ke-19 berupaya mengungkap misteri ini dengan menjabarkan berbagai pengalaman keagamaan dalam bukunya The Varieties of Religious Experiences. Dalam buku ini pun dia tidak berdiri sendiri dan tidak sepenuhnya mendasarkan pada riset ilmiah.

Dia tetap merujuk sejumlah referensi ratusan tahun sebelumnya. Dan salah satunya adalah karya-karya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang ditulis pada abad ke-12. Di sinilah dia sanagt mengagumi al-Ghazali dan memujinya sebagai tokoh mistik yang luar biasa hebat.

Memasuki abad ke-20, pembahasan mengenai hal ini diwarnai dengan paham sekular yang memaksa manusia untuk bergantung hanya pada dirinya dan memisahkan diri dari Tuhan. Kerinduan kepada Tuhan dianggap sebagai hal lain. Yang sejatinya dialami, dikerjakan, dan menjadi misteri kehidupannya adalah makna tertinggi, seperti yang diungkap ahli terapi Victor Emile Frankl dalam Man’s Search for The Ultimate Meaning.

Dia menyebut bahwa makna tertinggi bukan kembali kepada Tuhan, tapi adalah hal yang sangat ingin dicapai dalam hidup. Apakah itu? Bisa jadi adalah keharmonisan keluarga, bertemu dengan figur dambaan, dan berbagai hal keduniaan. Menurut dia, hal itu menjadi penyebab orang bertahan dan terus bersemangat menjalani hidup. Sungguh suatu penjelasan yang hambar karena mengabaikan makna transendental dan keimanan.

Pemahaman Frankl ini masih lebih baik bila dibandingkan pendahulunya, seperti Sigmund Freud yang menganggap hal-hal mengenai ketuhanan adalah ilusi. Juga pendapat para pemikir pada masa itu yang tidak mengakui keberadaan Tuhan.

Karena itulah, Rene Guenon menyebut masa ini sebagai krisis kehidupan modern. Kehidupan jauh dari nilai ketuhanan dan dipaksa untuk berada dalam materialisme. Hidup dijalankan secara mekanistis seperti mesin. Manusia dikerahkan sebagai penggerak industri dan menghasilkan kapital sepanjang usia.

Namun, meski dipaksa demikian, naluri dasar manusia: rindu Yang Ilahi dan mendambakan perjumpaan dengan Tuhan selalu ada. Tubuh yang lelah dan jenuh dengan materi tak dapat menyembunyikan naluri hakiki: hasrat berjumpa dengan Tuhan. Dia menggemakan suara – suara kerinduan kepada Tuhan. Mereka menangis di tempat ibadah, bersembunyi di pojok, bahkan mengasingkan diri, untuk melepas kerinduan kepada Allah: bermunajat dalam kesendirian. Kegiatan inilah yang ternyata, menjadi penawar segala keresahan batin manusia.

Perjumpaan dengan Allah sudah dibahas ulama kita sejak lama. Selain Hujjatul Islam dalam berbagai karyanya, seperti Ihya Ulumiddin, Minhajul Abidin, al – Munqidz minad Dhalal, dan lainnya, ada pula ulama lain yang mengupas hal sama dalam berbagai kitab. Salah satu kitab yang menjadi rujukan mengenai hal sufistik ini adalah Sirrul Asrar wa Mazhharul Anwar fi ma Yahtaju Ilaihil Abrar. Ini adalah kitab yang mengupas sejumlah rahasia hakikat kehidupan: mulai dari rahasia penciptaan, rahasia alam tempat kembali manusia, berbagai ritual ibadah dengan tingkatannya, sampai kepada kematian yang merupakan jalan menuju alam kehidupan selanjutnya.

Sekilas Sirrul Asrar

Buku yang ditulis pada abad ke-12 Masehi ini mengungkap 24 rahasia penting terkait dengan kehidupan lahir dan batin. Tulisan ini hanya menyebut beberapa rahasia tadi sebagai pengantar. Rahasia pertama adalah tentang penciptaan. Masalah yang diungkap di sini adalah makhluk atau ciptaan apakah yang pertama kali ada? Apakah alam pertama yang menjadi tempat penciptaan ruh manusia? Dan kenapa harus ada nabi dan rasul? Apa fungsi mereka?

Sirrul Asrar mengungkap, bahwa ciptaan yang pertama kali ada adalah ruh Muhammad. Dasarnya adalah firman Allah dalam hadis qudsi riwayat Abu Hurairah, “khalaqtu muhammadan awwalan min nuri wajhi.” Artinya, “Aku menciptakan Muhammad dari cahaya wajahku.” Sebutan lain ruh Muhammad adalah ruh, cahaya (nur), ‘pena’ (qalam), dan ‘akal’ (aql). Dalam khazanah tasawuf disebut hakikat Muhammad (al-haqiqah al-muhammadiyah).

Dari Nur Muhammad inilah kemudian Arasy dan semua ruh makhluk hidup muncul. Detail mengenai kemunculan ciptaan setelah ruh Muhammad terjelaskan dalam permulaan Daqaiqul Akhbar. Kitab itu menjelaskan Allah menciptakan nur Muhammad yang bertasbih hingga 70 ribu tahun.

Setelah itu Allah menciptakan cermin kehidupan (miratul hayat) dan meletakkannya di depan Nur Muhammad. Cahaya Muhammad mematut, menyadari keelokan dirinya, tapi malu di hadapan Allah, hingga mengeluarkan enam tetes keringat. Kemudian Allah menciptakan enam makhluk, yaitu Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, bunga Mawar, dan padi.

Kemunculan makhluk tersebut membuat nur Muhammad takjub dan bersujud lima kali. Allah kemudian memandang nur Muhammad. Tersipu malu, Nur Muhammad mengucurkan keringat lagi. Kemudian Allah menciptakan berbagai makhluk: para malaikat, Kursi Arasy, para nabi, rasul, ulama, syuhada, dan orang saleh. Lainnya adalah Baitul Makmur di langit, Ka’bah di bumi, Baitul Maqdis (al-Aqsha), dan bakal area masjid di seluruh penjuru dunia.

Ciptaan lainnya yang kemudian muncul adalah seluruh umat Muhammad, kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, dan segolongan dengan mereka (ateis, kafir, dan munafik). Lainnya adalah bumi yang terbentang dari timur sampai barat beserta isinya.

Dalam tradisi falsafah, proses penciptaan ini disebut dengan emanasi (al-faydh). Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai akal yang berproses hingga menghadirkan segala makhluk. Penjelasan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam berbagai karya filsuf seperti Abu Yaqub al-Kindi, Abu Nasr al-Farabi, Ibnu Sina, dan lainnya.

photo
Halaman wajah kitab terjemahan Kitab Sirrul Asrar - (Erdy Nasrul)

Berbeda dengan Daqaiqul Akhbar, Sirrul Asrar tidak menyebut nama individu dalam proses penciptaan. Sirrul Asrar menerangkan, dari Nur Muhammad kemudian Allah menciptakan segala ruh makhluk di Alam Lahut. Inilah alam tempat asal semua ruh.

Allah membaiat semua ruh tadi dalam perjanjian abadi atau baiat azali, sebagaimana terekam dalam Surah al-Araf ayat 172. Allah bertanya, bukankah Aku Tuhan kalian semua (alastu birabbikum). Mereka menjawab, betul, kami menyaksikannya (bala syahidna).

Perjanjian azali ini disebut para sufi dalam berbagai literatur. Salah satunya adalah Syed Naquib al-Attas dalam Islam and Secularism dan Prolegomena to The Metaphysics of Islam. Menurut dia, perjanjian azali ini merupakan inti agama (din/dayn), yaitu utang. Orang yang hidup berutang kepada Allah (dayyan), dan harus membayarnya dengan bertakwa. Al-Attas adalah cendekiawan pertama yang memasukkan perjanjian azali tersebut ke dalam makna agama, yang kemudian dikutip banyak pengkaji agama di dunia.

Kembali ke soal perjanjian azali. Setelah penyaksian tadi berlangsung, Allah meniupkan ruh tadi ke dalam jasad. Manusia terlahir ke muka bumi dan tumbuh mengaktualisasikan diri. Dalam perjalanan hidup ini, mereka ternyata melupakan janji yang pernah terucap di alam lahut itu. Mereka mengingkari Allah dengan maksiat. Bahkan ada yang menyekutukan Allah.

Tak tinggal diam, Allah mengutus orang-orang pilihan, yaitu para nabi dan rasul yang membawa kitab suci. Sirrul Asrar menerangkan fungsi mereka untuk mengingatkan perjanjian azali tadi: agar manusia bertakwa. Tugas mulia ini direalisasikan terakhir kali oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dialah utusan teragung yang membawa risalah tauhid terakhir dan menyerukan manusia untuk kembali bertakwa menyembah Allah.

Namun, hanya sedikit dari mereka yang mau mengingat dan merindukan negeri asali mereka, karena banyak dari mereka lebih memilih kehidupan dunia yang fana dan bergelimang dosa.

Apa maksud menyembah Allah? Sirrul Asrar menjawab, artinya adalah ma’rifatullah. Mengenal Allah. Bagaimana dapat menyembah Allah jika tidak mengenalnya. Ma’rifat hanya dicapai dengan mengekang nafsu dalam diri dengan riyadhah atau tirakat. Ma’rifatullah adalah mengenal Allah dengan nama dan berbagai sifat-Nya. Kemudian membenarkan Allah dalam setiap muamalah yang dia lakukan, menyucikan diri dari segala akhlak tercela, banyak merenung, beritikaf, dan bermunajat kepada Allah secara sembunyi disertai kebersamaan-Nya. Mereka yang mencapai tingkatan ini disebut ‘arif.

Rahasia kedua masih mengenai alam tempat kembalinya manusia, yaitu lahut. Yang dapat kembali kesana adalah mereka yang dekat dengan Allah, yaitu orang-orang ahli ma’rifat atau ‘arif. Sirrul Asrar menukilkan syair tentang ciri ‘arif.

Hati orang-orang ‘arif memiliki mata

Yang mampu melihat apa yang tidak bisa dilihat orang biasa

Juga memiliki ‘sayap’ yang bisa terbang

Mengepak hingga (alam) malakut Tuhan Pencipta Alam

Ahli ma’rifat juga disebut waliyullah atau kekasih Allah. Tidak ada yang dapat mengetahui siapa wali, kecuali Allah sendiri.

Rahasia lain yang diungkap dalam Sirrul Asrar adalah jalan tobat. Untuk menuju kesana, seseorang harus melepaskan diri dari tiga akhlak. Pertama adalah akhlak hewani: banyak makan, minum, tidur, dan senda gurau. Kedua adalah akhlak binatang: marah, mengumpat, memukul, dan semena-mena. Ketiga adalah akhlak setan: sombong, ujub, iri, dengki, dan berbagai akhlak tercela lainnya yang merusak jasmani dan rohani.

“Jika sudah berhasil menyucikan diri dari semua itu, maka engkau telah berhasil menyucikan diri dari akar segala dosa. Dengan begitu engkau akan masuk golongan orang yang menyucikan diri dan tobat.”

Sirrul Asrar menjelaskan dua macam tobat. Pertama adalah tobat kaum awam atau taubat lahiriah. Ini ibarat orang memotong cabang rumput. Sehingga tetumbuhan itu tumbuh lagi dan menjadi pengganggu. Yang kedua adalah tobat kaum khusus. Ini adalah tobat yang sungguh-sungguh. Mereka diibaratkan orang yang mencabut rerumputan hingga akarnya sehingga tidak tumbuh lagi. Mereka adalah orang yang benar-benar bertobat sehingga tidak mengulangi dosa lagi.

Ada dua macam tobat. Tobat pertama adalah tobat umum. Ini sebatas meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan. Dari yang tercela menuju yang terpuji. Dari neraka menuju surga. Kedua adalah tobat khusus. Ini adalah meninggalkan kebaikan menuju ma’rifatullah. Kemudian menuju ketinggian derajat sampai berdekatan dengan Allah. Di sinilah seseorang akan merasakan kelezatan rohani, yaitu meninggalkan semua selain Allah, bersama dengan-Nya, dan memandang-Nya dengan aynul yaqin

Kebahagiaan

Pembahasan tasawuf dan falsafah selalu berkaitan dengan kebahagiaan (sa’adah). Sirrul Asrar mengupas sedikit mengenai hal tersebut pada bagian ke-11: bahagia dan sengsara. Dalam membahas hal tersebut, Sirrul Asrar menukil ibrah Syaqiq al-Balkhi (abad ke-9 M), tentang lima tanda kebahagiaan: lembut hati, sering menangis, zuhud di dunia, pendek angan-angan, dan sangat pemalu. Sedangkan lima tanda kesengsaraan adalah keras hati, jarang menangis, cinta dunia, panjang angan-angan, dan tidak tahu malu.

Rahasia ibadah

Ada pula pembahasan mengenai rahasia sejumlah ibadah. Ada rahasia shalat, rahasia zakat, dan rahasia haji. Di sini kita akan mengupas bagian tentang rahasia puasa. Sirrul Asrar mengungkapkan tiga jenis puasa. Pertama adalah puasa syariat. Ini adalah upaya menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan seksual. Guru Syekh Abdul Qadir, yaitu hujjatul Islam Imam Al Ghazali menyebut tingkatan ini dengan puasa kaum awam. 

Berikutnya adalah puasa tarekat. Ini adalah menahan semua anggota tubuh dari hal-hal yang diharamkan, terlarang, dan tercela, seperti ujub, sombong, pelit, dan lain sebagainya, baik secara lahir, maupun batin. Puasa ini lebih berat, karena dilaksanakan sepanjang hidup. Lalu kapan orang yang berpuasa tarekat berbuka? Sirrul Asrar menjawab, nanti ketika mereka masuk surga. Barulah mereka berbuka puasa. 

Adalagi puasa hakikat. Ini adalah upaya menahan diri dari rasa cinta kepada selain Allah, dan menahan rasa dari kesukaan untuk melihat selain Allah. Ganjaran puasa hakikat adalah perjumpaan dengan Allah di akhirat nanti.

Pengarang

photo
Webinar bedah kitab Sirrul Asrar yang diselenggarakan Jakarta Book Review pekan lalu. - (Erdy Nasrul)

Pengarang kitab ini menjadi topik diskusi tersendiri. Para pecinta dan pengamal Tarekat Qadiriyah menjelaskan, bahwa Sirrul Asrar dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166 M). Ini tertulis dalam katalog perpustakaan Qadiriyah. 

Namun dalam kitab lain, Mu’jamul Mu’allafin (kamus para penulis buku) karangan Umar Ridha Kahalah, ada penjelasan bahwa Sirrul Asrar ditulis oleh Muhammad bin Yusuf al-Kurani. Pengkaji turos yang juga Direktur Nuralwala: lembaga pengkajian akhlak dan tasawuf, Ustaz Azam Bahtiar, mengungkapkan, ada beberapa hal yang membuat orang meragukan kitab ini disusun sendiri oleh alim yang dikenal dengan sebutan sulthanul auliya atau raja para wali. 

Pertama adalah, mukadimah kitab ini dinilainya sama persis dengan kitab Bayan Asrar at-Thalibin karangan Abu Mahasin Yusuf bin Abdullah Kurdi al-Kurani (w.768). 

Kedua, ada perujukan kepada Maulana Jalaluddin Rumi (604-672 H), padahal Syekh Abdul Qadir wafat pada 561 H.

Ketiga, di sejumlah tempat merujuk kitab al-Mirshad, yaitu Mirshadul Ibad minal Mabda’ ilal Ma’ad karya Najmuddin Daya (w.654) yang selesai ditulis pada 620 H. “Ada sekian alasan yang membuat kita ragu bahwa karya ini adalah karya Syekh Abdul Qadir,” ujarnya dalam webinar Jakarta Book Review yang membedah Sirrul Asrar pada Kamis 22 April 2021.

Boleh jadi, tambah Ust Azam, penyebutan Sirrul Asrar sebagai karya Syekh Abdul Qadir adalah karena disebut dalam katalog perpustakaan pribadi keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. “Sangat mungkin karya ini pada mulanya adalah disusun Syekh Abdul Qadir, tapi dalam perjalanannya ada yang menyuntingnya,” kata ust Azam.

 
Sangat mungkin karya ini pada mulanya adalah disusun Syekh Abdul Qadir, tapi dalam perjalanannya ada yang menyuntingnya.
USTAZ AZAM BAHTIAR, Direktur Nuralwala: Lembaga Pusat Pengkajian Akhlak dan Tasawuf.
 

Terlepas dari kontroversi tadi, Ust Azam menilai, isi buku ini sangat relevan dengan kehidupan masa kini. Misalkan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk suci, sakral, dan ilahiah. Kemudian ibadah menjadi lebih bermakna. Sirrul Asrar mengajak pembaca memahami dimensi batin dalam beragama dan tidak terjebak pada simbol. Juga mendalami makna ibadah lebih dalam lagi. Bahwa mencapai ketenangan batin melalui jalan ibadah harus melalui tahapan syariat. Sirrul Asrar mempromosikan cinta kepada Allah dan cara beragama yang rahmatan lil ‘alamin.

Ketua Takmir Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, Dr KH Shabahussurur Syamsi mengatakan Kitab Sirrul Asrar adalah ijtihad syekh Abdul Qadir mendekatkan diri kepada Allah untuk menghaluskan budi dan batin. 

“Kitab ini sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Turos Pustaka, sehingga memudahkan masyarakat luas memahami pemikiran Syekh Abdul Qadir yang selama ini hanya dipahami mereka yang mampu berbahasa Arab. Ini adalah apresiasi yang tinggi kepada penerbit Turos Pustaka,” ujar dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat