Lukisan bergambar Sultan Baabullah (kanan) saat menerima delegasi dari Portugis. Ia tak hanya mengusir penjajah, tetapi juga turut mengukuhkan dakwah Islam di Nusantara, khususnya Maluku. | DOK WIKIPEDIA

Mujadid

Sultan Baabullah, Pahlawan Islam dari Ternate

Raja Ternate ini tak hanya berperan sebagai penguasa politik, tetapi juga pendukung syiar agama.

OLEH MUHYIDDIN 

Berbagai bangsa pernah menjajah wilayah Nusantara. Di antaranya adalah Portugis, Inggris, dan Belanda. Ketika mereka datang, banyak kerajaan Islam sudah berdiri dan berdaulat di kawasan Asia Tenggara. Salah satunya adalah Kesultanan Ternate yang menguasai sebagian Kepulauan Maluku.

Negeri itu juga terkenal dengan nama Kerajaan Gapi. Pada abad ke-16, Ternate dipimpin Sultan Baabullah. Ia tidak hanya berperan sebagai penguasa setempat, tetapi juga pendukung dan penyebar syiar Islam. Pada masanya, kesultanan ini menjadi salah satu mercusuar peradaban Islam di Nusantara.

Selama kepemimpinannya, ia berjuang melawan kesewenangan-wenangan Portugis di Maluku. Perang melawan pasukan kolonial Portugis berlangsung sangat hebat. Seluruh rakyat negeri-negeri Islam di wilayah Indonesia bagian timur terjun dalam peperangan.

Yusuf Hasani dalam buku Sistem Pemilihan Sultan Kesultanan Ternate menjelaskan, masa pemerintahan Sultan Baabullah berlangsung dalam periode 1570-1583 M. Masa itu disebut sebagai zaman keemasan dalam sejarah Kesultanan Ternate. Sebab, Sultan Baabullah berhasil menaklukkan Portugis.

Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada Sultan Baabullah pada 10 November 2020. Ia pun menjadi tokoh kedua dari Provinsi Maluku Utara yang menjadi pahlawan nasional, yakni setelah Sultan Nuku pada 1995.

 
Masa itu disebut sebagai zaman keemasan dalam sejarah Kesultanan Ternate. Sebab, Sultan Baabullah berhasil menaklukkan Portugis.
 
 

Sultan Baabullah lahir pada 10 Februari 1528. Anak tertua dari sembilan bersaudara ini merupakan hasil pernikahan Sultan Khairun Jamilu dengan Permaisuri Boki Tanjung. Ayahnya adalah penguasa Ternate antara tahun 1535 dan 1570. Adapun ibunya merupakan putri tertua Sultan Alauddin I dari Bacan.

Saat masih kecil, Baabullah kerap dipanggil Kaicil Baru. Pada awalnya, sang ayah berniat untuk mengirimkannya ke Kolese Sao Paulo di Goa, India. Namun, niat itu urung dilakukan. Baabullah kecil pun mendapatkan pendidikan secara privat di istana Kesultanan Ternate.

Setelah dididik secara khusus, Baabullah pun tumbuh menjadi remaja yang berilmu. Tidak hanya itu, sifat religiusnya pun semakin tebal. Ayahnya berharap, ia menjadi sosok pemimpin yang mengerti agama di masa depan. Dengan begitu, kepemimpinannya akan selalu sejalan dengan ajaran Islam.

Sultan Khairun memang sangat memperhatikan pendidikan calon penggantinya itu. Sejak kecil, Pangeran Baabullah bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubaligh dan panglima. Saat berusia remaja, Baabullah bahkan telah ikut mendampingi ayahnya dalam menjalankan beberapa urusan pemerintahan dan kesultanan.

 
Sejak kecil, Pangeran Baabullah bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubaligh dan panglima.
 
 

Tak heran jika dalam usia muda Baabullah sudah menduduki beberapa posisi strategis. Salah satunya adalah jabatan kapita samudera, yakni pangkat tertinggi dari bidang kemiliteran di Kesultanan Ternate. Ia memimpin pasukan dalam menaklukkan berbagai daerah, terutama sekitaran Maluku, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Raja-raja di kawasan luas itu diarahkan agar mengakui Kesultanan Ternate sebagai pusat.

Sultan Baabullah menikah sebanyak dua kali. Pertama, pernikahannya dengan Bega, yang merupakan putri seorang bangsawan dari Sulawesi Selatan. Kemudian, pada 1571, ia menikah dengan adik Sultan Iskandar Sani dari Tidore.

Sultan Baabullah dikaruniai lima anak yang terdiri atas dua putra dan tiga putri. Putra sulungnya bernama Mandarsyah. Sementara, yang lebih muda adalah Saidi—kelak menjadi penerus takhta.

Ketiga putrinya adalah Ainal Jarin (menikah dengan Sultan Kodrati dari Jailolo), Boki Ramdan Gagalo (kelak diperistri Sultan Tidore), dan si bungsu yang nantinya dipinang Sangaji Moti.

photo
Warga berada di atas Benteng Kalamata di Ternate, Maluku Utara, beberapa waktu lalu. Benteng Kalamata dibangun oleh bangsa Portugis pada tahun 1540 untuk pertahanan dalam menguasai rempah-rempah di Pulau Ternate yang kini menjadi objek wisata di pulau itu. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pd/17 - (ANTARA FOTO)

Mengusir penjajah

Pada 28 Februari 1570, Baabullah diangkat menjadi raja. Gelar penghormatan untuknya adalah Datu Syah. Ia menggantikan ayahnya yang dibunuh Antonio Pimental atas suruhan petinggi Portugis, Diego Lopes De Mesquita. Pembunuhan itu berlatar ekonomi dan politik atas nama agama.

Orang-orang Portugis menduga pembunuhan terhadap raja Ternate akan melapangkan misi mereka dalam menyebarkan agama. Namun, anggapan itu salah. Sultan Baabullah sebagai pengganti Sultan Khairun ternyata mempunyai sikap yang sama seperti ayahnya. Dia tak mau begitu saja tunduk pada keinginan Portugis.

Ia pun bersumpah akan mengusir Portugis untuk selamanya dari Maluku. Dalam pidato penobatannya, ia menegaskan akan berjuang dengan seluruh daya dan upaya demi menegakkan kembali panji-panji Islam, tidak hanya di Ternate, tetapi juga seluruh bumi Nusantara. Sebagai kerajaan besar, Ternate tak akan tinggal diam. Kaum imperialis Portugis mesti angkat kaki dari wilayahnya.

Sultan Baabullah segera merancang strategi tempur. Tak cuma berniat menghancurkan lawan di area sekitar Ternate, ia pun bertekad mengusir Portugis dari seluruh Kepulauan Maluku.

 
Tak cuma berniat menghancurkan lawan di area sekitar Ternate, ia pun bertekad mengusir Portugis dari seluruh Kepulauan Maluku.
 
 

Selama berjuang, Baabullah sangat berhati-hati. Dia tak langsung menyerbu Benteng Gamlamo, yang menjadi basis Portugis di Maluku. Sebab, menurut informannya, di sana masih terdapat anak-anak, kaum perempuan, dan penduduk sipil. Tambahan pula, sebagian warga lokal telah menikah dengan orang-orang Portugis.

Karena mempertimbangkan keselamatan mereka, sang sultan pun urung memulai penyerangan. Ia memilih menunggu di luar sembari menutup semua akses, baik jalan maupun distribusi bahan makanan. Sampai pada batas tertentu, blokade ini akan merontokkan moral dan fisik pemimpin Portugis yang mempertahankan Benteng Gamlamo.

Sultan Baabullah mengatur strategi dalam pengepungan Benteng Gamlamo di desa Kastela, Ternate. Menurut kalangan sejarawan, tak-tik yang diterapkan raja Muslim tersebut disebut sebagai strategi Perang Soya-Soya. Artinya, “pembebasan negeri.”

Untuk keperluan itu, ia juga menyiapkan 2.000 armada kapal kora-kora yang mengangkut total 120 ribu prajurit. Strategi ini diterapkan untuk mendesak orang-orang Portugis yang masih bertahan dalam Benteng Gamlamo. Dan, di sana pun terdapat sosok pembunuh Sultan Khairun.

photo
Warga berada di atas Benteng Kalamata di Ternate, Maluku Utara, beberapa waktu lalu. Benteng Kalamata dibangun oleh bangsa Portugis pada tahun 1540 untuk pertahanan dalam menguasai rempah-rempah di Pulau Ternate yang kini menjadi objek wisata di pulau itu. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pd/17 - (ANTARA FOTO)

Pada 1570-1571, Baabullah juga mengirimkan lima kapal kora-kora dengan 500 prajurit ke Ambon. Armada ini dipimpin Kapita Kalakinko dan Kapita Rubohongi. Misi mereka adalah untuk mengusir Portugis secara berangsur-angsur dari Maluku. Ia pun berhasil merebut Buru, Hitu, Seram, dan sebagian Teluk Tomini.

Sementara, armada ke Moro-Halmahera, Bacan, dan Morotai juga mengalami kesuksesan. Di masa-masa ini, Sultan Baabullah juga menerima bantuan dari wilayah-wilayah yang selama ini menjadi bawahan (vassal) Kesultanan Ternate, seperti Kapita Lesidi dan Kambello. Antara tahun 1571-1575, raja Ternate itu berlayar untuk mencari orang-orang Portugis yang lari ke Buton.

Mereka kabur setelah Kesultanan melancarkan serangan terhadap Ambon, Hitu, Buru, Seram, dan Teluk Tomini. Sultan kemudian memenangkan perang dengan Portugis sehingga kekuasaannya diakui Buton.

Setelah itu, ia melanjutkan pergerakan ke Selayar, lalu Makassar, dan mendapatkan kemenangan secara beruntun. Pada Desember 1575, Sultan Baabullah mengeluarkan ultimatum kepada orang-orang Portugis yang masih menjaga benteng. Imbauan itu dikhususkan untuk Gubernur Nuno De Lacerda.

Baabullah memberikan beberapa opsi. Pertama, Portugis harus menyerah dalam waktu satu hari, dengan membawa harta benda mereka. Jika itu yang dipilih, mereka akan diperlakukan secara adil. Lelaki Portugis yang telah beristrikan pribumi Ternate diperbolehkan tetap tinggal. Syaratnya, mereka mau dijadikan sebagai kawula kesultanan. Kedua, Portugis menyerahkan sosok pembunuh Sultan Khairun kepadanya.

 
Pada 31 Desember 1575, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis sepenuhnya dari Maluku.
 
 

Pada 31 Desember 1575, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis sepenuhnya dari Maluku. Sejarawan Bondan Kanumoyoso mengatakan, upaya sang sultan dilakukan dengan menjunjung prinsip-prinsip toleransi dan hak asasi manusia.

Sebab, pemimpin Ternate itu tidak menghabisi seluruh orang yang berbeda agama. Bahkan, para pria Portugis yang sudah berkeluarga dengan penduduk lokal dibolehkan tetap tinggal di wilayah kesultanan.

Tahun berikutnya, Sultan Baabullah menyambut kapal Portugis di Pelabuhan Talangame, yang datang membawa bahan-bahan makanan. Kapal tersebut diizinkan untuk bersandar. Hal ini menandakan bahwa sudah tidak ada permusuhan dengan Portugis. Tentunya, keharmonisan terjadi selama bangsa Eropa itu mengakui kedaulatan Ternate dan negeri-negeri bawahannya.

Pada 1576-1580, setelah kepergian kaum imperialis Portugis, Sultan Baabullah mengganti nama benteng yang didirikan pihak musuh. Semula bernama Nostra Senora del Rosario, bangunan tersebut menjadi Gamlamo. Artinya, “kampung besar".

photo
Wisatawan mengunjungi Benteng Tolucco di Ternate, Maluku Utara, beberapa waktu lalu. Benteng pertahanan yang dibangun oleh Francisco Serao dari Portugis pada tahun 1540 ini juga sering disebut Benteng Holandia (Fort Hollandia) atau Santo Lucas. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ed/pd/14. - (ANTARA FOTO)

Ia kemudian merenovasi dan memperkuat benteng tersebut. Salah satu kebijakannya adalah, mewajibkan setiap bangsa Eropa yang tiba di Ternate untuk melepaskan topi dan sepatu mereka.

Selama kepemimpinnya, Sultan Baabullah juga sempat mengunjungi Makassar dan menyelenggarakan pertemuan dengan Raja Gowa, Tunijallo. Ia mengajak Tunijallo masuk Islam dan ikut dalam persekutuan memerangi Portugis.

Namun, penguasa Gowa itu tidak langsung menyutujui ajakan Baabullah. Yang disepakatinya hanyalah ikut dalam persekutuan. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Ternate pun menghadiahkan Pulau Selayar kepada Gowa.

Ternate saat itu dikenal sebagai sentral perdagangan cengkeh di Maluku. Setelah Portugis takluk, sejumlah pedagang asing akhirnya kembali berdatangan, seperti pedagang Arab, Gujarat, Aceh, Jawa, dan sebagainya.

Kesultanan Ternate pun mendapatkan keuntungan yang besar dari datangnya para pedagang tersebut. Dengan semua perjuangannya, Sultan Baabullah telah mengantarkan kerajaan Islam ini ke puncak kejayaan.

photo
Istana Kesultanan Ternate di Maluku Utara. Dalam sejarah Indonesia, kerajaan Islam ini pernah berjaya pada abad ke-13. - (DOK WIKIPEDIA)

Dukung Syiar Islam di Indonesia Timur

Di bawah pimpinan Sultan Baabullah Datu Syah, Kesultanan Ternate berhasil mencapai puncak kejayaannya. Setelah menaklukkan Portugis, penerus Sultan Khairun itu langsung memperluas wilayah kekuasaannya. Perannya pun sangat signifikan dalam menyiarkan dakwah Islam di Maluku.

Dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Prof Jan S Aritonang menjelaskan, Sultan Baabullah tidak hanya mengusir orang-orang Portugis dari wilayahnya. Sang raja Muslim pun turut andil dalam upaya syiar Islam di Nusantara, khususnya wilayah Indonesia timur.

Setelah Portugis hengkang dari kawasan tersebut, jumlah umat Kristen setempat menurun drastis. Banyak dari mereka yang kemudian dibimbing menuju Islam oleh Sultan Baabullah. Dengan mengusung misi Islamisasi, ia juga berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Maluku dan sekitarnya.

Atas pencapaiannya tersebut, Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 negeri". Maknanya, seluruh 72 raja dari negeri-negeri Indonesia timur tunduk kepadanya. Sejarawan Belanda, Francois Valentyn, telah menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 negeri tersebut.

 
Ada yang mengatakan, sang raja dibunuh. Ada pula yang menyatakan, penguasa Ternate ini hilang setelah diculik.
 
 

Sultan Baabullah berhasil menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur. Hingga akhirnya, ia wafat pada 25 Mei 1583 dalam usia 55 tahun. Penggantinya adalah putranya sendiri, Saiduddin Barakati alias Sultan Saidi.

Adapun penyebab maupun tempat kematian Sultan Baabullah masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan, sang raja dibunuh. Ada pula yang menyatakan, penguasa Ternate ini hilang setelah diculik.

Para penggantinya tak mampu berbuat banyak mempertahankan kebesaran Ternate. Setelah masa Sultan Baabullah, kesultanan itu berangsur-angsur melemah dan kembali dijamah tangan-tangan asing, utamanya Spanyol dan Belanda.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat