Suasanan Rapat Paripurna DPR RI Ke-16 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/4/2021). | GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO

Nasional

'Amendemen Terbatas tak Mungkin Dilakukan'

Wacana amendemen terbatas gencar disuarakan MPR.

JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menilai, amendemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak mungkin dilakukan. Alasannya, jika ada satu pasal yang diubah dalam konstitusi negara, yang juga bersentuhan dengan pasal lainnya, maka pasal-pasal tersebut harus ikut direvisi.

"Sekarang malah ada wacana melakukan amendemen terbatas UUD 1945. Hal itu tidak mungkin dilakukan. Kalau orang bicara satu titik dalam konstitusi, maka dia akan bersentuhan dengan titik lain," ujar Saldi dikutip laman resmi MK, Ahad (11/4).

Saldi menjelaskan, di awal reformasi pada 1998, mulai ada keinginan bangsa Indonesia mengamandemen UUD 1945. Berdasarkan risalah perubahan UUD 1945, ide awal melakukan amendemen itu sangat sederhana. Yakni, pengalaman di masa Orde Lama dan Orde Baru, masa jabatan presiden begitu panjang dan kekuasaannya sangat luas dan sangat dominan.

"Ada pemikiran kekuasaan Presiden harus dibatasi. Ketika ada pemikiran untuk membatasi kekuasaan presiden di salah satu sisi, ada keinginan memperkuat kewenangan DPR. Pembahasan itu terjadi dengan intens," kata Saldi.

Namun, dalam konsep bernegara, apabila menyentuh satu titik dalam desain bernegara, tidak berhenti di titik itu saja. Misalnya, ketika ingin memperkuat kewenangan DPR, maka DPR akan bersentuhan dan berimplikasi terhadap lembaga-lembaga negara lainnya. Alhasil, kata Saldi, terjadi perubahan UUD 1945 yang jauh lebih komprehensif. Misalnya, salah satu isu terkait hubungan DPR dengan kekuasaan kehakiman, terutama dalam proses pengisian hakim agung.

photo
Suasana sidang paripurna di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/1).  - (Prayogi/Republika.)

Ketika proses pengisian hakim agung diperbaiki, lalu tiba-tiba muncul isu baru, terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung (MA), sehingga harus mempersiapkan lembaga lain dan akhirnya muncul Mahkamah Konstitusi (MK). "Misalnya kalau mau mengutak-atik DPR, maka akan ada hubungannya dengan MPR, DPD, MK, MA dan lainnya," ucap Saldi.

Wacana amendemen terbatas memang gencar disuarakan MPR. Bahkan, pimpinan MPR yang terdiri dari perwakilan sembilan fraksi di DPR ditambah satu perwakilan DPD sudah menggelar safari politik ke ketua umum partai politik maupun mantan presiden RI terkait rencana amendemen terbatas ini. Meskipun, mereka mengeklaim amendemen terbatas hanya dilakukan untuk mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bukan terkait penambahan masa jabatan presiden.

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah memastikan bahwa MPR tidak sedang merencanakan perubahan masa jabatan presiden. Adapun rekomendasi yang dikeluarkan oleh MPR 2009-2014, 2014-2019, tidak ada satupun yang merekomendasikan atau pokok pikiran yang akan melakukan perubahan terhadap pasal 7 yaitu terkait masa jabatan presiden tersebut.

"Jangankan mengusulkan untuk diubah, dilakukan kajian saja terhadap perubahan pasal 7 tersebut itu tidak ada dalam dokumen resmi MPR," kata Basarah, beberapa waktu lalu. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat