Ketua Satgas Covid-19 IDI, Prof Dr dr Zubairi Djoerban SpPD-KHOM memandang, masih ada harapan dari refleksi 1 tahun penanganan Covid-19 di Indonesia. | DOK IST

Hiwar

Prof Zubairi Djoerban, Harapan dari Setahun Penanganan Covid

Prof Zubairi Djoerban aktif menangani pandemi Covid-19.

Pada 2 Maret 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dua kasus pertama positif virus korona baru. Hingga awal Maret 2021 ini, genap satu tahun lamanya Indonesia didera pandemi Covid-19. Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Dr dr Zubairi Djoerban SpPD-KHOM mengatakan, peringatan satu tahun wabah tersebut seyogianya menjadi momen perenungan dan evaluasi bersama.

Untuk mencegah penyebaran virus korona, pemerintah telah memberlakukan pelbagai upaya, semisal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PPSB) atau Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah. Menurut sosok yang akrab disapa Prof Beri ini, masih banyak kebijakan yang harus diperbaiki sehingga implementasinya kian efektif.

“Jadi, kesimpulannya bahwa penanganan (Covid-19) membaik, namun masih perlu perjuangan. Masih perlu dikerjakan dengan lebih baik implementasinya, lebih konsekuen dan lebih didisiplinkan,” ujar alumnus Universitas Indonesia (UI) itu.

Salah satu pendiri Yayasan Pelita Ilmu (YPI) tersebut menjelaskan beberapa indikator yang menggembirakan sejauh ini. Misalnya, jumlah pasien positif Covid-19 di rumah-rumah sakit mengalami tren penurunan. Memang, kasus Covid-19 harian secara nasional masih relatif tinggi. Ia pun berharap, vaksinasi dapat membantu negeri ini keluar dari situasi krisis.

Butuh berapa lama lagi bagi Indonesia berjibaku melawan Covid-19? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, dengan dokter spesialis penyakit dalam tersebut baru-baru ini.

Genap setahun sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan di Indonesia, apakah penanganan pandemi di Tanah Air kini semakin membaik atau sebaliknya?

Bisa dikatakan semakin baik. Walaupun Presiden juga mengakui bahwa implementasinya kurang bagus kalau yang untuk PPKM ataupun sebelumnya. Jadi, memang perlu ada perbaikan. Namun demikian, bisa dikatakan hasil akhirnya sudah lumayan.

Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia setelah Cina, India, Amerika Serikat (AS), peringkat jumlah pasien Covid-19 berada di nomor 18. Bukan, misalnya, di nomor keempat. Bagaimanapun, ada data yang menunjukkan, jumlah kasus hariannya relatif tinggi, yakni selalu di atas delapan ribu kasus.

Data lainnya yang menunjukkan kemajuan adalah akhir-akhir ini di banyak rumah sakit, jumlah pasien yang dirawat di ruang (isolasi) Covid-19 berkurang. Itu terjadi di daerah-daerah, seperti Jakarta, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Solo (Jawa Tengah). Di banyak rumah sakit, ICU-nya masih penuh, tetapi pasien yang dirawat di ruang Covid-19 jelas berkurang. Ini menunjukkan adanya kemajuan.

Jadi kesimpulannya, penanganannya membaik, tetapi masih perlu perjuangan. Masih perlu dikerjakan dengan lebih baik implementasinya, lebih konsekuen, dan lebih didisiplinkan.

Terkait upaya tes, telusur, tindak lanjut (3T), menurut Anda, apakah Indonesia sudah memenuhi harapan?

Belum. Ini memang perlu ditingkatkan terus. Kalau lebih banyak 3T dilakukan, tentu lebih baik. Target semestinya, minimal 50 ribu sampai 100 ribu per hari. Sementara, dari Presiden targetnya di awal pendemi ini kan hanya sekitar 30 ribu. Itu pun kadang tercapai, kadang tidak. Sempat mencapai 50 ribuan per hari, tetapi kadang turun lagi sampai di bawah 30 ribu per hari.

Kalau menurut saya, yang diperlukan adalah konsistensi dahulu. Setelah itu, secara bertahap memang (upaya 3T) harus dinaikkan. Jadi, kita perlu mendeteksi sebagian besar yang terinfeksi. Sementara, sekarang ini bisa dikatakan kita mendeteksinya baru ujung dari sebuah gunung es saja. Artinya, masih banyak yang sebenarnya terinfeksi, tetapi tidak terdeteksi.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah untuk menurunkan rasio kasus positif dan mencegah tingkat kematian akibat Covid-19?

Saran saya, positivity rate sebaiknya tidak dihitung harian. Ini disarankan juga oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia). Banyak negara mengerjakannya juga, termasuk AS. Jadi, (positivity rate) dihitungnya per pekan atau per kelompok dua pekanan.

Kalau dihitung pekanan, Indonesia rata-rata masih di atas 25 persen. Angka itu memang benar masih tinggi sekali. Jadi, kita harus berusaha maksimal mengombinasikan semacam lockdown, PPKM, maupun yang mikronya. Semua pembatasan sosial itu harus diawasi dan didisiplinkan.

Kalau yang tadinya Menteri Kesehatan (Menkes) mengatakan, jumlah tes akan dinaikkan, maka berarti harus benar-benar dinaikkan. Namun, sampai sekarang ini belum terlihat (realisasi) jumlah tes yang menurut Menkes akan segera dinaikkan. Ya, itu belum terjadi.

Belakangan ini, angka kematian akibat Covid-19 juga mulai di atas 100 jiwa, bahkan pernah menyentuh rekor 387 orang per hari. Pandangan Anda?

Memang angka kematian tinggi, tetapi di beberapa daerah—seperti Jakarta, misalnya—angka kematiannya jauh lebih rendah daripada provinsi-provinsi lain. Intinya, target menurunkan angka kematian itu memang perlu sekali.

photo
Sebagai tokoh perintis penanganan HIV/AIDS di Indonesia, Prof Zubairi Djoerban membandingkan respons negara dan masyarakat kala itu terhadap penyakit ini dengan Covid-19 yang muncul awal Maret tahun 2020 lalu. - (DOK IST)

Apakah vaksinasi bisa mengakhiri pandemi Covid-19?

Kalau hanya vaksinasi, tentu saja tidak bisa mengakhiri pandemi. Sebab, harus ada kombinasi. Masyarakat pun harus tetap memakai masker. Setiap kita mesti menerapkan pola hidup pencegahan virus, semisal sering-sering mencuci tangan, tidak berkerumun, dan seterusnya. Intinya, vaksinasi saja tidak cukup. Penerapan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) mesti terus dilaksanakan. Begitu pula dengan 3T.

Insya Allah, pandemi bisa berakhir bila vaksinasi dikombinasikan dengan upaya-upaya lainnya tersebut. Vaksinasi masih bisa. Namun, itu tidak berarti kita bisa mengatasi pandemi, menganggap bahwa penyakit Covid-19 hilang.

Skenario yang paling mungkin, nantinya (Covid-19) akan menjadi epidemi. Artinya, penyebaran Covid-19 ini nanti tidak merata di seluruh dunia. Hanya di beberapa tempat. Nanti, Covid-19 akan mirip dengan berbagai penyakit yang ada sekarang ini.

Ada yang memprediksi, Indonesia butuh lebih dari 10 tahun untuk menuntaskan vaksinasi Covid-19 pada 75 persen populasi. Pendapat Anda?

Saya katakan, tidak benar itu (proyeksi) Bloomberg Indonesia. Mereka tidak tahu semangatnya di Indonesia. Kenyataannya, sekarang ini saja kan yang sudah mendapatkan vaksinasi jauh di atas 1 juta orang. Kemudian, kenyataan yang lain adalah, di rumah-rumah sakit juga mulai berkurang jumlah pasien positif Covid-19 yang dirawat.

Kalau melihat cara kerja Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Pak Doni Monardo bersama timnya, itu luar biasa bagus. Monitornya juga ketat. Saya kira, lumayan dan ada harapan. Demikian pula kerja Menkes dan Wakil Menteri Kesehatan yang baru, saya kira mereka cukup menjanjikan. Komitmen dari Presiden, para menteri, IDI, dan juga dari kerja sama dengan media-media kelihatannya sudah lumayan bagus.

Tanggapan Anda mengenai wacana Vaksin Nusantara yang diklaim mampu memproduksi antibodi seumur hidup?

Mungkin saja terjadi (antibodi seumur hidup). Namun, kita kalau berbicara harus dengan data. Nah, uji klinik fase satu saja baru selesai. Pun BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) katanya baru saja menerimanya. Fase kedua saja belum, apalagi fase ketiga. Jadi, kalau harus berbicara dengan fakta, sebetulnya tidak boleh menyampaikan (klaim) bahwa bisa tahan seumur hidup. Mana buktinya? Itu kan baru teori. 

Apakah terapi plasma darah konvalesen dapat menyembuhkan pasien Covid-19?

Ya bisa, tetapi tidak semuanya. Walaupun hanya sebagian, itu bisa dipandang lumayan. Jadi, baik plasma, deksametason, maupun heparin ternyata bila diberikan kepada pasien Covid-19 yang memerlukan oksigen, itu banyak banget menolong.

Ketiganya tidak mematikan virus, tetapi bisa memberikan hasil yang bagus, yaitu pasien dapat lebih cepat sembuh. Sementara, kalau yang antivirus sendiri yang ada di Indonesia, misalnya, favipiravir dan remdesivir, itu bisa memperpendek lamanya masa rawat. Memang, bekerjanya terhadap virus.

Apakah orang yang sudah pernah mengidap Covid-19 kecil kemungkinan untuk positif penyakit ini di kemudian hari?

Memang, kemungkinannya lebih kecil dari yang lain. Namun, itu hanya dalam waktu beberapa bulan. Sebab, sebagian besar dalam waktu tiga bulan mereka akan terlindungi. Kalau sembuh dari Covid-19, pasien yang bersangkutan mempunyai antibodi yang bisa memproteksi terhadap infeksi berikutnya. Namun, itu tidak tahan terlalu lama.

Kalau standar di banyak negara, vaksinasi untuk orang yang pernah terinfeksi itu boleh ditunda sampai tiga bulan. Kalau kita di Indonesia, lantaran begitu banyak orang yang belum divaksinasi, maka yang pernah terinfeksi belakangan atau setelah tiga bulan. Jadi, orang yang pernah terinfeksi Covid-19 tetap perlu vaksinasi.

Terkait keterisian rumah sakit (RS) yang menangani Covid-19, menurut Anda, apa saja yang mesti dilakukan pemerintah agar krisis RS itu dapat diatasi?

Mungkin, pertanyaan ini cocok untuk kondisi sepekan yang lalu (14-20/2). Namun, kondisi sekarang sudah berubah banyak. Jadi, banyak pasien rumah sakit di Jakarta, misalnya, mulai turun. Dan, cukup banyak yang ada di bawah 70 persen.

Demikian pula di Bandung (Jawa Barat), Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Solo (Jawa Tengah). Pemandangan yang tadinya orang-orang antre di IGD untuk masuk, sekarang tidak ada lagi. Kemudian, di Jawa Timur umumnya juga berkurang.

Kabar baik ini saya kira penting digarisbawahi. Bahwa ruang rawat rujukan Covid-19 yang tadinya penuh sudah mulai longgar. Namun, kalau terkait ICU-nya, memang harus hati-hati. Sebab, rata-rata masih lumayan banyak yang penuh.

Pemerintah beberapa kali memasang target. Terbaru, Indonesia ditargetkan bebas pandemi pada 17 Agustus 2021. Mungkinkah terwujud?

Kalau tujuannya agar Covid-19 terkendali, mungkin saja. Namun, kalau tujuannya untuk menghilangkan virus ini, tentu banyak syaratnya. Artinya, pekerjaan ini bukan hanya jobdesk Ketua Satgas Covid-19 dan timnya, tetapi kita semua, baik masyarakat umum, dokter, tenaga kesehatan, IDI, pemerintah daerah, dan bahkan sampai Presiden.

Kita sekarang perlu bahu-membahu, kerja sama untuk menangani Covid-19. Ini harus menjadi komitmen kita semua. Saya amat sangat sedih kalau sampai ada pertentangan di antara elemen bangsa. Misalnya, lantaran masalah perbedaan politik ataupun yang membawa-bawa identitas agama atau suku. Lupakanlah semua itu. Semestinya, perbedaan di antara kita menjadi rahmat.

Antara Covid-19 dan AIDS

Nama Prof Dr dr Zubairi Djoerban SpPD-KHOM patut dicatat dalam sejarah kedokteran di Indonesia. Mengutip laman sayaberani.org, dokter kelahiran Kauman, Yogyakarta, ini dikenal sebagai penemu kasus pertama HIV/AIDS di Tanah Air. Penemuan itu terjadi pada 1983, sesudah dirinya melakukan penelitian terhadap 30 orang waria di Jakarta. Hasil riset itu mengukuhkan perannya sebagai pionir penanganan HIV/AIDS di negeri ini.

Meskipun sudah berusia cukup sepuh—74 tahun—sang guru besar terus semangat berkiprah penting di ranah kedokteran. Sejak pandemi virus korona-baru melanda Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendaulatnya sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 organisasi tersebut. Hingga kini, lelaki yang akrab disapa Prof Beri itu aktif memberikan pencerahan serta pandangan ilmiah kepada masyarakat dan pemerintah tentang penanganan Covid-19.

Berkaca dari pengalamannya, ia mengenang bagaimana penguasa kala itu merespons informasi tentang kemunculan kasus HIV/AIDS. Ada yang mengatakan, orang Indonesia mustahil kena AIDS karena negara ini berbudaya dan religius. Padahal, lanjut Prof Beri, penyakit ini tak ada hubungannya dengan karakteristik demikian.

Sejak Maret 2020, Indonesia dilanda Covid-19. Menurut alumnus Universitas Indonesia (UI) ini, situasi penanganan kasus Covid-19 hingga kini cenderung berbeda dengan penanganan HIV/AIDS era 1980-an.

“Alhamdulillah, bisa dikatakan, pembelajaran kita mengenai Covid-19 jauh lebih cepat, cepat penerimaannya dibandingkan dengan HIV/AIDS,” ujarnya saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.

Pendiri Yayasan Pelita Ilmu (YPI) itu menuturkan, hingga awal tahun 1986 pemerintah pusat saat itu masih menyangkal adanya kasus HIV/AIDS di Tanah Air. Perlu waktu cukup lama untuk mengubah perilaku denial menjadi menerima kenyataan. Situasi demikian berbeda dengan yang terjadi sejak Covid-19 melanda. Pemerintah dan masyarakat Indonesia lebih cepat menerima realitas.

“Bisa disimpulkan, denial untuk HIV/AIDS lumayan lama di Indonesia, sedangkan denial untuk Covid-19 hanya beberapa bulan saja,” jelasnya.

Sebagai informasi, Satgas Covid-19 sudah dibentuk IDI sejak Februari 2020. Artinya, kalangan dokter sudah mewaspadai kemunculan wabah di Tanah Air sebelum pengumuman kasus pertama Covid-19, yakni awal Maret 2020.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Prof. Zubairi Djoerban (profesorzubairi)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat